Bisakah Orang Buta Menjadi Saksi atas Sebuah Perkara?

Bisakah Orang Buta Menjadi Saksi dalam Sebuah Perkara

Pecihitam.org – Saksi merupakan alat bukti yang cukup Signifikan dalam mengadili suatu perkara. maka hal yang wajar jikalau menghadiri seorang saksi dalam menyelesaikan suatu masalah adalah hal yang wajib, bagaimana tidak? kehadiran Saksi seolah cahaya yang menerangi kegelapan masalah yang tidak diketahui asal muasal sebelumnya. Namun, bagaimana jika yang memberikan kesaksian adalah seorang yang Buta? apakah kesaksiannya dapat diterima? Bisakah orang buta menjadi saksi?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Padahal kita tahu sendiri bahwa orang buta tentu tidak dapat melihat kejadian, tidak dapat menyaksikan apa apa saja yang sedang bergulir pada waktu itu, dan tentu tidak dapat mengenali tokoh tokoh yang sedang berada di tempat kejadian tersebut entah dalam hal apapun itu.

Terkait hal ini Imam Bukhari dalam kitab Al Jami’ as-Sahih membolehkan orang buta menjadi saksi. Dalam salah satu bab “Persaksian Orang Buta, Perintahnya, Nikahnya, Menikah kannya, Perjanjiannya dan Penerimaan atas azan dan lain-lainnya yang berkaitan dengan hal yang bisa dikenali melalui suara”

Dan tentu Sebelum mengemukakan hadis-hadis yang dijadikan dasar, Al-Bukhari menyebut tujuh nama tabi’in yang membolehkannya, seperti al-Qasim, al-Hasan, Ibn Sirin, az-Zuhri, ‘Ata’, asy-Sya’bi, dan al-Hakam.
Lima orang Tabi’in yang disebut pertama hingga kelima (Qasim, al-Hasan, Ibn Sirin, az-Zuhri dan ‘Ata’) semuanya membolehkan secara mutlak.

Baca Juga:  Tahlilan dan Yasinan Itu Bidah Serta Tidak Ada Dalilnya, Benarkah?

Sedangkan dua orang terakhir (Asy-Sya’bi, dan al-Hakam) memberikan Syarat orang buta tersebut harus berakal, yang dimaksud adalah pandai, dapat mengetahui masalah dengan detail dan mempunyai argumentasi yang kuat, disamping itu dia dapat membedakan individu dalam masalah yang dihadapi.

Selain itu, Hadits Imam Al Bukhari tentang kebolehan orang buta menjadi saksi ialah:

Dari Aisyah r.a., berkata Nabi Saw mendengar suara seorang laki laki membaca Al Qur’an di dalam masjid, maka Nabi Berkata ‘Semoga Allah merahmatinya, sungguh ia telah mengingatkan saya ayat ayat dari Surah Al Qur’an yang aku lupakan’ (HR. Al bukhari)

Sama dengan hadits dari Ibnu Umar r.a., berkata bahwa Nabi Saw bersabda bahwa “Sesungguhnya Bilal itu Azan pada waktu malam, maka makan dan minumlah hingga mendengar Azannya Ibn Ummi Maktum, Ummi Maktum itu adalah laki laki buta, tidak azan hingga ada orang yang mengatakan padanya telah masuk waktu Subuh” (HR. Al Bukhari)

Sehingga dari dua hadits diatas menunjukkan bahwa suara meyakinkan bisa dijadikan sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Seperti hadits pertama, tanpa melihat orang yang bersuara (‘Abbad), Nabi merasa diingatkan dengan ayat ayat yang terlupakan. sama halnya dengan Suara Azan Bilal dan Ibn Ummi Maktum, tanpa melihat Muazinnya kaum muslimin bersedia melaksanakan Shalat.

Baca Juga:  Hukum Meniup Terompet Tahun Baru, Makruh atau Haram?

Sehingga berangkat dari sini, para ulama berbeda pendapat perihal persaksian orang buta. Ada yang membolehkan secara mutlak dan ada yang membolehkan dengan adanya persyaratan tertentu. Untuk itu, Ibn Hamz mengkalrifikasi pendapat pendapat tersebut menjadi lima bagian:

  • Pertama, persaksian orang buta boleh diterima secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh Tabi’in yang disebutkan oleh Al Bukhari. Seperti Az Zuhri berdasarkan Atsar atau riwayat Ibnu Abbas, ‘ata’, Al Qasim dan lainnya.
  • Kedua, boleh diterima persaksiannya terhadap masalah-masalah yang diketahuinya sebelum buta, dan tidak boleh diterima yang diketahuinya sesudah buta. Ini adalah salah satu dari pendapat al-Hasan, salah satu pendapat Ibn Abi Laila, pendapat Abu Yusuf (murid terkemuka Abu Hanifah), asy-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya.
  • Ketiga, boleh diterima dalam masalah-masalah tertentu yang jumlahnya sedikit sekali. Ini pendapat sekelompok orang yang menerima riwayat atau atsar dari an-Nakha’i
  • Keempat, tidak boleh diterima sama sekali persaksiannya, kecuali dalam masalah nasab (hubungan keluarga). Ini pendapatnya Zufar, salah seorang murid terkemuka Abu Hanifah.
  • Kelima, tidak boleh diterima sama sekali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah.
Baca Juga:  Hukum Membaca Al Quran di HP Tanpa Wudhu, Bolehkah?

Sehingga Dalam kasus persaksian orang buta ini, al-Bukhari sebagai seorang mujtahid yang memiliki metodologi lebih berorientasi pada teks, karena tidak menemukan hadis secara eksplisit yang dapat dijadikan dasar pandangan hukumnya, maka ia menjadikan atsar Ibn ‘Abbas yang menyebut secara eksplisit persaksian orang buta sebagai dasar utama pendapatnya. (Ibn ‘Abbas hanya dengan mendengar informasi tentang waktu dari utusannya, mengambil keputusan berbuka puasa, dan mengerjakan salat).

Apalagi atsar tersebut didukung oleh sejumlah riwayat dari tabi’in dan pendapat ulama salaf yang tidak sedikit. Ibn Hazm menghimpun ulama yang sependapat dengan al-Bukhari tersebut sebanyak 19 orang.


Sumber referensi: Pemikiran Hukum Islam Imam Al Bukhari oleh Muhammaf Fathoni Hasyim

Rosmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *