Neo-Sufisme dalam Gerakan Pembaruan Pemikiran Tasawuf

Neo-Sufisme

Pecihitam.org – Istilah Neo-Sufisme berasal dari seorang tokoh dari India, Fazlur Rahman, yang berupaya untuk melakukan pembaruan sufisme dengan jalan mencoba mengikat serta menundukkan ajaran tasawuf di bawah kendali syariat, yakni Al-Qur’an dan Sunnah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam tasawuf al-Ghazali misalnya, tasawuf atau ilmu hakikat dipandang lebih halus dan lebih tinggi dari syariat, dalam arti tasawuf diletakkan di atas syariat. Urutannya adalah syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.

Dalam citra neo-sufisme justru yang terjadi sebaliknya, yakni sufisme harus ditundukkan di bawah kendali syariat. Penganut paham neo-sufisme ini terbagi menjadi dua cabang, satu cabang mencoba menolak penghayatan kasyfi (makrifat) sebagai intisari atau hakikat sufisme. Di sini, mereka berusaha mengembalikan pada bentuk tasawuf seperti diamalkan para sahabat Nabi (ulama salaf).

Artinya, intisari yang menjadi tujuan tasawuf hendaknya hanya bertekun beribadah dan menghindari kemewahan duniawi. Penghayatan kasyfi yang kadang menyertai orang-orang yang tekun beribadah itu adalah godaan, yang apabila itu diutamakan berarti menyimpang dari tujuan semula (yang asli).

Baca Juga:  Mengenal Konstruksi Tasawuf Moderat ala Buya Hamka

Sedangkan cabang yang kedua mengakui penghayatan kasyfi yang merupakan inti dari ajaran tasawuf. Namun kebenarannya jangan dimutlakkan, artinya kebenaran dari pengalaman spiritual berbasis sufisme tidak boleh diabsolutkan. Kebenaran penghayatan kasyfi harus diuji sesuai atau tidak dengan syariat. Kalau tidak sesuai, itu tanda wiswas syaithan yang menyesatkan.

Salah satu tokoh pelopor ajaran neo-sufisme adalah Ibnu Khaldun. Beliau adalah tokoh yang mengusulkan agar intisari yang menjadi tujuan utama ajaran tasawuf atau sufisme diubah.

Tujuan sufisme agar dibatasi hanya untuk ketekunan beribadah dan mengamalkan laku zuhud, menjauhi kemewahan hidup duniawi seperti halnya kehidupan para sahabat dekat Nabi.

Menurut Ibnu Khaldun, kalau dalam perjalanannya seorang sufi mendapatkan pengalaman kasyfi di tengah ketekunan beribadah, itu harus dianggap sebagai godaan, tidak perlu digubris, karena agama tidak memerintahkan dan menyuruh mencari-cari penghayatan kasyfi.

Maka kelirulah para sufi yang mencari-cari pengalaman kasyfi, hingga membuat macam-macam aurad yang kaifiyat-nya tidak terdapat pada Sunah. Bahkan, al-Ghazali sendiri mengingatkan bahwa penghayatan kasyfi yang tidak dilandasi istiqamah adalah perbuatan yang dilakukan oleh para ahli sihir.

Baca Juga:  Begini Makna Waktu Menurut Para Ulama Sufi

Menurut saya, usulan Ibnu Khaldun untuk tidak mementingkan penghayatan kasyfi itu memang bagus, tapi kurang realistis. Karena apabila penghayatan makrifat yang menjadi intisari sufisme ditinggalkan atau tidak menjadi tujuan  utama, tasawuf pasti akan gulung tikar, tidak menjadi tasawuf lagi.

Yakni berubah menjadi ‘ibad atau zahid, dan tidak perlu disebut sebagai sufi atau mistikus. Karena kurang realistis ini, maka ide Ibnu Khaldun tidak digubris dan tidak diperhatikan oleh para sufi sendiri.

Selanjutnya cabang kedua, mereka tetap mengakui penghayatan kasyfi sebagai intisari dan tujuan utama tasawuf. Upaya ini mula-mula dilakukan oleh imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Di Indonesia paham ini dianut oleh Haji Ahmad Rifai’i dan Hamka.

Baca Juga:  Bersyukur Atas Musibah yang Menimpa, Nikmatnya Luarrr Biasa!

Jadi, sebenarnya Ibnu Taimiyah sendiri tidak menolak sufisme sebagaimana anggapan banyak orang. Justru Ibnu Taimiyah ingin merombak sufisme agar betul-betul sesuai dengan ajaran agama berbasis syariat. Namun karena kritik keras Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf, maka seakan-akan dia menolaknya.

Yang pasti, orang-orang yang dianggap telah melakukan pembaruan pemikiran tasawuf ini, yang kemudian dikenal dengan neo-sufisme, tetap menganggap ada kebenaran di dalam ajaran tasawuf.

Hanya saja, mereka menolak bila sufisme dianggap sebagai jenis pengalaman keagamaan yang tidak mungkin salah. Sebab, pengalaman batin itu sifatnya bertingkat-tingkat, dan sangat mungkin ia bisa salah.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *