Hadits Shahih Al-Bukhari No. 132 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 132 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi judul dengan “tidak diterima salat tanpa bersuci” hadis ini membahas tentang seorang lelaki dari Hadramaut yang bertanya kepada Abu Hurairah ra tentang arti dari hadast Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 10-12.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Abdurrazaq] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Ma’mar] dari [Hammam bin Munabbih] bahwa ia mendengar [Abu Hurairah] berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudlu.” Seorang laki-laki dari Hadlramaut berkata, “Apa yang dimaksud dengan hadats wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Kentut baik dengan suara atau tidak.”

Keterangan Hadis: (Tidak diterima shalat tanpa bersuci), maksudnya adalah sesuatu yang lebih umum dari wudhu dan mandi wajib. Judul bab ini sendiri adalah lafazh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya dari hadits lbnu Umar.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 484 – Kitab Shalat

Demikian pula diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya dari jalur Abu Mulaih bin Usamah dari bapaknya. Riwayat ini memiliki jalur yang sangat banyak, namun tidak ada satupun yang memenuhi persyaratan Bukhari. Oleh karena itu, beliau hanya menempatkannya sebagai salah satu judul bab, lalu menyebutkan di bawah bab itu hadits lain yang dapat menggantikan kedudukannya.

لَا تُقْبَل (Tidak diterima) telah diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ahmad dari Abdurrazzaq, “Allah tidak menerima.” Maksud “menerima” di sini adalah sesuatu yang sinonim dengan kata sah atau mencukupi.

Adapun hakikat penerimaan itu sendiri adalah hasil dari suatu ketaatan yang dianggap mencukupi dan dapat menghilangkan beban yang ada dalam tanggung jawab (dzimmah). Oleh karena memenuhi segala persyaratan shalat merupakan perkara yang sangat menentukan diterimanya shalat, maka hal itu diungkapkan dengan “penerimaan” dalam bentuk kiasan.

Sedangkan penerimaan yang dinafikan (ditiadakan) seperti sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung maka tidak diterima shalatnya”, adalah tidak diterima secara hakikatnya. Sebab, terkadang suatu amalan dinyatakan sah namun tidak diterima karena adanya sebab yang menghalanginya. Atas dasar ini maka seorang ulama salaf -yakni lbnu Umar- mengatakan, “Sesungguhnya diterimanya satu shalat yang aku lakukan lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.” Lalu beliau melanjutkan, “Karena sesungguhnya Allah SWT telah berfirman, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa. ‘” (Qs. Al Maa’idah (5): 27)

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 486 – Kitab Shalat

أَحْدَثَ (Berhadats) maksudnya adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan ( qubul dan dubur). Hanya saja Abu Hurairah menafsirkan makna hadats dengan makna yang lebih khusus, untuk memberi peringatan akan hadats ringan (mukhaffafah) dari yang berat (mughallazhah). Di samping itu, kedua perkara yang disebutkan oleh Abu Hurairah ini lebih banyak terjadi pada orang yang sedang shalat daripada hadats-hadats lainnya.

Adapun macam-macam hadats yang masih diperselisihkan oleh para ulama seperti menyentuh kemaluan, menyentuh wanita, muntah dalam kadar yang banyak serta berbekam, ada kemungkinan beliau (Abu Hurairah) berpandangan bahwa wudhu tidak batal karena hal-hal tersebut. Pandangan ini pula yang diikuti oleh penulis (Imam Bukhari) sebagaimana akan dijelaskan dalam bah, “Pandangan yang mengatakan bahwa wudhu tidak batal kecuali oleh sesuatu yang keluar dari dua jalan”.

Kemudian ada yang mengatakan bahwa Abu Hurairah sengaja mencukupkan jawabannya pada kedua hal itu, karena ia mengetahui bahwa sang penanya telah mengetahui macam-macam hadats selain kedua macam ini. Akan tetapi penafsiran ini terlalu jauh menyimpang.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 383-384 – Kitab Shalat

Hadits ini dijadikan sebagai dalil batalnya shalat seseorang yang berhadats, baik hadats itu keluar atas kehendaknya maupun karena terpaksa. Demikian pula hadits ini dijadikan dalil bahwa wudhu tidaklah wajib dilakukan setiap kali hendak melaksanakan shalat, karena tidak diterimanya shalat berakhir hingga seseorang telah berwudhu, sementara hukum setelah berwudhu itu berbeda dengan hukum sebelumnya. Dari sini timbul suatu konsekuensi bahwa shalat itu tetap diterima setelah seseorang berwudhu.

يَتَوَضَّأ (Berwudhu), maksudnya dengan menggunakan air ataupun  sesuatu yang dapat menggantikannya. Diriwayatkan oleh Imam An­Nasa’ i dengan sanad Ualur periwayatan) yang kuat dari Abu Dzarr, dari Nabi SAW, “Debu yang baik adalah wudhu seorang muslim.” Di sini syariat telah menamakan tayamum sebagai wudhu, karena tayamum itu dapat menggantikan kedudukan wudhu. Maka yang dimaksud diterima­nya shalat seseorang yang berhadats bila ia telah berwudhu, adalah jika ia menyempumakan pula syarat-syarat shalat yang lainnya. Wallahu A ‘lam.

M Resky S