Hadits Shahih Al-Bukhari No. 398 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 398 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Kafarat (Tebusan) Bagi Orang yang Meludah di Masjid” hadis ini menjelaskan bahwa meludah didalam masjid adalah sebuah dosa, dan kafaratnya (tebusannya) adalah dengan menguburnya. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 124-126.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Adam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Qatadah] berkata, aku mendengar [Anas bin Malik] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Meludah di dalam Masjid adalah suatu dosa. Maka kafarahnya (tebusannya) adalah menguburnya.”

Keterangan Hadis: Dalam bab ini, Imam Bukhari menyebutkan hadits, “Meludah di masjid merupakan kesalahan, dan kafaratnya adalah menutupinya dengan tanah”, yang merupakan hadits Anas dengan sanad seperti pada bab terdahulu. Sementara dalam riwayat Imam Muslim disebutkan lafazh التفل yaitu meludah secara ringan.

Al Qadhi Iyadh berkata, “Perbuatan tersebut dianggap suatu kesalahan apabila tidak ditimbun atau ditutupi dengan tanah. Sedangkan orang yang meludah dan bermaksud menutupinya maka tidak dianggap salah.” Tetapi perkataan ini dibantah oleh Imam An-Nawawi dengan alasan, bahwa pemyataan tersebut menyalahi konteks hadits.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa letak perselisihannya karena dalam masalah ini terdapat dua makna yang bersifat umum dan saling bertentangan. Pertama, “Meludah di masjid merupakan kesalahan.” Kedua, “Hendaklah ia meludah ke arah kiri atau di bawah kakinya.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 327-328 – Kitab Tayammum

Imam An-Nawawi menempatkan Jafazh pertama bersifat umum, sementara lafazh kedua adalah khusus selain di masjid. Sedangkan Al Qadhi lyadh memahami sebaliknya, dimana lafazh kedua bersifat umum dan lafazh pertama bersifat khusus bagi mereka yang tidak berkeinginan untuk menutupinya.

Pandangan ini telah disepakati oleh sejumlah ulama, di antaranya lbnu Makki dalam kitab At-Tanqib, Al Qurthubi dalam kitab Al Mufhim serta selain keduanya. Pandangan mereka didukung oleh riwayat Imam Ahmad dengan sanad hasan dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqas secara marfu’ (sampai pada Nabi SAW), “Barangsiapa yang membuang (mengeluarkan) dahak di masjid, maka hendaklah ia menghilangkannya agar tidak menimpa kulit seorang mukmin atau pakaiannya, dan ia merasa terganggu karenanya.”

Lebih spesifik dari hadits ini yaitu hadits yang dinukil oleh Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dengan sanad hasan dari had its Abu Umamah secara marfu’ (sampai kepada Nabi) Dia berkata, “Barangsiapa yang membuang dahak di masjid lalu ia tidak menutupinya dengan tanah maka itu adalah keburukan, sedangkan bila ia menutupinya maka itu adalah kebaikan.”

Di sini perbuatan itu tidak dianggap sebagai kesalahan, kecuali bila tidak ditimbun. Serupa dengan hadits ini diriwayatkan pula dari hadits Abu Dzar dalam riwayat Imam Muslim melalui jalur marfu’ (sampai kepada Nabi SAW) Beliau bersabda, “Aku menemukan di antara keburukan amalan-amalan umatku adalah membuang dahak di masjid, lalu tidak menutupinya dengan tanah.” Al Qurthubi berkomentar, “Perbuatan itu tidak dianggap sebagai kesalahan bila sekedar meludah di masjid, bahkan ia dianggap kesalahan apabila dibiarkan tanpa ditutupi dengan tanah.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 101-102 – Kitab Ilmu

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Abu Ubaidah bin Jarrah, ”Bahwasanya dia membuang dahak di masjid pada suatu malam, Jalu ia lupa untuk menutupinya dengan tanah hingga pulang ke rumahnya. Kemudian dia mengambil obor dan kembali mencari tempat dahak tersebut lalu menguburnya. Kemudian dia berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak menulis kesalahanku pada malam ini’.” Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan hanya khusus bagi mereka yang membiarkannya, bukan mereka yang menutupinya dengan tanah.

Indikasi larangan tersebut juga sangat jelas, yaitu agar tidak mengganggu orang mukmin. Di antara hal yang menunjukkan bahwa keumuman hadits tersebut tidak berlaku mutlak, adalah kebolehan meludah pada kain meskipun berada di masjid, dimana hal ini tidak ada yang memperselisihkannya.

Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah bin Asy-Syakhir, “Bahwasanya dia shalat bersama Nabi SAW lalu meludah di bawah kaki kirinya, kemudian menggosok dengan kakinya.” Sanad hadits ini shahih, dan asalnya terdapat dalam riwayat Imam Muslim. Secara lahiriah hal itu terjadi di masj id, sehingga semakin menguatkan keterangan terdahulu.

Sebagian ulama mengambil jalan tengah dengan memahami kebolehan meludah apabila ada udzur (alasan syar’i), seperti tidak mampu keluar dari masjid. Sedangkan larangan tersebut berlaku apabila tidak ada udzur, dan ini adalah perincian yang baik. Wallahu a ‘lam.

Sebaiknya dalam hal ini dibedakan antara orang yang telah berusaha untuk menguburnya sebelum meludah, seperti menggali tanah terlebih dahulu lalu meludah, dengan orang yang lebih dahulu meludah dengan niat menguburnya nanti. Di sini akan timbul perbedaan dengan yang sebelumnya. Karena apabila kafarat (tebusan) bagi mereka yang menampakkan Judah itu adalah menutupinya dengan tanah lalu bagaimanakah dengan orang yang telah menguburnya sejak awal dapat dikatakan berdosa?

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 345-346 – Kitab Shalat

Imam An-Nawawi mengatakan, bahwa kalimat “Kafaratnya (tebusannya) adalah menguburnya” menurut mayoritas ulama adalah menutupinya dengan tanah, pasir ataupun kerikil yang ada di dalam masjid. Lalu Ar-Rauyani menukil bahwa maksud menutupinya dengan tanah (mengubur) adalah mengeluarkan Judah tersebut dari masjid. Saya (lbnu Hajar) katakan, apa yang dikatakan oleh Ar-Rauyani sejalan dengan pandangan Imam An-Nawawi yang melarang secara mutlak.

Catatan

Kalimat, “di masjid” adalah keterangan tempat terjadinya perbuatan itu, sehingga tidak disyaratkan keberadaan pelaku di masjid. Bahkan, termasuk dalam cakupan ini adalah orang yang berada di luar masjid lalu meludah ke dalamnya. Wallahu a ‘lam.

M Resky S