Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 44 – Kitab Iman ini, menerangkan bahwa zakat adalah bagian dari Islam. Hadis ini diawali dengan datangnya seorang lelaki dari Najeed dan badannya penuh akan debu. Lelaki tersebut masuk bertemu Rasulullah saw dan menyakan beberapa pertanyaan. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 194-199.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
Terjemahan:Telah menceritakan kepada kami [Isma’il] Telah menceritakan kepadaku [Malik bin Anas] dari pamannya – [Abu Suhail bin Malik] – dari [bapaknya], bahwa dia mendengar [Thalhah bin ‘Ubaidullah] berkata: Telah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seorang dari penduduk Najed dalam keadaan kepalanya penuh debu dengan suaranya yang keras terdengar, namun tidak dapat dimengerti apa maksud yang diucapkannya, hingga mendekat (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) kemudian dia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Shalat lima kali dalam sehari semalam”. Kata orang itu: “apakah ada lagi selainnya buatku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) “. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dan puasa Ramadlan”. Orang itu bertanya lagi: “Apakah ada lagi selainnya buatku”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) “. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut: “Zakat”: Kata orang itu: “apakah ada lagi selainnya buatku”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) “. Thalhah bin ‘Ubaidullah berkata: Lalu orang itu pergi sambil berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dia akan beruntung jika jujur menepatinya”.
Keterangan Hadis: Allah SWT berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.”
Ayat tersebut sebagai dalil pernyataan yang ada dalam judul bab, karena maksud dari (agama yang lurus) adalah agama Islam. Dalam judul tersebut, Imam Bukhari hanya menyebutkan zakat karena rukun-rukun yang lain telah dibahas pada bab lain. Sanad hadits ini terdiri dari orangorang Madinah.
جَاءَ رَجُل (Seorang laki-laki datang). Kemudian Abu Dzarr menambahkan lafazh مِنْ أَهْل نَجْد (Dari penduduk Najd), demikian pula riwayat Abu Dzarr dalam Muwaththa’ dan Muslim.
ثَائِر الرَّأْس (Dengan kepala penuh debu). Maksudnya adalah rambutnya kusut dan tidak teratur. Hadits ini mengisyaratkan bahwa ia berasal dari daerah yang jauh. Penggunaan kata ra ‘sun (kepala) dengan arti rambut adalah untuk penekanan, karena rambut tumbuh di kepala.
Menurut Al Khaththabi, دَوِيّ adalah suara yang keras dan diulangulang, tetapi tidak dapat dipahami karena berasal dari tempat yang jauh.
Ibnu Baththal dan yang lainnya berpendapat bahwa orang tersebut adalah Dhammam bin Tsa’labah, seorang utusan bani Sa’ad bin Bakar sebagaimana diceritakan oleh Imam Muslim setelah menyebutkan hadits Thalhah, karena dalam kedua riwayat tersebut dijelaskan bahwa ia adalah seorang Badui yang berkata, “Aku tidak akan menambah dan menguranginya.”
Akan tetapi Imam Qurthubi membantah pendapat itu, karena konteks kedua hadits tersebut berbeda, begitu juga pertanyaan yang diajukan pun berbeda. Beliau berkata, “Pendapat yang mengatakan bahwa kedua hadits tersebut adalah sama sangatlah berlebihan.” Wallahu ‘Alam. Pendapat ini dikuatkan oleh sebagian pakar, karena Ibnu Sa’ad dan Ibnu Abdul Barr tidak menyebutkan Dhammam kecuali pada awal kisah dan hal ini tidak lazim.
فَإِذَا هُوَ يَسْأَل عَنْ الْإِسْلَام (Kemudian ia menanyakan perihal Islam), maksudnya adalah tentang syariat Islam atau tentang hakikat Islam. Dalam hadits ini tidak disebutkan dua kalimat syahadat, karena Rasulullah SAW telah mengetahui bahwa orang tersebut mengetahuinya atau ia hanya bertanya tentang syariat fi’liyah (Ajaran syariat yang bersifat amalan); dan ada kemungkinan bahwa Rasulullah telah menyebutkannya, tetapi tidak dinukilkan oleh para perawi karena hal tersebut sudah masyhur.
Adapun tidak disebutkannya haji, dalam hadits tersebut disebabkan karena haji belum disyariatkan pada waktu itu, atau karena perawi meringkas hadits tersebut. Kemungkinan kedua, ini diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam bab “Shiyam” (puasa) dari jalur Ismail bin Ja’far dari Abu Suhail yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya tentang syariat Islam dan menyebutkan amalan-amalan fardhu lainnya, bahkan amalan-amalan yang sunnah.
خَمْس صَلَوَات (Shalat lima waktu). Dalam riwayat Ismail bin Ja’far disebutkan bahwa orang tersebut bertanya, “Kabarkan kepadaku tentang shalat yang diwajibkan Allah kepadaku?” Rasulullah SAW menjawab, “shalat yang lima.” Dalam riwayat tersebut, kesesuaian antara pertanyaan dan jawaban terlihat sangat jelas.
Dari konteks riwayat Malik dapat disimpulkan, bahwa shalat selain shalat yang lima tidak diwajibkan, berbeda dengan orang yang mewajibkan shalat Witir, dua rakaat Fajar, shalat Dhuha, shalat ‘Id dan dua rakaat setelah Maghrib.
هَلْ عَلَيَّ غَيْرهَا ؟ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّع (Apakah ada lagi selain itu? Rasulullah menjawab, “Tidak kecuali jika anda suka mengerjakan shalat sunah’). Dari hadits ini, ada sebagian orang yang berpendapat bahwa jika seseorang mengerjakan hal-hal yang sunah maka ia wajib untuk menyempurnakannya, karena huruf illa (kecuali) dalam hadits tersebut berkaitan dengan kalimat sebelumnya.
Al Qurthubi berkata, “Maksud dari kalimat tersebut adalah, bahwa tidak ada kewajiban lain kecuali jika anda suka mengerjakan shalat sunah. Menurut kaidah bahasa, jika huruf istitsna’ (pengecualian) terdapat dalam konteks kalimat negatif, maka menunjukkan arti positif. Akan tetapi karena tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa amalan sunah adalah wajib dikerjakan, maka maksud dari hadits tersebut adalah bahwa jika seseorang telah berniat mengerjakan amalan sunah maka ia harus mengerjakannya.”
Pendapat ini dibantah oleh Ath-Thibi dan dianggap sebagai pendapat yang keliru, karena istitsna’ (pengecualian) dalam kalimat ini bukan berasal dari jenis yang sama. Sebab dalam menyebutkan amalan sunnah, Rasulullah SAW tidak menggunakan kata “Alaika” yang mengandung arti wajib. Dari sini maka seakan-akan Rasulullah bersabda, “Tidak ada amalan lain yang wajib bagimu kecuali jika kamu ingin mengerjakan amalan sunah, maka itu merupakan tambahan pahala bagimu.” Hal ini disebabkan karena tidak ada amalan sunnah yang merupakan kewajiban, maka tidak ada kewajiban lain selain yang telah disebutkan. Demikianlah pendapat Ath-Thibi.
Sebenarnya, perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perbedaan ulama dalam menafsirkan huruf istitsna’(إلاّ ) Orang yang menganggap bahwa huruf tersebut bersifat muttashil atau berkaitan dengan kalimat sebelumnya, maka ia berpegang pada hukum asal, yaitu bahwa wajib untuk menyempurnakan amalan sunnah yang dikerjakannya. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa huruf tersebut bersifat munqathi’ atau tidak berkaitan dengan kalimat sebelumnya, maka ia harus mempunyai dalil yang menguatkan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan perawi-perawi lainnya, bahwa terkadang Rasulullah SAW berniat untuk berpuasa sunnah, tetapi kemudian beliau membatalkan puasanya sebelum waktu maghrib datang.
Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada Juwairiyah binti Harits untuk membatalkan puasa sunah yang sedang dilakukannya pada hari Jum’at, maka teks ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan untuk menyempurnakan puasa sunah dan juga amalan-amalan lainnya.
Jika ada pernyataan, “Apakah hal itu juga berlaku dalam ibadah haji?” Jawabnya tidak, karena haji berbeda dengan ibadah yang lain, yaitu diwajibkan untuk meneruskan atau menyempurnakannya. Hanya saja dalam argumen madzhab Hanafi perlu diteliti kembali, karena mereka tidak mengatakan bahwa hukum menyempurnakannya adalah fardhu tapi mereka mengatakan wajib.
Sedangkan mengecualikan wajib dari fardhu adalah pengecualian (istitsna’ munqathi’) atau tidak bersambung, karena keduanya berbeda. Begitu pula dengan istitsna” nafyi (menafikan) adalah bukan untuk menetapkan (itsbat), maka kalimat إِلَّا أَنْ تَطَّوَّع merupakan pengecualian dari kata لا yang artinya tidak ada kewajiban bagi kamu atas yang lainnya.
وَذَكَرَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاة (Kemudian Rasulullah SAW meneruskan ucapannya, “dan zakat”). Dalam riwayat Abdullah bin Ja’far diriwayatkan bahwa orang tersebut berkata, “Kabarkan kepadaku, zakat apa yang diwajibkan Allah kepadaku?” Rasulullah SAW memberitahukan tentang syariat tersebut.
Riwayat tersebut hanya menyebutkan beberapa kewajiban secara global saja dan tidak menjelaskan tentang kadar zakat ataupun namanama shalat. Ha! ini mungkin disebabkan karena permasalahan seperti itu telah diketahui oleh mereka, atau karena maksudnya adalah bahwa orang yang telah melaksanakan hal-hal yang fardhu saja maka ia akan selamat dari api neraka, meskipun ia tidak mengerjakan hal-hal yang sunah.
وَاَللَّه (Demi Allah). Dalam riwayat Ismail bin Ja’far, lafazhnya adalah وَاَلَّذِي أَكْرَمَك (Dan demi Allah yang telah memuliakanmu). Kalimat ini mengindikasikan, bahwa sumpah dalam hal-hal yang penting dibolehkan sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ (Dia pasti beruntung jika ia benar-benar menepati perkataannya). Dalam Shahih Muslim dari Ismail bin Ja’far disebutkan, أَفْلَحَ وَأَبِيهِ إِنْ صَدَقَ (أَوْ ) atau دَخَلَ الْجَنَّة وَأَبِيهِ إِنْ صَدَقَ Dalam riwayat Abu Daud juga seperti itu, akan tetapi dengan membuang kata أَوْ
Jika ada sebuah pertanyaan, “Bagaimanakah cara menggabungkan antara riwayat ini dengan larangan bersumpah yang menggunakan nama orang tua?” Jawabnya, bahwa hal itu dilakukan Rasulullah SAW sebelum turunnya larangan tersebut, atau karena kalimat tersebut merupakan perkataan yang sering digunakan tanpa ada maksud bersumpah, seperti halnya perkataan mereka “Aqari “atau “Halagi“yang berarti semoga Allah menghinakannya. Bisa juga karena pembuangan kata rabbun (Tuhan), sehingga asal kalimat tersebut adalah (dan demi Tuhan ayahnya). Kemudian ada yang berpendapat bahwa kalimat tersebut termasuk dalam kategori kalimat khusus, oleh karena itu masih membutuhkan adanya dalil.
Imam Suhaili meriwayatkan dari syaikhnya bahwa ia berkata, “Hal tersebut merupakan tashhiif (salah penulisan), dan yang benar adalah wallahi (dan demi Allah).”
Imam Qurthubi membantah pendapat tersebut dan berkata, “Riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat yang shahih.” Sedangkan Al Qarafi keliru ketika menyatakan riwayat dengan lafazh “Wa Abiihi“, dengan alasan bahwa riwayat tersebut tidak ditemukan dalam kitab Al Muwaththa’. Agaknya beliau belum puas dengan jawaban yang ada sehingga ia mencari kesalahan dari segi riwayatnya, padahal riwayat tersebut termasuk riwayat yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Adapun jawaban yang paling kuat adalah dua jawaban yang pertama.
Ibnu Baththal berpendapat, bahwa perkataan Rasulullah أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ mengindikasikan bahwa jika orang tersebut tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya maka ia tidak akan beruntung, berbeda dengan pendapat golongan Murji’ah.
Jika ada pertanyaan, “Bagaimana seseorang dapat beruntung atau selamat hanya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang disebutkan, padahal dalam hadits tersebut tidak disebutkan laranganlarangan?” Dalam hal ini Ibnu Baththal menjawab, bahwa -mungkin- Rasulullah mengatakan hal tersebut sebelum disyariatkannya laranganlarangan.
Jawaban ini sangatlah aneh, karena Ibnu Baththal berkeyakinan bahwa si penanya adalah Dhammam, seorang utusan yang menghadap Rasulullah pada tahun ke-5 hijriyah bahkan ada yang mengatakan setelah itu. Padahal banyak larangan yang telah disyariatkan sebelum itu. Adapun pendapat yang benar adalah, bahwa larangan-larangan tersebut tersirat dalam hadits, “Maka Rasulullah SAW memberitahukan tentang syariat tersebut,” sebagaimana telah kita jelaskan di atas.
Jika ada orang yang bertanya, “Pernyataan bahwa ia beruntung karena ia tidak mengurangi (kewajiban yang ditetapkan) adalah sangat jelas, akan tetapi bagaimana dengan pernyataannya bahwa ia akan beruntung karena ia tidak menambahnya?” Imam Nawawi menjelaskan, bahwa keberuntungan tersebut diberikan karena ia mengerjakan apa yang diwajibkan kepadanya dan bukan berarti bahwa jika ia melakukan hal-hal lainnya (sunah) maka ia tidak akan beruntung. Hal ini disebabkan karena dengan melakukan hal-hal yang wajib saja seseorang dapat beruntung, maka ia akan lebih beruntung jika ia juga melakukan hal-hal yang sunnah.
Kemudian apabila ada pertanyaan, “Bagaimana Rasulullah membiarkan sumpahnya padahal ada bantahan terhadap orang yang bersumpah untuk tidak berbuat baik?” Saya jawab, bahwa hal tersebut berbeda sesuai dengan orang dan tempat yang berbeda, dan hal ini berlaku bagi asal masalah bahwa tidak ada dosa bagi yang meninggalkan sesuatu yang tidak fardhu dan dia masuk dalam golongan yang beruntung walaupun yang lain lebih besar keuntungannya dibandingkan dirinya.
Ath-Thibi berkata, “Kemungkinan perkataan ini keluar dari dirinya dengan maksud tidak berlebih-lebihan mempercayai dan menerima, dalam artian saya terima perkataanmu tidak lebih dari apa yang kutanyakan dan tidak kurang dari yang kuterima.”
Ibnu Munir berkata, “Kemungkinan bertambah dan berkurangnya tergantung pada penyampaiannya, karena ia adalah utusan kaumnya untuk belajar dan mengajari mereka.”
Saya berpendapat, kedua kemungkinan tersebut tidak dapat diterima dengan riwayat Ibrahim bin Ja’far, karena teksnya adalah; (Aku tidak akan menambahkan yang sunnah dan tidak mengurangi apa yang diwajibkan oleh Allah terhadap diriku).
Ada juga yang berpendapat, bahwa maksud dari “Tidak menambah dan menguranginya” adalah saya tidak akan merubah kewajiban, seperti mengurangi shalat zhuhur menjadi satu rakaat atau menambahkan rakaat maghrib. Saya jawab, bahwa hal tersebut juga dibantah oleh riwayat Ismail bin Ja’far.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020