Hadits Shahih Al-Bukhari No. 50 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 50 – Kitab Iman ini, menjelaskan peringatan akan pentingnya hati, dorongan untuk memperbaikinya dan isyarat bahwa naflah yang baik memiliki efek terhadap hati, yaitu pemahaman yang diberikan oleh Allah. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 232-237.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim] Telah menceritakan kepada kami [Zakaria] dari [‘Amir] berkata; aku mendengar [An Nu’man bin Basyir] berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya.

Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”.

Keterangan Hadis: الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ (Yang halal jelas dan yang haram jelas), yaitu dalam dzat dan sifatnya sesuai dalil yang zhahir.

وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ (Dan diantara keduanya adalah hal yang meragukan), artinya hal-hal yang tersamarkan yang tidak diketahui hukumnya secara pasti. Dalam riwayat Al Ushaili kata yang disebutkan adalah, مُشْتَبِهَات juga merupakan riwayat Ibnu Majah dengan lafazh Ibnu ‘Aun. Maknanya, keduanya sepakat untuk memperoleh hal yang serupa dari dua sisi yang saling bertolak belakang. Kemudian diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari Abi Nu’aim, Syaikh Imam Bukhari dengan lafazh, وَبَيْنهمَا مُتَشَابِهَاتdan diantara keduanya terdapat perkara yang diragukan.”

لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ (Tidak banyak orang yang mengetahuinya). Yang dimaksud adalah tidak mengetahui hukumnya. Hal tersebut dijelaskan dalam riwayat At-Tirmidzi dengan lafazh, “Banyak orang yang tidak mengetahui apakah perkara tersebut halal atau haram.”

Yang dapat dipahami dari kata كَثِير adalah bahwa yang mengetahui hukum perkara tersebut hanya sebagian kecil manusia, yaitu para Mujtahid, sehingga orang yang ragu-ragu adalah selain mereka. Namun, terkadang syubhat itu timbul dalam diri para mujtahid jika mereka tidak dapat mentarjih (menguatkan) salah satu diantara dua dalil.

فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ (Barangsiapa yang menghindarkan diri dari halhal syubhat) artinya berhati-hati dengan perkara yang syubhat. Perbedaan antara para perawi dalam lafazh hadits, adalah seperti sebelumnya. Tapi menurut Muslim dan Ismaili adalah الشُّبُهَات, bentuk jamak (plural) dari kata شُبْهَة

اِسْتَبْرَأَ Maksudnya adalah, agamanya selamat dari kekurangan dan perilakunya selamat dari celaan, karena orang yang tidak menghindari hal-hal syubhat, maka dia tidak akan selamat dari perkataan orang yang mencelanya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 517-518 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Hadits ini menjelaskan, bahwa orang yang tidak menjauhkan diri dari syubhat dalam pencaharian dan kehidupannya, maka dia telah menyerahkan dirinya untuk dicemooh dan dicela. Hal ini mengandung petunjuk untuk selalu menjaga hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kemanusiaan.

وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ (Dan barangsiapa yang terjatuh dalam syubhat). Perbedaan para perawi dalam kalimat ini seperti yang telah kami kemukakan. Disamping itu para ulama juga berselisih tentang hukum Syubhat, ada yang mengatakan haram dan ada yang mengatakan makruh. Kasus ini sama dengan perbedaan pendapat tentang hukum sebelum turunnya syariat. Ringkasnya, ada empat penafsiran tentang syubhat.

Pertama, terjadinya pertentangan dalil-dalil yang ada, seperti disebutkan di atas.

Kedua, perbedaan ulama yang bermula dari adanya dalil-dalil yang saling bertentangan.

Ketiga, yang dimaksud dengan kata tersebut (syubhat) adalah yang disebut dengan makruh, karena kata tersebut mengandung unsur “melakukan” dan “meninggalkan”.

Keempat, yang dimaksud dengan syubhat adalah yang mubah (yang diperbolehkan). Telah dinukil dari Ibnu Munir dalam Manaqib Syaikh Al Qabari, beliau berkata, “Makruh merupakan pembatas antara hamba dan hal-hal yang haram. Barangsiapa banyak melaksanakan perbuatan yang makruh, maka dia berjalan menuju yang haram. Sedangkan mubah adalah pembatas antara hamba dengan yang makruh. Barangsiapa yang banyak melakukan hal yang mubah, maka dia telah menuju kepada hal yang dimakruhkan.”

Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Hibban dengan jalur yang disebutkan oleh Imam Muslim tanpa menyebutkan lafazhnya, dan dalam hadits tersebut terdapat tambahan, “Buatlah pemisah antara yang halal dengan yang haram. Yang melakukan hal tersebut, maka perilaku dan agamanya akan selamat. Orang yang menikmati hal tersebut seolaholah menikmati yang dilarang, ditakutkan akan jatuh ke dalam yang dilarang.” Artinya bahwa hal mubah yang dikhawatirkan akan menjadi makruh atau haram, maka harus dijauhi. Misalnya berlebihan dalam halhal yang baik, karena hal itu akan menuntut seseorang untuk banyak bekerja yang terkadang dapat menyebabkannya mengambil sesuatu yang bukan haknya atau melalaikan ibadahnya.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang banyak melakukan sesuatu yang makruh, akan berani melakukan sesuatu yang haram atau kebiasaannya melakukan sesuatu yang tidak diharamkan tersebut menyebabkannya melakukan sesuatu yang diharamkan. Atau dikarenakan ada syubhat di dalamnya sehingga orang yang mengerjakan sesuatu yang dilarang, hatinya akan gelap karena kehilangan sifat wara ‘ (kehati-hatian) dalam dirinya, dimana hal itu akan menyebabkannya jatuh ke dalam hal yang haram.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Buyu’ (jual beli) dari Abu Farwah dari Sya’bi yang berkaitan dengan hadits ini, “Orang yang meninggalkan dosa yang diragukan, maka sesuatu yang jelas baginya adalah harus lebih ditinggalkan. Sedangkan orang yang mengerjakan suatu dosa yang diragukannya, maka dikhawatirkan akan jatuh kepada sesuatu yang jelas (dilarang)” Hadits ini merujuk kepada pendapat pertama sebagaimana yang saya isyaratkan.

Catatan

Ibnu Munir menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membolehkan tetapnya hukum “mujmal” setelah Rasulullah. Adapun dalam menjadikannya sebagai dalil, masih harus diteliti kembali. Kecuali jika yang dimaksud adalah bahwa hal tersebut mujmal dalam hak sebagian tanpa sebagian yang lain, atau dimaksudkan untuk membantah kelompok yang mengingkari qiyas.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 624 – Kitab Adzan

كَرَاعٍ يَرْعَى (Seperti penggembala yang menggembalakan). Demikianlah yang ditemukan dalam setiap teks Imam Bukhari dengan dihapuskannya jawab syarth apabila kata مَنْ (orang) dianggap berfungsi sebagai syarth. Penghapusan tersebut juga dikuatkan dalam riwayat AdDarimi dari Abu Nu’aim Syaikh Imam Bukhari.

Dalam riwayat tersebut adalah وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى (Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang diragukan maka dia terjatuh ke dalam yang haram seperti penggembala yang menggembalakan).

Akan tetapi kata مَنْ dalam lafazh Bukhari dapat pula dianggap sebagai man maushulah (sambung). Dengan demikian maka tidak ada penghapusan di dalamnya, sehingga artinya menjadi barangsiapa yang melakukan sesuatu yang diragukan, maka orang tersebut seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya.

Pendapat pertama lebih utama untuk diterima, karena penghapusan tersebut diperkuat dengan riwayat Muslim dan yang lainnya dari jalur Zakaria yang juga merupakan riwayat Imam Bukhari. Berdasarkan hal ini, maka perkataannya كَرَاعٍ يَرْعَى berfungsi sebagai kata awal untuk menarik perhatian terhadap sesuatu yang belum terjadi dengan sesuatu yang ada.

Ada anekdot dalam perumpamaan tersebut, yaitu raja-raja Arab melindungi para pengembala mereka di suatu tempat khusus dengan ancaman hukuman berat bagi orang yang menggembalakan ternaknya di tempat itu tanpa izinnya. Oleh karena itu, Rasulullah mengumpamakannya dengan sesuatu yang masyhur atau dikenal oleh mereka.

Orang yang takut akan hukuman dan mengharapkan ridha sang raja, maka dia akan menjauhi tempat tersebut karena khawatir ternaknya akan masuk ke dalam daerah tersebut. Oleh sebab itu, betapapun ketatnya pengawasan seseorang terhadap binatang gembalaannya, menjauh dan tempat itu adalah lebih selamat baginya.

Sedangkan orang yang tidak takut, akan menggembalakan ternaknya di dekat tempat tersebut tanpa ada jaminan bahwa tak ada satupun ternaknya yang memisahkan diri dan masuk ke dalam daerah tersebut. Atau tempat yang ditempatinya sudah gersang dan tidak ada tumbuhan, sedangkan daerah larangan masih subur sehingga dia tidak dapat menguasai dirinya dan masuk ke dalam daerah tersebut.

Catatan

Sebagian ulama mengklaim bahwa terumpamaan tersebut adalah perkataan Sya’bi dan ia termasuk mudarri/ dalam hadits. Pendapat tersebut diceritakan oleh Abu Amru Ad-Dani, dan saya tidak memperhatikan dalil-dalil mereka kecuali yang dimiliki oleh Ibnu Jarud dan Ismaili dari riwayat Ibnu ‘Aun dari Sya’bi.

Ibnu ‘Aun berkata dalam akhir hadits, ‘”Saya tidak tahu apakah perumpamaan itu berasal dari perkataan Nabi atau perkataan Sya’bi.” Menurut saya, keragu-raguan Ibnu ‘Aun menetapkannya sebagai hadits marfu’ tidak menjadikannya sebagai hadits yang berstatus mudarraj, karena beberapa perawi yakin bahwa hadits tersebut berstatus marfu’. Oleh karena itu, keragu-raguan sebagian mereka tidak mempengaruhi hal tersebut.

Begitu pula dengan tidak dituliskannya perumpamaan tersebut dalam riwayat beberapa perawi -seperti Abu Farwah dari Sya’bi- juga tidak berpengaruh terhadap perawi yang mencantumkannya, karena mereka adalah huffazh (para penghafal hadits).

Agaknya inilah rahasia penghapusan kata وَقَعَ فِي الْحَرَام. (jatuh ke dalam yang haram) dalam riwayat Al Bukhari, agar apa yang disebutkan sebelum perumpamaan berkaitan erat dengannya. Dengan demikian, maka hadits tersebut selamat dari tuduhan mudarraj. Riwayat yang menguatkan tidak adanya idraj dalam hadits ini adalah riwayat Ibnu Hibban, dan dicantumkannya perumpamaan tersebut dengan status marfu” dalam riwayat Ibnu Abbas dan juga Ammar bin Yasir.

(Sesungguhnya larangan Allah di bumiNya adalah hal-hal yang diharamkan-Nya). Dalam riwayat Mustamli tidak menggunakan kalimat فِي أَرْضِهِ, sedangkan dalam riwayat selain Abu Dzarr, huruf “waw” dicantumkan dalam kalimat  أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّه(Dan sesungguhnya larangan Allah). Yang dimaksud dengan مَحَارِمُ adalah perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan pekerjaan yang wajib, maka dalam riwayat Abi Farwah diinterpretasikan dengan مَعَاصِي (kemaksiatan) sebagai ganti dari kata مَحَارِمُ (yang diharamkan). Sedangkan kata أَلَا, berfungsi memperingatkan bahwa setelahnya adalah kebenaran.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 63 – Kitab Ilmu

مُضْغَة (Segumpal darah) dinamakan hati (قَلْب) , karena sifatnya yang selalu berubah atau karena dia adalah bagian badan yang paling bersih, atau juga karena dia diletakkan terbalik dalam badan.

إِذَا صَلَحَتْ dan إِذَا فَسَدَتْ. Penggunaan kata lii menunjukkan hal tersebut biasa terjadi dan bisa juga berarti “jika” seperti yang ada di riwayat ini. Dikhususkannya hati dalam hal ini, karena hati adalah pemimpin badan. Jika pemimpinnya baik maka rakyat pun akan baik, demikian pula sebaliknya.

Hadits ini mengandung peringatan akan pentingnya hati, dorongan untuk memperbaikinya dan isyarat bahwa naflah yang baik memiliki efek terhadap hati, yaitu pemahaman yang diberikan oleh Allah. Pendapat tersebut dapat dijadikan dalil bahwa akal berada di hati berdasarkan firman Allah, “Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami.” dan firman Allah, “Sesungguhnya dalam semua itu terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati. ” Para ahli tafsir mengartikan hati dengan “akal”. Adapun disebutkannya hati, karena hati adalah tempat bersemayamnya akal.

Pelajaran Yang Dapat Diambil Kalimat

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَد مُضْغَة hanya ditemukan dalam riwayat AsSya’bi, bahkan kebanyakan riwayat yang berasal dari Sya’bi tidak ada kalimat tersebut. Penambahan tersebut hanya ditemukan dalam riwayat Zakariya dari As-Sya’bi. Kemudian diikuti oleh Mujahid pada riwayat Ahmad, Mughirah dan lainnya pada riwayat Thabrani. Kemudian dalam beberapa riwayat digunakan kata صِّحَّةِ (sehat) dan السَّقَم (sakit) sebagai ganti shalaahun (baik) dan fasaadun (rusak).

Adapun korelasi dengan kalimat sebelumnya adalah bahwa asal dari ketakwaan dan kehancuran adalah hati, karena ia adalah pemimpin tubuh. Oleh karena itu, para ulama mengagungkan hadits ini dan menganggapnya sebagai faktor keempat dari 4 faktor yang mendasari hukum sebagaimana yang dinukilkan dari Abu Daud. Ada dua bait yang masyhur tentang hal tersebut;

Fondasi agama menurut kami adalah kalimat-kalimat yang disandarkan kepada sabda khairul barriyah (manusia yang paling baik)

Tinggalkan yang syubhat dan berzuhudlah kemudian biarkan yang tidak ada di depan matamu lalu berbuatlah dengan niat.

Abu Daud menganggap kalimat, “Apa yang aku larang maka jauhilah…” sebagai ganti dari kalimat, “Berzuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia.” Ibnu Arabi mengisyaratkan bahwa hadits tersebut mencakup seluruh hukum syar’i. A! Qurthubi berkata, “Hal tersebut dikarenakan hadits tersebut mencakup perincian tentang halal dan haram serta yang lainnya, serta adanya hubungan yang erat antara perbuatan dengan hati, maka seluruh hukum yang ada dapat merujuk kepadanya.”

M Resky S