Pecihitam.org – Meskipun saat ini banyak sekali teknologi informasi yang semakin memudahkan seseorang untuk belajar agama, namun hendaknya tetap memiliki guru untuk mendapatkan pengajaran agama yang tepat. Lantas bagaimana hukum belajar agama tanpa guru, atau cukup membaca buku bolehkah?
Seringkali kita mendengar sebuah adagium yang sudah masyhur bahwasanya jika:
من لا شيخ فالشيطان شيخه
“Siapa saja yang tidak memiliki guru, maka Setanlah yang menjadi gurunya”
Dalam kesempatan lain, kita juga mendengar sebuah ungkapan hampir senada yang berbunyi:
من كان شيخه كتابه كان خطأه أكثر من صوابه
“Siapa saja yang menjadikan kitab (buku) sebagai gurunya, maka dia akan lebih banyak salah dari pada benarnya”
Dari sini sudah jelas bahwa guru dalam mempelajari ilmu agama itu sangat penting. Hal ini juga untuk menjaga sanad agarr tetap bersambung hingga sampai Rasulullah Saw.
Abdullah Ibin Mubarak salah satu pembesar para tabi’in pasca wafatnya Rasulullah SAW sekaligus seorang ulama dan wali kabir pada zamannya. Ada salah satu perkataan masyhur yang senantiasa dinisbatkan kepadanya yaitu,
الإسناد من الدين لولا الإسناد لقال من شاء ماشاء
“Sanad (Silsilah Keilmuan) itu merupakan bagian dari agama Islam, seandainya saja tidak ada istilah sanad niscaya siapa pun berbicara sesuka hawa nafsu mereka”
Di lain kesempatan Imam Abdullah Ibn Sirrin juga berujar,
العلم من الدين فانظروا عمن تأخذن دينكم
“Ilmu adalah bagian dari pada agama Islam, oleh karenanya perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian”
Kedua qoul di atas adalah anjuran bagi segenap umat Muslim agar supaya berguru ketika acap kali hendak belajar syariat agama Islam atau dalam istilah sederhananya yaitu mengaji.
Meskipun demikian, perlu digaris bawahi tidak boleh berguru ke sembarang orang namun harus betul-betul guru yang kapabel dalam bidang agama sekaligus memiliki silsilah keilmuan yang tidak terputus sampai Rasulullah Saw.
Sehingga jelas hukum belajar agama bermodal buku saja tanpa guru adalah tidak boleh. Maka dengan ini tidak boleh menjadikan buku sebagai pegangan satu-satunya dalam beragama.
Ini bukan berarti tidak boleh membaca buku sendiri, bukan demikian. Maksudnya adalah, jika hanya membaca buku saja tanpa guru yang membimbing, itu hanya akan melahirkan interpretasi keliru alias tidak sesuai dengan pemahaman Rasulullah SAW.
Inilah salah satu keistimewaan agama Islam yakni melestarikan silsilah keilmuan yang tersambung kepada Rasulullah SAW. Tujuannya jelas yaitu:
- Pertama, agar tidak ada kekeliruan dalam agama, sebab jika ada itu bakal dikoreksi oleh sang guru.
- Kedua, melestarikan keotentikan ajaran Islam.
- Ketiga, menyadarkan kita semua bahwa agama ini adalah suatu yang amat sangat musti dijaga bagaimana pun itu.
Pada dasarnya belajar agama melalui buku itu boleh-boleh saja dengan syarat, buku yang ia baca adalah rekomendasi dari gurunya tersebut atau sebuah referensi tambahan dalam memahami teks wahyu atau guna memperkaya wawasan.
Mengutip tulisan dari Gus Dhiya Muhammad seorang santri dari Mbah Maimoen Zubair yang menukil dari Syaikh Dr. Said Abdullatif Faudah mengenai belajar dari membaca buku atau kitab sendiri.
Syekh Said menuturkan bahwa membaca berbagai macam kitab itu memang ada beberapa Syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelajar benar-benar menghasilkan ilmu yang benar dan bermanfaat.
Apa syaratnya? Syaikh Said menyarankan untuk membaca kitab Qawaid Tasawwuf karya Syaikh Zarruq. Kata beliau, kitab tersebut telah membahas masalah di atas tersebut dan syarat-Syarat membaca kitab sendiri dengan detil.
Dan pada intinya yang perlu ditegaskan adalah, berguru itu tidak hanya berupa anjuran saja. Namun harus menjadi kewajiban tersendiri bagi siapa saja yang ingin belajar syariat agama Islam.
Wallahua’lam bisshawab.