Habib Luthfi bin Yahya: Belajar Ma’rifat dari Sesuap Nasi

Habib Luthfi bin Yahya

Pecihitam.org – Dalam ceramah pada acara Dzikir dan Pengajian Rutin Jum’at Kliwon tanggal 1 November 2019, Maulana Habib Lutfi bin Yahya menyampaikan sebuah wejangan. Dikutip dari JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah), beliau Habib Lutfi mengatakan, “Bagaimana peranan ma’firat kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pertama, bila mana ma’rifah kita itu tumbuh, semakin bertambah, maka kita akan mengetahui bagaimana tipu dayanya hawa nafsu. Tapi apabila ma’rifat kita kepada Allah Ta’ala ini melentur atau melorot keyakinannya, maka kita mudah di ombang-ambingkan oleh peranan nafsu itu sendiri.

Contoh yang paling mudah saja, jika kita habis makan itu biasanya mengucapkan kalimat “Alhamdulillah.” Ya sudah umum. Namun ucapan Alhamdulillah itu sebab kenyang, yang kedua kali “lego wis mangan” (karena sudah makan).

Tapi ucapan Alhamdulillah kita yang awam ini menemukan yang menciptakan kenyang atau tidak? Tembus atau tidak? Belum tentu. Niat makan-nya saja sudah kalah dengan nafsunya karena dituntut lapar.

Baca Juga:  Ilmu-Ilmu Islam yang Harus Dipahami Pengkaji Pemula

Tapi jika lapar itu terkendali oleh ma’rifat kita kepada Allah Swt, nafsu itu diri sendiri bisa dikendalikan. Sehingga di dalam makan kita itu terhitung ibadah. Artinya kita selalu ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Contohnya, kalau makan mengucap “Alhamdulillah”. Ingat bahwa dari sebutir nasi ini ada yang mulai mencangkul, mengairi, memupuk dan sebagainya. Jadi tidak cukup sekedar jadi beras sampai jadi nasi.

Beras sampai jadi nasi pun yang andil juga banyak. Maka, mampukah kita menghormati yang ikut andil mematangkan nasi itu sendiri? Atau yang mencangkul sehingga menjadi beras?

Jika kita tahu apa itu menghargai, maka ma’rifat kita itu bertambah. Ternyata tanah ini kandungannya demikian, tanah ini kandungannya demikian. Mana yang harus kita tanami padi, mana yang tidak, mana yang harus ditanam di tanah ini, kalau cocok buat buah-buahannya akan luar biasa. Seterusnya hinggai berkembang ma’rifat kita kepada Allah Ta’ala. Dengan melihat ciptaan-Nya, keyakinan kita semakin tambah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Baca Juga:  Ilmul Yaqin, ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, 3 Tingkatan Yakin Menurut Ulama Tasawuf

Kembali kepada satu suap nasi. Ketika kita memasukkan sesuap nasi dan kita kenal kepada Allah artinya dimana? Kalau nasi ini masuk mau jadikan nasi, nanti keluar jadi nasi lagi, sah-sah saja kalau Allah Ta’ala menghendaki tidak ada yang sulit.

Tapi satu suap nasi hingga sampai berapa suap bahkan sepiring habis. Kita bisa tahu dimana? Bagaimana? Lalu organ tubuh itu kok bisa membagi (makanan yang disuap) menjadi darah merah, bisa menjadi darah putih, dan lain-lainnya. Ini kerjasama antara pencernaan dengan pankreas, dengan ginjal dan lain sebagainya.

Padahal, kita itu dijadikan oleh Allah Ta’la lemah. Perut kita itu tidak ada tulangnya, ususnya tidak bertulang, pencernaannya pun tidak bertulang, pankreas pun ginjal pun tidak bertulang, tapi mengapa bisa mencetak yang demikian, hingga menjadi darah putih, bisa mencetak insulin, dan lain sebagainya.

Ini ma’rifat, dari sesuap nasi yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kita akan bertambah syukur. Tantangannya, bersyukur (atas) satu suap nasi itu mampu atau tidak kita membawanya untuk ta’at kepada yang menciptakan nasi dan memberikan kekenyangan itu sendiri, dan yang menciptakan yang makan.

Baca Juga:  Tasawuf dalam Pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ulama Panutan Salafi

Apakah kita semakin jauh? Ataukah kita ini semakin dekat kepada yang menciptakan? Yang bisa meneruskan ya panjenengan semua ini, mau sampai atau tidak.

*Diterjemahkan dari ceramah Habib Muhammad Luthfi bin Yahya pada acara Dzikir dan Pengajian Rutin Jum’at Kliwon, semoga tidak mengurangi esensi aslinya.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik