Hadits Shahih Al-Bukhari No. 389-390 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 389-390 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadits ini dengan judul “Masalah Kiblat dan Pendapat yang Mengatakan tidak Perlu Mengulangi Shalat bagi Orang yang Shalat dan Lupa Menghadap Kiblat” hadits ini menjelaskan  tentang apa yang harus dikerjakan jika kelebihan rakaat dalam shalat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kemudian hadits berikutnya dengan judul bab “Menggosok Ludah Dengan Tangan di Masjid” hadits ini menjelaskan tata cara meludah didalam masjid. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 114-118.

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 389

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ خَمْسًا فَقَالُوا أَزِيدَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ وَمَا ذَاكَ قَالُوا صَلَّيْتَ خَمْسًا فَثَنَى رِجْلَيْهِ وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Syu’bah] dari [Al Hakam] dari [Ibrahim] dari [‘Alqamah] dari [‘Abdullah] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat Zhuhur lima rakaat. Maka orang-orang berkata, “Apakah ada tambahan dalam shalat?” Beliau balik bertanya: “Apakah yang terjadi?” Mereka menjawab, “Tuan telah shalat sebanyak lima rakaat.” Maka beliau pun duduk di atas kedua kakinya lalu sujud dua kali.”

Keterangan Hadis: Abdullah yang dimaksud adalah Abdullah bin Mas’ud.

صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ خَمْسًا (Nabi SAW shalat Zhuhur lima rakaat) Hal ini telah dibahas dalam bab sebelumnya. Adapun hubungannya dengan judul bab di atas adalah pada perkataannya, “Beliau bertanya, ‘Apakah itu? ‘” yakni apakah sebab pertanyaan ini? Pada kesempatan itu beliau SAW tidak menghadap kiblat karena lupa, sebagaimana tampak pada riwayat terdahulu, “Maka beliau melipat kakinya dan menghadap kiblat.”

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 390

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ فَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَقَالَ أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 257 – Kitab Mandi

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Isma’il bin Ja’far] dari [Humaid] dari [Anas bin Malik] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat ada dahak di dinding kiblat, beliau lalu merasa jengkel hingga nampak tersirat pada wajahnya. Kemudian beliau menggosoknya dengan tangannya seraya bersabda: “Jika seseorang dari kalian berdiri shalat sesungguhnya dia sedang berhadapan dengan Rabbnya, atau sesungguhnya Rabbnya berada antara dia dan kiblat, maka janganlah dia meludah ke arah kiblat, tetapi lakukanlah ke arah kirinya atau di bawah kaki (kirinya).” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tepi kainnya dan meludah di dalamnya, setelah itu beliau membalik posisi kainnya lalu berkata, atau beliau melakukan seperti ini.”

Keterangan Hadis: (Bab menggosok Judah dengan tangan di masjid) yakni sama saja menggunakan alat ataupun tidak. Namun Al Ismaili mengomentari hal itu dengan mengatakan, “Sabda beliau, فَحَكَّهُ بِيَدِهِ (lalu menggosok dengan tangannya), yakni beliau melakukan hal itu sendiri namun bukan berarti beliau menggosok dahak dengan tangannya langsung.

Pernyataan ini didukung oleh hadits lain yang mengatakan bahwa beliau SAW menggosoknya dengan kayu.” Demikian perkataan Al Ismaili. Sementara Imam Bukhari berpandangan sesuai cakupan lafazh, di samping tidak tertutup kemungkinan bila peristiwa ini terjadi lebih dari sekali. Hadits beliau SAW menggosok dahak dengan sepotong kayu dinukil oleh Abu Daud dari hadits Jabir.

Maksud “di arah kiblat” adalah tembok yang berada di arah kiblat.

حَتَّى رُئِيَ (hingga terlihat) yakni tampak di wajahnya perasaan berat (tidak suka). Dalam riwayat An-Nasa’i dikatakan, “Beliau marah hingga wajahnya nampak merah.” Sementara dalam riwayat Imam Bukhari di bagian “Al Adab” dari hadits Ibnu Umar disebutkan, “Maka beliau marah kepada orang yang berada di masjid.”

أَوْ أَنَّ رَبّه (atau sesungguhnya Tuhannya) Demikian yang terdapat dalam kebanyakan naskah perawi, yaitu dengan ungkapan ragu seperti akan disebutkan dalam riwayat lain setelah lima bab. Dalam riwayat Al Mustamli serta Al Hamawi dikatakan “dan Tuhannya”, yakni menggunakan kata sambung “dan”.

Maksud munajat (berbisik) dari seorang hamba adalah hakikat daripada makna munajat itu sendiri. Sementara munajat dari sisi Allah SWT bermakna majaz (kiasan), yaitu respon dari-Nya dengan rahmat dan keridhaan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 123-124 – Kitab Ilmu

Adapun lafazh, “Sesungguhnya Tuhannya di antara dia dan kiblat” serta lafazh pada hadits sesudahnya, “Karena sesungguhnya Allah di depan wajahnya”, maka Al Khaththabi berkata, “Menghadap kiblat adalah mengarahkan maksudnya kepada Tuhannya, sehingga makna seharusnya adalah ‘Sesungguhnya tujuannya di antara dia dan kiblat’.”

Ada pula yang mengatakan bahwa dalam hadits di atas terdapat lafazh yang sengaja tidak disebutkan secara tekstual, dan lafazh yang dimaksud adalah “keagungan Allah di arah wajahnya atau pahala dari Allah di arah wajahnya.” Sementara Ibnu Abdil Barr berkata, “Ini adalah pembicaraan dalam konteks menghormati kiblat. Namun hal ini dibantah oleh golongan Mu’tazilah yang berpandangan bahwa Allah berada di setiap tempat, dimana ini merupakan kebodohan yang nyata karena dalam hadits disebutkan beliau meludah ke arah kakinya. Tentu saja ini merupakan bantahan atas pemikiran mereka. Hadits ini juga merupakan bantahan bagi 2 mereka yang berpandangan bahwa Dzat Allah SWT berada di atas Arsy.”[1]

Illat (kausa hukum) yang disebutkan dalam hadits di atas berindikasi bahwa meludah ke arah kiblat hukumnya haram, baik di masjid maupun di luar masjid, terutama bagi orang yang shalat. Tidak sepantasnya terjadi dalam masalah itu perselisihan tentang apakah tidak disukainya meludah di masjid berindikasi haram atau sekedar menyalahi perbuatan yang lebih utama?

Dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah dan Shahih Ibnu Hibban dari hadits Hudzaifah dengan jalur marfu’ (sampai pada Nabi SAW) disebutkan, مَنْ تَفَلَ تُجَاه الْقِبْلَة جَاءَ يَوْم الْقِيَامَة وَتَفْلُهُ بَيْن عَيْنَيْهِ (Barangsiapa meludah ke arah kiblat akan datang para hari Kiamat sementara ludahnya berada di antara kedua matanya).

Dalam riwayat lbnu Khuzaimah dari hadits Ibnu Umar dengan jalur marfu’ dikatakan, يُبْعَث صَاحِبُ النُّخَامَة فِي الْقِبْلَة يَوْم الْقِيَامَة وَهِيَ فِي وَجْهه ( Orang yang meludah ke arah kiblat akan dibangkitkan pada hari Kiamat sedangkan ludahnya berada di wajahnya).

Dalam riwayat Abu Daud dan lbnu Hibban dari hadits Sa’ib bin Khallad dikatakan, “Sesungguhnya seorang laki-laki mengimami suatu kaum lalu meludah ke arah kiblat. Ketika selesai shalat maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah ia shalat mengimami kalian ‘.” (Al Hadits). Dalam hadits itu juga disebutkan, “Sesungguhnya engkau telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 317-319 – Kitab Haid

أَوْ تَحْت قَدَمه (atau di bawah kakinya) Yakni kaki kirinya, seperti disebutkan dalam hadits Abu Hurairah setelah bab ini. Ditambahkan juga melalui jalur Hammam dari Abu Hurairah, “Lalu hendaklah menutupinya dengan tanah”, seperti akan disebutkan setelah empat bab berikut.

ثُمَّ أَخَذَ طَرَف رِدَائِهِ (kemudian beliau mengambil ujung selendang­nya … dan seterusnya) di sini terdapat penjelasan melalui praktek (peragaan) agar lebih meresap ke dalam hati pendengar. Makna lahiriah lafazh, “atau melakukan seperti ini”, adalah seseorang bebas memilih di antara apa yang disebutkan. Tetapi akan disebutkan setelah empat bab kemudian, bahwasanya Imam Bukhari memahami tindakan akhir ini apabila dalam kondisi terdesak untuk meludah. Dengan demikian, makna kata “atau” dalam hadits itu menurut pandangan beliau untuk menjelaskan macam-macam tindakan yang ditempuh, Wallahu a ‘lam.


[1] Dalam hadits di atas tidak ada bantahan terhadap mereka yang berpandangan bahwa Allah istiwa’ (bersemayam) di atas Arsy dengan dzat-Nya, sebab nash-nash Al Qur’ an maupun hadits dalam menetapkan istiwa’ Allah SWT di atas Arsy dengan dzat-Nya muhkam, qath ‘i (bersifat pasti) serta sangat jelas tidak mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan. Golongan ahlu Sunnah telah sepakat untuk menerimanya serta beriman dengan lafazh yang menjadi makna wajah itu sendiri, menurut apa yang sesuai bagi Allah SWT tanpa diserupakan dengan ciptaan-Nya. Adapun sabda beliau SAW dalam hadits, .. Karena sesungguhnya Allah di arah wajahnya apabila ia shalat” dan dalam lafazh lain … Karena sesungguhnya Rabb-nya di antara ia dengan kiblat”. adalah lafazh yang memiliki banyak makna sehingga wajib ditafsirkan berdasarkan kandungan nash-nash yang muhkam, sebagaimana telah diisyaratkan oleh lbnu Abdil Barr. Tidak boleh memahami hadits ini dengan pemahaman yang bertentangan dengan kandungan nash-nash qath ‘i dan muhkan yang menetapkan adanya istiwa ‘, Wallahu a’lam.

M Resky S