Penyebab Kekafiran Menurut Kitab Ummul Barahin

penyebab kekafiran

Pecihitam.org – Dewasa ini kata kafir mudah sekali terlontar oleh kelompok-kelompok takfiri. Bahkan sesama Muslim sendiri mereka juga mudah sekali menuduh kafir hanya karena berbeda pandangan dan amalan. Lantas bagaimana sebenarnya penyebab kekafiran itu bisa muncul? Dan bagaimana bentuk-bentuk kekafiran?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Agar tidak mudah saling menuduh kafir apalagi antar sesama umat Islam senddiri, Syekh as-Sanusi, menuliskan dalam kitab Ummul Barahin, bahwa kekafiran dapat muncul karena sebab enam hal.

Pertama, menyandarkan adanya sesuatu (Ka’inat) kepada Allah melalui jalur sebab (Ta’lil) dan tabiat tanpa mengaitkan bahwa hal tersebut merupakan ikhtiar/usaha Allah. Pemahaman semacam ini disebut dengan istilah “Ijab Dzati”.

Paham ini dipegang oleh kaum falasifah yang menjadikan setiap dzat merupakan pelaku (dengan sendirinya) sehingga menafikan adanya kekuasaan (sifat Qudrah) dan kehendak (sifat Iradah) Allah.

Sebagai seorang yang beriman seharusnya kita meyakini bahwa api (misalnya) tidak membakar secara natural dengan watak atau kekuatannya sendiri. Melainkan apa yang dititipkan oleh Allah pada api, yaitu sifat panas dan membakar yang dimiliki api, murni merupakan hasil kehendak, ciptaan, dan bukti akan kekuasaan Allah. Sehingga adanya segala sesuatu (Ka’inat) merupakan hasil dari usaha atau ikhtiar yang dilakukan oleh Allah.

Baca Juga:  Analisis Tentang Kesetaraan Gender Perspektif Sejarah Islam Pada Periode Klasik

Kedua, keyakinan bahwa perbuatan Allah pasti terikat tujuan menarik kemaslahatan dan menolak keburukan, paham semacam ini disebut sebagai “Tahsin Aqli”.

Kaum barahimah meyakini adanya tahsin aqli sehingga mereka menafikan adanya kenabian (Nubuwwah). Tahsin aqli juga menjadi sumber kekafiran golongan muktazilah yang mewajibkan Allah untuk memelihara kebaikan (Muro’ah as-Shalah wa al-Ashlah).

Sedangkan dalam kepercayaan Sunni (Ahlussunnah Wajama’ah), perbuatan Allah (sebagai Tuhan) sama sekali tidak bertujuan menarik kebaikan atau menolak keburukan. Mengingat kedudukannya sebagai Tuhan, Allah adalah pelaku yang boleh berbuat apapun sekehendaknya, independen, tanpa intervensi dan maha kuasa atas segala sesuatu.

Ketiga, mengikuti pandangan orang lain sebab sektarianisme dan fanatisme (Ashabiyah) tanpa disertai usaha mencari tahu kebenaran yang sesunguhnya, atau yang disebut oleh as-Sanusi sebagai Taklid Buta (at-Taqlid ar-Radi).

Baca Juga:  Cara dan Doa Menyembelih Ayam Menurut Syariat Islam

Paham semacam ini (seperti misalnya) dipegang oleh para penyembah berhala, mereka beralasan bahwa para pendahulu, serta nenek moyang mereka melakukan hal tersebut sehingga mereka merasa berkewajiban untuk melestarikan ajaran mereka.

Keempat, tetapnya hubungan antara wujud maupun ketiadaan perkara satu dengan perkara lainya berdasar pengulangan atau yang disebut sebagai hubungan yang bersifat kebiasaan (ar-Rabth al-‘Adi).

Paham ini dipegang oleh kalangan pemuja tabiat (Thaba’i’in) yang menghubungkan rasa kenyang dengan makanan, membakar dengan api, dan sebagainya. Mereka berpandangan bahwa hubungan semua hal tersebut terjadi secara natural (tabiat), atau melalui kekuatan atau daya yang Allah letakkan pada benda tersebut.

Kelima, tidak menyadari akan ketidaktahuannya terhadap kebenaran, hal semacam ini lumrah dikenal sebagai Kebodohan Bertingkat (Jahl Murakkab). Kebanyakan manusia mengalami hal ini.

Diantaranya seperti keyakinan kalangan falasifah yang meyakini bahwa cakrawala bintang dapat mempengaruhi nasib (ramalan bintang) dan keyakinan mereka bahwa cakrawala alam semesta bersifat qidam (ada tanpa permulaan).

Baca Juga:  Cinta Tanah Air Tidak Ada Dalilnya? Tunggu Dulu Bosss

Keenam, berpegang pada lahiriyah al-Kitab dan Sunnah tanpa disertai dengan petunjuk akal dan kaidah kaidah syara’ yang sudah bersifat pasti (Qat’i).

Satu contoh dari kalangan ini ialah orang orang Hasywiyah yang berpaham Allah menyerupai makhluk (Tasybih), Allah memiliki jisim atau anggota tubuh (Tajsim), dan menetapkan adanya arah bagi Allah. Mereka memiliki pandangan semacam itu karena semata berpegang pada dzahir ayat semata, tanpa disertai takwil.

Demikianlah enam perkara penyebab kekafiran, dalam kitab Ummul Barahin yang sudah sewajibnya kita hindari. Bukan malah menuduh kafir kepada orang lain dan sesamanya tanpa dasar. Wallahua’lam bisshawab.

Lukman Hakim Hidayat