Hadits Shahih Al-Bukhari No. 294 – Kitab Haid

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 294 – Kitab Haid ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Wanita Haid Melakukan Seluruh Manasik Hajikecuali Thawaf di Baitullah” hadis ini menjelaskan perintah Rasulullah saw kepada istrinya Aisyah yang dalam keadaan haid namun sedang dalam perjalanan untuk haji, agar dia tidak tawaf di baitullah sampai dia benar-benar suci. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Haid. Halaman 512-518.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْكُرُ إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا سَرِفَ طَمِثْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي فَقَالَ مَا يُبْكِيكِ قُلْتُ لَوَدِدْتُ وَاللَّهِ أَنِّي لَمْ أَحُجَّ الْعَامَ قَالَ لَعَلَّكِ نُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim] berkata, telah menceritakan kepadaku [‘Abdul ‘Aziz bin Abu Salamah] dari [‘Abdurrahman bin ‘Abdullah Al Qasim] dari [Al Qasim bin Muhammad] dari [‘Aisyah] ia berkata, “Kami keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan hajji. Ketika kami sampai di suatu tempat bernama Sarif aku mengalami haid. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Aku jawab, “Demi Allah, pada tahun ini aku tidak bisa melaksanakan haji!” Beliau berkata: “Barangkali kamu mengalami haid?” Aku jawab, “Benar.” Beliau pun bersabda: “Yang demikian itu adalah perkara yang sudah Allah tetapkan buat puteri-puteri keturunan Adam. Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf di Ka’bah hingga kamu suci.”

Keterangan Hadis: Ibrahim berkata, “Tidak mengapa bagi wanita haid membaca ayat.” Sementara Ibnu Abbas berpendapat tidak mengapa bagi orang yang junub membaca Al Qur’an. Biasanya Nabi SAW berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaannya. Ummu Athiyah berkata, “Dahulu kami biasa di­perintahkan agar wanita-wanita haid keluar lalu mereka bertakbir bersama kaum laki-laki serta berdoa.” Ibnu Abbas berkata, “Abu Sufyan telah mengabarkan kepadaku, bahwa Hiraklius minta dibawakan surat dari Nabi SAW. Lalu ia membacanya, dan temyata di dalamnya tertulis, ‘bismillahirrahmaanirrahim. Wahai ahli kitab marilah kepada kalimat yang satu ‘. ” ( Qs. Aali Imraan (3): 64)

Atha’ berkata dari Jabir, “Aisyah mengalami haid, lalu beliau mengerjakan semua manasik haji kecuali thawaf di Baitullah (Ka’bah) serta tidak mengerjakan shalat.” Al Hakam berkata, “Aku biasa menyembelih (binatang) sedang aku dalam keadaan junub.” Sementara Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu makan apaapa yang tidak disebut nama Allah saat menyembelihnya.” (Qs. Al An’aam (6): 121)

Telah dikatakan, bahwa maksud Imam Bukhari menyebutkan hadits maupun atsar dalam bab ini adalah untuk menyatakan bahwa haid dan segala yang semakna dengannya berupa junub, tidak menghalangi seluruh ibadah. Bahkan ibadah-ibadah fisik seperti dzikir dan sebagainya dianggap sah meski seseorang dalam keadaan haid ataupun junub.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 457 – Kitab Shalat

Manasik haji termasuk ibadah yang tidak terhalang sebab haid, kecuali thawaf. Akan tetapi benar tidaknya bahwa demikian yang menjadi maksud Imam Bukhari masih perlu dianalisa kembali. Sebab kedudukan manasik haji sebagai salah satu ibadah yang tidak terhalang dilakukan oleh orang yang sedang haid dan junub telah ditetapkan berdasarkan nash, sehingga tidak perlu menetapkannya dengan cara seperti itu.

Pandangan terbaik dalam masalah ini adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Rasyid seperti juga yang dikatakan oleh Ibnu Baththal serta ulama-ulama lainnya, yaitu maksud Imam Bukhari adalah menjelaskan landasan argumentasi bolehnya wanita haid dan orang yang junub membaca Al Qur’an berdasarkan hadits Aisyah RA. Sebab dalam hadits ini beliau SAW tidak mengecualikan satupun perbuatan dari manasik haji kecuali thawaf, dimana pengecualian ini disebabkan thawaf merupakan shalat yang khusus.

Sementara amalan orang yang menunaikan haji mencakup dzikir, talbiyah dan doa. Padahal wanita haid tidak dicegah melakukan sedikitpun di antara hal-hal tersebut. Demikian pula halnya dengan orang yang junub, sebab hadats wanita haid lebih besar daripada junub.

Adapun jika larangan membaca Al Qur’an disebabkan oleh kedudukannya sebagai dzikir kepada Allah SWT, niscaya tidak ada perbedaannya dengan apa yang disebutkan di atas. Sedangkan jika larangan itu bemilai ibadah, perlu dijelaskan oleh dalil khusus. Sementara tidak satu pun dalil yang disebutkan mengenai hal itu yang dianggap shahih oleh beliau (Imam Bukhari).

Meskipun bila ditinjau secara keseluruhan riwayat-riwayat tentang larangan membaca Al Qur’an bagi orang yang junub dapat dijadikan sebagai hujjah (landangan argumentasi) dalam pandangan para ulama selain beliau, namun kebanyakan di antara­nya masih dapat ditakwilkan (diberi makna lain), seperti akan kami kemukakan pada pembahasan selanjutnya.

Imam Bukhari serta sejumlah ulama yang membolehkan orang junub membaca Al Qur’an berpegang pada keumuman lafazh sabda beliau SAW yang berbunyi,(Biasanya beliauberdzikir kepada Allah dalam segala keadaannya), sebab dzikir memiliki makna yang lebih luas, yang mencakup Al Qur’an dan ucapan-ucapanyang lain. Adapun perbedaan antara dzikir dan membaca Al Qur’an hanyalah ditinjau dari segi kebiasaan saja. Hadits yang dimaksud telah disebutkan oleh Imam Muslim beserta silsilah periwayatannya dari Aisyah RA.

Lalu maksud Imam Bukhari menyebutkan perkataan Ibrahim An­N akha’ i adalah untuk memberi keterangan bahwa larangan wanita haid membaca Al Qur’an bukan persoalan yang disepakati di kalangan ulama, dimana haditsnya disebutkan oleh Ad-Darimi dan lainnya dengan lafazh,(Empat orang yang tidak (diperbolehkan) membaca Al Qur ‘an,yaitu orang junub, wanita haid, orang yang berada di tempat buang air dan orang yang berada di kamar mandi, kecuali satu ayat atau semisalnya bagi orang yang junub dan wanita haid).

Sehubungan dengan masalah ini telah dinukil dari Imam Malik beberapa pendapat. Pertama, sama seperti perkataan Ibrahim An­N akha’i. Kedua, diperkenankan tanpa syarat. Ketiga, diperkenankan bagi wanita haid dan tidak diperkenankan bagi orang junub. Ada pula yang mengatakan bahwa pandangan ketiga tersebut juga pendapat Imam Syafi’i dalam madzhabnya yang terdahulu.

Baca Juga:  Memahami Hadis ‘Sampaikanlah Walau Satu Ayat’, Baca Ini Wahai Sahabat Hijrah

Selanjutnya Imam Bukhari menyitir perkataan lbnu Abbas, dimana riwayat dari Ibnu Abbas ini telah dikutip pula oleh Ibnu Mundzir dengan lafazh, “Sesungguhnya Ibnu Abbas biasa membaca wirid pada waktu junub.” Adapun riwayat Ummu Athiyah telah disebutkan oleh Imam Bukhari berikut silsilah periwayatannya dalam bab “‘Idaini ( dua hari raya).” Sedangkan konteks hadits tersebut dengan permasalahan dapat ditinjau dari apa yang telah dijelaskan terdahulu, yaitu tidak adanya perbedaan antara membaca Al Qur’an dengan ucapan-ucapan lain yang mengandung dzikir.

Kemudian Imam Bukhari menyebutkan pula penggalan hadits Abu Sufyan mengenai kisah raja Hiraklius seperti telah disebutkan oleh beliau sendiri secara lengkap pada pembahasan “Permulaan Wahyu” dan bab­bab lainnya dalam kitab ini. Hubungan hadits ini dengan masalah yang ada adalah bahwa Nabi SAW mengirim surat ke negeri Romawi yang mana mereka adalah orang-orang kafir, sementara orang kafir senantiasaberada dalam keadaan junub. Seakan-akan Imam Bukhari berkata, “Apabila diperkenankan baginya menyentuh surat yang memuat dua ayat Al Qur’an, maka tentu diperkenankan pula baginya untuk membacanya.” Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Rasyid. Namun pada dasamya letak pengambilan dalil dari riwayat di atas adalah sesungguhnya surat tersebut dikirirnkan kepada mereka untuk dibaca, maka dasar bolehnya membaca Al Qur’ an bagi orang junub diperoleh secara tekstual dan bukan hanya melalui analisa (istimbath).

Akan tetapi argumentasi di atas bisa saja dijawab oleh mereka yang berpandangan bahwa orang junub tidak boleh membaca Al Qur’an -yang dalam hal ini adalah mayoritas ulama- dengan mengatakan, bahwa sesungguhnya surat yang dimaksud berisi pula hal-hal lain di samping dua ayat Al Qur’an, sehingga keadaannya serupa dengan kitab-kitab fikih ataupun kitab-kitab tafsir yang memuat beberapa ayat Al Qur’an, dimana orang junub tidak dilarang untuk membacanya maupun menyentuhnya menurut mayoritas ulama, sebab maksud seseorang membaca kitab-kitab tersebut bukanlah untuk membaca Al Qur’ an.

Lalu Imam Ahmad mengeluarkan pemyataan, bahwa membaca Al Qur’ an bagi orang junub diperbolehkan dalam rangka surat menyurat demi untuk maslahat dakwah. Pemyataan seperti ini dikemukakan pula oleh sejumlah ulama madzhab Syafi’i. Lalu diantara mereka ada yang memperbolehkan apabila dalam jumlah yang sedikit seperti satu a tau dua ayat.

Ats-Tsauri berkata, “Tidak mengapa bagi seseorang mengajarkan satu huruf Al Qur’an kepada penganut agama Nasrani.” Semoga Allah memberi petunjuk padanya. Aku tidak suka bila ia mengajari orang itu satu ayat, sebab kedudukannya sama dengan orang junub.

Telah dinukil dari Imam Ahmad, bahwa ia berkata, “Aku tidak suka bila Al Qur’an diletakkan bukan pada tempatnya.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Jika ada harapan orang itu akan mendapatkan hidayah maka boleh diajari Al Qur’an, namun apabila tidak maka tidak diperbolehkan.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 187-188 – Kitab Wudhu

Sebagian ulama yang tidak membolehkan orang yang junub untuk membaca Al Qur’an berkata, “Dalam kisah ini tidak terdapat indikasi bolehnya orang yang junub membaca Al Qur’ an, sebab larangan itusendiri berlaku apabila orang junub tersebut berrnaksud membaca Al Qur’an serta menyadari bahwa yang dibacanya adalah Al Qur’an. Adapun jika ia membaca di suatu lembaran tanpa disadarinya bahwa itu terrnasuk Al Qur’an maka tidak dilarang, demikian pula halnya dengan orang kafir.” Pembahasan selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada kitab jihad, insya Allah .

(Atha’ berkata dari Jabir). Ini adalah penggalan hadits yang disebutkan secara lengkap oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Ahkam serta kitab-kitab lainnya, dimana di bagian akhir riwayat itu discbutkan, “Sela in bahwa beliau tidak thawaf di Baitullah dan tidak pula shalat.”

Adapun riwayat dari Al Hakam -salah seorang ulama Kufah­telah disebutkan beserta jalur periwayatannya oleh Al Baghawi dalam kitab Al Ja ‘diyaat melalui riwayat Ali bin Ja’ad dari Syu’bah dari Al Hakam. Konteks riwayat tersebut dengan perrnasalahan pada bab ini adalah, bahwa menyembelih berkonsekuensi menyebut nama Allah, dan ini sama hukumnya dengan membaca ayat.

Ringkasnya semua dalil yang dikemukakan oleh Imam Bukhari dalam bab ini menjadi bahan perbin­cangan yang berkepanjangan, namun yang dapat dipahami dari maksud Imam Bukhari adalah apa yang telah kami sebutkan.

Adapun pendapat mayoritas ulama yang tidak memperbolehkan orang junub membaca Al Qur’an adalah berdasarkan hadits(Tidak ada yang menghalangi Rasulullah SAW untuk membaca Al Qur ‘an selain junub ). Hadits ini dinukil oleh para penulis kitab Sunan dan dishahihkan oleh Imam Tirrnidzi dan Ibnu Hibban. Namun sebagian perawinya dinyatakan lemah oleh sebagian ulama. Akan tetapi, yang benar hadits ini mendekati derajat hasan dan boleh dijadikan sebagai hujjah.

Hanya saja dikatakan, “Berhujjah dengan hadits tersebut perlu ditinjau lebih lanjut, sebab hal itu hanyalah berupa perbuatan sehingga tidak berindikasi pengharaman bagi selain beliau.” Dari sini maka Imam Ath-Thabari menjawab argumentasi jumhur ulama dengan mengatakan, bahwa sesungguhnya hadits ini harus dipahami sebagai perbuatan yanglebih sempuma, untuk memadukannya dengan dalil-dalil lain yang membolehkan orangjunub membaca Al Qur’an.

Sedangkan hadits Ibnu Umar dari Nabi SAW,(Orang haid danjunub tidak boleh membaca sesuatu dari Al Qur’an) derajatnya lemah ditinjau dari seluruh jalur periwayatannya. Pembahasan mengenai hadits Aisyah telah disebutkan di awal kitab haid.

M Resky S