Habib Umar bin Hafidz; Simbol Da’i Masa Kini yang Mewarisi Kelembutan Rasulullah

Habib Umar bin Hafidz; Simbol Da'i Masa Kini yang Mewarisi Kelembutan Rasulullah

PECIHITAM.ORG – Habib Umar bin Hafidz atau yang familiar dengan panggilan Habib Umar merupakan salah satu ulama, bahkan dipercayai sebagai waliyullah zaman ini. Santrinya juga banyak yang jadi dai di Indonesia, salah satu yang cukup terkenal adalah almarhum Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawwa’.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dzurriyah Nabi Muhammad yang dilahirkan pada hari Senin, 27 Mei 1963 M ini merupakan seorang ulama dunia era modern. Habib Umar bin Hafidz kini tinggal di Tarim, Yaman di mana dia mengawasi perkembangan pondok pesantren atau Ribath Dar-al Musthafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun di bawah manajemennya.

Hingga kini, beliau masih memegang peran aktif dalam dakwah agama Islam. Sedemikian aktifnya sehingga dia meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya itu.
 
Kehidupan Awal
Dia terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim-ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad, hingga dikenal dengan istilah Bumi Para Wali.

Dia dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim.

Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidupnya demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Ia secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal. Demikian pula kedua kakek dia, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya.

Nasab
Dia adalah al-Habib Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari ‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Masa Kecil
Habib Umar bin Hafidz telah mampu menghafal Al-Qur’an pada usia yang sangat muda dan juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqih, hadits, bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyak ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribath Tarim.

Habib Umar bin Hafidz pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada dakwah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah SWT.

Ayahnya begitu memperhatikan sang Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan zikir. Namun secara tragis, ketika Habib Umar bin Hafidz sedang menemani ayahnya untuk sholat Jumat, ayahnya diculik oleh golongan komunis dan sang Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi.

Baca Juga:  Hadis Nabi Jangan Minum Sambil Berdiri, Ini Penjelasan Medis

Ini menyebabkan Habib Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan dakwah yang dilakukan ayahnya seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum ia mati syahid.

Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan dakwah ayahnya mulai membuahkan hasil.

Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di masjid-masjid setempat di mana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al-Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.

Dikirim ke kota Al Bayda
Dia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga dia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan untuk mengirimnya ke kota Al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda

Di sana dimulai babak penting baru dalam perkembangannya. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ dia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional di bawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga di bawah bimbingan ulama mazhab Syafi‘i al-Habib Zain bin Smait, semoga Allah melindunginya.

Janjinya terpenuhi ketika akhirnya, dia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Dia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang dakwah.
Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa di sekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya shallahu ‘alaihi wasallam ke dalam hati-sanubari mereka semua.

Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usahanya yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka yang tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan.

Mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah SWT

Perjuangan Dakwah
Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah mendapat sentuhan dakwahnya mulai berkumpul mengelilinginya dan membantunya dalam perjuangan dakwah maupun keteguhannya dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara.

Pada masa ini, dia mulai mengunjungi banyak kota maupun masyarakat di seluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan padanya perhatian dan cinta yang besar sebagaimana dia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam dirinya terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.

Ibadah Haji
Tak lama setelah itu, dia melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasulullah saw di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, dia diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal di sana, terutama dari al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya SAW dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga ia dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya.

Baca Juga:  Kecintaan Habib Umar bin Hafidz kepada Nahdlatul Ulama

Begitu pula dia diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib Attas al-Habashi.

Awal Dikenal Dunia
Setelah perjalanan ke Hijaz, nama al-Habib Umar bin Hafidz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usahanya dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikit pun mengurangi usaha pengajarannya.

Bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan di mana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda.

Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilakunya yang paling terlihat jelas sehingga membuat namanya tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.

Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, dia meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian.

Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Di sana ajaran-ajaran dia mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa.

Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoretis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti konkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran pada masa depan.
 
Pulang ke Tarim
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang dia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang di sekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah.

Pada tahun 1993 M atau sekitar 1414 H, al-Habib Umar mengabadikan ajaran-ajarannya dengan membangun Dar al-Musthafa atau Pondok Pesantren Darul Musthafa. Pesantren ini didirikan dengan tiga tujuan:

1). Mengajarkan berbagai disiplin ilmu keislaman secara bertatap muka (talaqqi) dan para pengajarnya adalah para ahli yang memiliki sanad keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan
2). Menyucikan diri dan memperbaiki akhlaq
3). Menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta berdakwah menyeru kepada jalan yang dirihai Allah swt dan sesuai dengan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW serta para salafunassahlihin.

Dar-al Musthafa menjadi hadiahnya bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah ajaran para salafusshalihin diserukan, hingga menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis.

Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh al-Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional pada abad ke-15 setelah hari kebangkitan.

Baca Juga:  Belajar Aqidah Kepada Syeikh Abdul Shomad Al Falimbani

Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.

Dakwah di Indonesia
Awal kedatangan Habib Umar ke Indonesia adalah pada tahun 1994. Dia diutus oleh Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf yang berada di Jeddah untuk mengingatkan dan menggugah ghirah (semangat atau rasa kepedulian) para Alawiyyin Indonesia, disebabkan sebelumnya ada keluhan dari Habib Anis bin Alwi al-Habsyi seorang ulama dan tokoh asal Kota Solo/ Kota Surakarta, Jawa Tengah tentang keadaan para Alawiyyin di Indonesia yang mulai jauh dan lupa akan nilai-nilai ajaran para leluhurnya.

Dakwahnya juga sangat dirasakan kesejukannya dan disambut dengan hangat oleh umat Islam di Indonesia. Masyarakat menyambutnya dengan sangat antusias dan hangat, mengingat bahwa kakeknya yang kedua, Al-Habib Hafidz bin Abdullah bin Syekh Abubakar bin Salim, berasal dari Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia.

Dakwahnya yang sangat indah dan sejuk itu yang bersumber dari sang kakek Nabi Muhammad saw, sangatlah diterima oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun rakyat, kaya ataupun miskin, tua ataupun muda.

Di Indonesia al-Habib Umar sudah beberapa kali membuat kerjasama dengan pihak bahkan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Ditjen Kelembagaan Keagamaan Kementerian Agama Indonesia meminta pembuatan kerjasama dengan al-Habib Umar dan Dar-al Musthafa untuk pengiriman sumber daya manusia yang berkualitas, khususnya para kiai pimpinan pondok pesantren untuk mengikuti program pesantren kilat selama tiga bulan di bawah bimbingan langsung al-Habib Umar. Sampai saat ini, banyak sudah santri-santri di Indonesia yang menuntut ilmu di pondok pesantren yang dia pimpin, Dar-al Musthafa di Hadhramaut, dan telah melahirkan banyak da’i yang meneruskan perjuangan dakwahnya di berbagai daerah di Indonesia.

Penghargaan dan Kiprah Internasional
Pada tanggal 22 Februari sampai dengan 2 Maret 2003 (26-29 Dzul Hijjah 1423 H) di Dar-al Musthafa, Tarim dia merintis upaya persatuan dalam aktifitas dakwah, dengan mengadakan multaqa ulama atau simposium yang dalam pertemuan itu dihadiri oleh berbagai ulama dari belahan dunia, dan kemudian berlanjut pada pertemuan berikutnya di berbagai penjuru dunia dalam skala lokal maupun internasional.

Habib Umar termasuk sebagai salah seorang penandatangan dari dua dokumen internasional yang berpengaruh, yaitu Risalah Amman pada tahun 2005, pada urutan tandatangan nomor 549, dan A Common Word (bahasa Inggris: A Common Word Between Us and You) pada tahun 2007 dalam urutan tandatangan nomor 42, yang keduanya ditandatangani oleh tokoh-tokoh Muslim dunia, termasuk di antaranya beberapa pemimpin Muslim Indonesia.

Di Indonesia, Habib Umar bin Hafidz mendeklarasi berdirinya Majelis Almuwasholah Bayna Ulama Al Muslimin atau Forum Silaturrahmi Antar Ulama pada tahun 1327 H / 2007 M.

Demikianlah kisah hidup Habib Umar bin Hafidz. Salah satu wali Allah zaman ini yang tidak pernah lelah dalam berdakwah, mengajak umat ke jalan yang benar.

Faisol Abdurrahman