Hadits Shahih Al-Bukhari No. 631-633 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 631-633 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Apabila Makanan Telah Siap (Dihidangkan) dan Qamat Untuk Shalat Telah Dilakukan” Hadis-hadis ini menjelaskan tentang anjuran untuk mendahulukan memakan makanan yang telah dihidangkan daripada shalat. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 237-245.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Hisyam] berkata, telah menceritakan [bapakku] kepadaku, katanya: “Aku mendengar [‘Aisyah radliallahu ‘anhu] berkata,, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila makan malam sudah dihidangkan sedangkan shalat jama’ah sudah dibacakan iqamatnya, maka dahulukanlah makan”.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Bukair] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [‘Uqail] dari [Ibnu Syihab] dari [Anas bin Malik radliallahu ‘anhu] bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila makan malam sudah dihidangkan, maka makanlah terlebih dahulu sebelum kalian melaksankan shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam menyelesaikan makan kalian”.

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ أَبِي أُسَامَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ وَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُوضَعُ لَهُ الطَّعَامُ وَتُقَامُ الصَّلَاةُ فَلَا يَأْتِيهَا حَتَّى يَفْرُغَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ وَقَالَ زُهَيْرٌ وَوَهْبُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ فَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ وَإِنْ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ رَوَاهُ إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ وَهْبِ بْنِ عُثْمَانَ وَوَهْبٌ مَدِينِيٌّ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Ubaid bin Isma’il] dari [Abu Usamah] dari [‘Ubaidullah] dari [Nafi’] dari [Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhu] berkata,; Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila makan malam seseorang dari kalian sudah dihidangkan sedangkan shalat sudah didirikan, maka dahulukanlah makan malam dan janganlah tergesa-gesa hingga dia menuntaskannya”. Ibnu ‘Umar juga pernah dihidangkan padanya suatu makanan sedangkan shalat sedang dilaksanakan, namun dia tidak mengikuti shalat tersebut hingga selesai, padahal saat itu dia juga mendengar bacaan imam. Berkata [Zuhair] dan [Wahab bin ‘Utsman] dari [Musa bin ‘Uqbah] dari [Nafi’] dari [Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhu] berkata,; Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila seseorang dari kalian sedang makan janganlah dia tergesa-gesa hingga dia menyelesaikan kebutuhan (makan) nya sekalipun shalat jama’ah sedang dilaksanakan”. Diriwayatkan oleh [Ibrahim bin Al Mundzir] dari [Wahab bin ‘Utsman], dan Wahab adalah penduduk Madinah.

Keterangan Hadis: (Bab apabila makanan telah siap (dihidangkan) dan qamat untuk shalat telah dilakukan) Az-Zain bin Al Manayyar berkata, “Tidak disebutkannya kalimat pelengkap pada judul bab ini adalah sebagai isyarat bahwa Imam Bukhari tidak menetapkan hukum masalah tersebut karena adanya perbedaan yang kuat dalam masalah itu.” Sepertinya Imam Bukhari mensinyalir dua atsar (riwayat) yang disebutkan di bab ini, dimana keduanya merupakan sumber perbedaan para ulama dalam masalah ini. Karena Ibnu Umar memahaminya secara mutlak (tanpa batasan), sementara Abu Darda’ memberi batasan apabila hati disibukkan oleh keinginan untuk makan. Atsar lbnu Umar disebutkan dalam bab ini dari segi maknanya, sementara atsar Abu Darda’ dinukil dengan sanad maushul (lengkap) oleh Ibnu Al Mubarak dalam pembahasan tentang zuhud, lalu dinukil oleh Muhammad bin Nashr Al Marwazi dalam pembahasan tentang Ta’zhim qadri Ash-Shalaah melalui jalur beliau.

وَأُقِيمَتْ الصَّلَاة (dan qamat untuk shalat telah dilakukan) Ibnu Daqiq Al Id berkata, “Huruf alif dan laam pada kata الصَّلَاة tidak dapat dipahami bahwa artinya adalah semua shalat, dan bukan pula untuk mengenalkan hakikat shalat itu sendiri. Bahkan sepantasnya dipahami bahwa yang dimaksud adalah shalat Maghrib, berdasarkan sabda beliau SAW, فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ (Maka dahulukanlah makan malam). Pernyataan bahwa yang dimaksud adalah shalat Maghrib didukung oleh sabda beliau SAW dalam riwayat lain, فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا الْمَغْرِبَ (Maka dahulukanlah makan tersebut sebelum kalian melakukan shalat Maghrib), karena sebagian hadits telah menafsirkan , sebagian yang lain. Sementara dalam riwayat yang shahih disebutkan, إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأَحَدُكُمْ صَائِم (Apabila makan malam telah dihidangkan sedang salah seorang di antara kalian berpuasa). Demikian perkataan Ibnu Daqiq Al Id.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 138 – Kitab Wudhu

Al Fakihani berkata, “Sepantasnya hadits ini dipahami sebagaimana cakupannya yang bersifat umum, demi memperhatikan illat (alasan penetapan hukum), yakni gangguan yang menghilangkan kekhusyukan. Adapun penyebutan ‘shalat Maghrib’ pada riwayat itu tidak berarti hukum tersebut hanya terbatas pada shalat Maghrib, karena orang yang lapar dan tidak berpuasa terkadang keinginannya untuk makan lebih besar daripada orang yang berpuasa.” Memahami hadits ini di bawah konteks umum adalah berdasarkan maknanya, yakni menyamakan orang yang lapar dengan orang yang berpuasa dan menyamakan makan siang dengan makan malam, bukan dari sisi lafazh yang disebutkan dalam riwayat.[1]

فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ (dahulukan makan malam) Mayoritas ulama mengatakan bahwa perintah pada ayat ini berindikasi sunah. Namun mereka berbeda pendapat, dimana ada yang membatasinya pada orang yang butuh untuk makan, dan ini merupakan pandangan masyhur dalam madzhab Syafi’i. Lalu Imam Al Ghazali menambahkan; yaitu apabila dikhawatirkan makanan akan segera rusak (basi). Di antara mereka ada yang tidak membatasinya dengan batasan tertentu, ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq, ini pula yang diindikasikan oleh perbuatan Ibnu Umar yang akan dijelaskan nanti.

Sementara Ibnu Hazm mengeluarkan pandangan yang ekstrim, dengan mengatakan bahwa “Shalat menjadi batal.”[2] Adajuga yang memilih untuk mendahulukan shalat, kecuali apabila hidangan tersebut adalah makanan ringan. Pendapat ini dinukil oleh Ibnu Mundzir dari Malik. Sementara di kalangan pengikut Imam Malik disebutkan secara rinci, mereka berkata, “Shalat lebih didahulukan apabila keinginan untuk makan tidak terlalu besar. Atau ia menginginkannya tapi keinginan tersebut tidak menjadikan shalatnya terburu-buru. Adapun apabila hal itu menjadikannya terburu-buru, maka makan lebih didahulukan.

إِذَا وُضِعَ عَشَاء أَحَدكُمْ (apabila makan malam salah seorang di antara kamu telah dihidangkan) Hal ini lebih spesifik daripada riwayat yang berbunyi, إِذَا وُضِعَ الْعَشَاء (Apabila makan malam telah disiapkan). Kemungkinan makan malam yang dimaksud dalam riwayat ini adalah makan malamnya orang yang hendak shalat. Adapun bila dihidangkan makan malam untuk orang lain, maka tidak masuk dalam cakupan hadits tersebut. Namun ada pula kemungkinan yang dikatakan berdasarkan maknanya, yakni apabila seseorang lapar dan hatinya menjadi sibuk karena memikirkan makanan orang lain, maka hukumnya sama seperti orang yang dihidangkan makanan untuknya. Adapun solusi yang bisa dilakukannya adalah berpindah dari tempat itu atau mencicipi makanan lain yang dapat memalingkannya dari memikirkan makanan tersebut, agar ia shalat dengan hati yang khusyuk dan tidak disibukkan dengan sesuatu selain shalat. Kemungkinan ini didukung oleh makna umum riwayat Muslim melalui jalur lain dari Aisyah, لَا صَلَاة بِحَضْرَةِ طَعَامٍ (Tidak ada shalat apabila makanan telah dihidangkan). Demikian pula perkataan Abu Darda’, إِقْبَاله عَلَى حَاجَته (Hendaknya lebih dahulu menunaikan kebutuhannya).

وَكَانَ اِبْن عُمَر (dan biasanya Ibnu Umar) Riwayat ini memiliki sanad maushul (bersambung) yang disambungkan dengan hadits marfu’. As-Sarraj meriwayatkan melalui jalur Yahya bin Sa’id, dari Ubaidillah, dari Nafi’, dimana ia menyebutkan riwayat yang marfu’ (langsung dari Nabi SAW). Kemudian dia berkata, “Naji berkata, ‘Biasanya Ibnu Umar apabila makan malamnya telah disiapkan sementara adzan untuk shalat telah dikumandangkan dan qamat pun telah dilakukan, maka dia tidak berdiri hingga selesai (makan) ‘.”

Ibnu Hibban juga meriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij dari Nafi’, “Bahwasanya Ibnu Umar biasa shalat Maghrib apabila matahari telah terbenam. Terkadang dia mendapati shalat Maghrib dalam keadaan berpuasa, maka disodorkan kepadanya makan malamnya sementara adzan telah dikumandangkan dan qamat pun dilakukan. Dia mendengar (semua itu), namun tidak meninggalkan makanannya dan tidak pula terburu-buru hingga menyelesaikan makan malamnya, kemudian keluar dan shalat.” Ini merupakan riwayat paling tegas yang dinukil dari Ibnu Umar sehubungan dengan persoalan tersebut.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 168 – Kitab Wudhu

Imam An-Nawawi berkata, “Hadits-hadits tersebut menerangkan tidak disukainya shalat saat makanan telah dihidangkan, bagi mereka yang ingin memakannya, karena yang demikian itu dapat menghilangkan kekhusyukan. Termasuk juga dalam hal ini apa yang dapat menyibukkan hati. Hal ini berlaku apabila waktu shalat masih panjang. Adapun apabila waktu shalat sangat sempit, maka hendaknya segera melaksanakan shalat untuk menjaga kehormatan waktu.” Namun AI Mutawalli menukil pendapat lain, yaitu mendahulukan makan meskipun waktu shalat habis, karena maksud shalat adalah khusyuk. Tapi pendapat ini hanya berasaI dari mereka yang mewajibkan khusyuk dalam shalat.

Hal ini perlu dikaji lebih mendalam, karena apabila ada dua mafsadat (kerusakan), maka yang harus dilakukan adalah yang paling sedikit dampak negatifnya. Sementara keluarnya waktu shalat (habis) mempunyai dampak yang lebih besar daripada berkurang atau hilangnya kekhusyukan. Hal itu berdasarkan dalil shalat Khauf dan yang sepertinya (dimana dalam shalat Khauf (saat berperang) sangat sulit untuk dapat melaksanakan shalat dengan khusyuk -ed). Apabila ia shalat karena menjaga waktu agar tidak habis, maka shalatnya dianggap sah namun dinilai makruh, dan dianjurkan untuk mengulangi shalat tersebut menurut jumhur.[3]

Sementara itu Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam hadits tersebut terdapat dalil tentang perpanjangan waktu shalat bagi orang yang dihidangkan makanan, meski waktu shalat telah habis. lbnu Hazm mengatakan hat yang serupa sehubungan dengan orang yang tidur serta lupa. Imam An-Nawawi dan lainnya menjadikan hadits Anas sebagai dalil bahwa waktu shalat Maghrib cukup panjang. Namun hal ini ditanggapi oleh Ibnu Daqiq Al Id dengan mengatakan, bahwa apabila yang dimaksud adalah lamanya waktu shalat Maghrib hingga hilangnya cahaya mega, maka perlu dipertanyakan lebih lanjut. Sedangkan apabila yang dimaksud adalah lamanya waktu maghrib tanpa mengaitkannya dengan sesuatu, maka ini dapat diterima. Namun ini bukan masalah masyhur yang diperselisihkan oleh para ulama, karena sesungguhnya sebagian orang yang mengatakan bahwa waktu shalat Maghrib sangat singkat, membatasinya dengan waktu yang dibutuhkan oleh seseorang yang lapar untuk makan beberapa suap sehingga rasa laparnya berkurang.

Imam Al Qurthubi menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa menghadiri shalat jamaah tidak wajib hukumnya, karena secara lahiriah orang itu menyibukkan diri dengan makan meski ia tidak mengikuti shalat jamaah. Tapi hal ini perlu dikaji kembali, karena sebagian ulama yang mewajibkan shalat jamaah -seperti Ibnu Hibban mengatakan bahwa adanya makanan merupakan udzur (alasan) yang membolehkan seseorang untuk tidak shalat berjamaah. Maka, dengan demikian tidak ada indikasi dalam hadits tersebut dalil tentang tidak wajibnya shalat berjamaah secara mutlak.

Dalam hadits ini terdapat dalil untuk mengedepankan keutamaan khusyuk dalam shalat daripada keutamaan awal waktu. Sebagian ulama madzhab Syafi’i dan Hambali berdalil dengan lafazh, فَابْدَءُوا (mulailah atau dahulukan) untuk menyatakan bahwa hukum yang dikandung hadits ini khusus bagi orang yang belum memulai makan. Adapun mereka yang sedang makan saat qamat dilakukan, maka ia tidak boleh meneruskan makan, bahkan ia harus segera berdiri untuk shalat.

An-Nawawi mengatakan bahwa apa yang dilakukan Ibnu Umar telah membatalkan hal ini, dan inilah yang benar. Namun sebagian menanggapi bahwa perbuatan Ibnu Umar merupakan pandangan pribadi beliau, karena makna yang terdapat dalam hadits mengarah kepada apa yang mereka katakan dimana orang yang sedang makan telah mengambil sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya untuk tidak lagi memikirkan makanan tersebut. Hal ini didukung oleh hadits Amr bin Umayyah yang akan disebutkan pada bab berikutnya. Kemungkinan inilah rahasianya mengapa Imam Bukhari menyebutkan hadits itu setelah hadits di bab ini.

Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, bahwasanya keduanya biasa makan makanan yang dipanggang di perapian. Lalu muadzdzin hendak melakukan qamat, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Janganlah tergesa-gesa, agar kami tidak berdiri (untuk shalat) sementara dalam hati kami masih ada keinginan terhadap makanan ini.” Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dikatakan, “Agar ia tidak mengganggu kami dalam shalat.” Masih dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Al Hasan bin Ali, dia berkata, “Makan malam sebelum shalat menghilangkan nafsu lawwamah.”[4]

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 550-551 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Dari semua riwayat ini terdapat isyarat bahwa illat ( alasan atau sebab) dalam hal itu adalah adanya keinginan untuk makan. Oleh karena itu, sepantasnya hukum ini diberlakukan seiring dengan ada atau tidak adanya illat tersebut, tanpa mengaitkan apakah illat itu ada seluruhnya atau sebagiannya. Namun dalam hal ini ada pengcualian, yaitu orang yang berpuasa dimana ia boleh melakukan shalat meski makanan telah dihidangkan dan tidak makruh hukumnya, karena orang yang berakal tidak akan menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang dilarang syariat. Tetapi apabila keinginan untuk makan lebih kuat, maka ia dianjurkan untuk berpindah dari tempat tersebut.

Catatan: Pertama, Ibnu Al Jauzi berkata, “Sebagian orang mengira bahwa hal ini merupakan bentuk mendahulukan hak hamba daripada hale Allah SWT. Padahal sebenarnya tidak demikian, bahkan ini adalah cara memelihara hak Allah SWT agar para hamba dapat melaksanakan ibadah kepada-Nya dengan penuh konsentrasi dan kekhusyukan. Di samping itu, makanan mereka saat itu tidak banyak dan untuk menyantapnya tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga umumnya tidak menyebabkan seseorang ketinggalan shalat jamaah.”

Kedua, sesungguhnya lafazh riwayat yang tercantum dalam kitab-kitab fikih yang berbunyi إِذَا حَضَرَ الْعَشَاء وَالْعِشَاء فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ (Apabila makan malam telah siap waktu shalat Isya’ telah masuk, maka mulailah dengan makan malam) tidak memiliki sumber yang kuat dalam kitab-kitab hadits. Demikian yang dikatakan dalam kitab Syarh At-Tirmidzi oleh syaikh kami, Abu Al Fadhl. Akan tetapi saya melihat keterangan dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan) oleh Quthbuddin, bahwa Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Ismail -yakni Ibnu Aliyah- dari Ishaq, dia berkata, “Abdullah bin Rafi’ telah menceritakan kepadaku dari Ummu Salamah, dari Nabi SAW, إِذَا حَضَرَ الْعَشَاءُ وَحَضَرَتْ الْعِشَاء فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ (Apabila makan malam telah siap dan shalat Isya’ telah masuk maka mulailah dengan makan malam).” Apabila lafazh ini akurat, maka inilah sumber lafazh yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tersebut. Adapun bila tidak demikian, maka sesungguhnya telah diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dari Ismail dengan lafazh, وَحَضَرَتْ الصَّلَاة (Dan (waktu) shalat telah masuk).Kemudian saya memeriksa kembali Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, dan saya dapati hadits seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Wallahu a’lam.


[1] Persoalannya tidak seperti yang ia katakan, bahkan mengikutkan shalat lain kepada shalat maghrib adalah sesuai dengan makna dan lafazh yang dinukil dalam hadits Aisyah serta riwayat-riwayat yang semakna dengannya. Adapun hadits Aisyah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dengan lafazh, “Tidak ada shalat apabila makanan telah siap dan tidak pula saat menahan dua hal yang buruk,” (yakni buang air besar dan kencing). Wallahu a ‘lam.

[2] Yakni shalat dianggap batal apabila dikerjakan terlebih dahulu sebelum makan. -penerj.

[3] Pendapat paling benar adalah bahwa shalat tersebut tidak perlu diulangi. Sebab barangsiapa yang shalat sebagaimana yang diperintahkan, maka tidak perlu baginya untuk mengulangi. Allah SWT telah berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sebatas yang kalian mampu” (Qs. At­Taghabun (64): 16). Wallahu a ‘lam.

[4] Nafsu lawwamah adalah nafsu yang senantiasa mengajak pemiliknya untuk melakukan perbuatan tercela yang patut mendapatkan caci-maki -penerj.

M Resky S