Hukum Memakan Daging Kuda dalam Islam, Begini Penjelasan Ulama

Hukum memakan daging kuda

Pecihitam.org – Di beberapa daerah terdapat sajian kuliner yang menyediakan hidangan daging kuda. Seperti di Kota Makassar atau Kabupaten Jeneponto ada sop dan coto kuda. Akan tetapi masih ada sebagian orang yang kurang suka daging kuda, alasannya bahwa kuda bukanlah untuk dimakan sebagaimana sapi atau kambing. Bahkan ada pula yang menilai bahwa hukum memakan daging kuda itu haram. Betulkah demikian?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berbicara mengenai hukum memakan daging kuda ini, jika kita telusuri beberapa kitab para ulama fiqih, kita akan mendapati bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Sebagian ada yang menghalalkannya, sebagian yang lain mengharamkannya, ada juga yang menghukumi makruh.

Ulama yang Menghalalkan

Mayoritas ulama dari kalangan mazhab Syafi’i, Hambali dan sebuah qaul yang rajih (kuat) dari madzhab Maliki berpendapat bahwa hukum memakan daging kuda itu halal. Sehingga boleh disembelih juga, baik kuda Arab ataupun kuda non Arab. Pendapat tersebut didasari oleh dua hadits nabi berikut:

Baca Juga:  Hukum Menimbun Masker di Tengah Genting Wabah Virus Corona

جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَال : نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَْهْلِيَّةِ ، وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْل

Jabir bin Abdullah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW saat perang Khaibar melarang makan daging keledai peliharaan dan mengizinkan untuk makan daging kuda. (HR. Bukhari dan Muslim)

أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ : نَحَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَسًا فَأَكَلْنَاهُ وَنَحْنُ بِالْمَدِينَةِ

Asma’ binti Abu Bakar r.a. berkata; “Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah SAW, dan kami makan sedangkan kami berada di Madinah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama yang Memakruhkan

Adapun mazhab Hanafi dalam qaul yang rajih (yang lebih kuat) menyebutkan bahwa kuda itu halal, namun dengan karahah tanzih (kurang disukai). Hal serupa juga dikatakan oleh Al-Auza’i dan Abu Ubaid.

Meski demikian, mereka tidak beranggapan bahwa kuda itu najis, begitu pula dengan air liurnya, mereka tetap berpandangan bahwa kuda itu suci, hanya saja makruh jika disembelih dan dimakan.

Baca Juga:  Hukum Gadai dalam Islam: Pengertian, Dalil dan Syarat Ketentuannya

Ulama yang Mengharamkan

Selain ada yang menghukumi makruh, sebagian ulama dari kalangan mazhab Hanafi juga ada yang berpendapat bahwa hukum memakan daging kuda itu adalah haram.

Pendapat tersebut datang dari riwayat Al-Hasan bin Ziyad. Selain itu, ada juga pendapat lain dari sebagian kecil kalangan mazhab Maliki yang mendukung fatwa tersebut.

Alasan mereka yang menetapkan hukum makruh dan haramnya daging kuda, bukan disebabkan karena dianggap najis, akan tetapi lebih dikarenakan oleh dua hal, yaitu;

Pertama, Alat Perang yang dianggap bahwa fungsi kuda pada masa itu lebih utama digunakan sebagai alat berperang. Menurutnya, jika kuda tersebut disembelih lalu dimakan dagingnya, dianggap akan mengurangi kekuatan umat Islam saat berperang di jalan Allah.

Kedua, sebagai Alat Pengangkutan dan Perhiasan. Kuda juga dikhususkan berfungsi sebagai kendaraan atau tunggangan bahkan perhiasan, sehingga jika ia disembelih dan dimakan dagingnya, sama halnya dengan melanggar ketentuan Allah SWT:

Baca Juga:  Adab Tentang Menjaga Pandangan dalam Islam

وَالْخَيْل وَالْبِغَال وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً

Artinya: Dan kuda, bagal serta keledai, agar engkau menungganginya serta menjadi perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang engkau tidak mengetahuinya. (QS. An-Nahl : 8)

Berangkat dari ayat tersebut, dianggap oleh madzhab ini bahwa itu adalah isyarat yang melarang kuda untuk disembelih dan dimakan dagingnya. Andaikan kuda boleh dimakan, maka seharusnya disebutkan pula di dalam ayat tersebut sebagaimana hewan ternak yang lain.

Wallahu a’lam bishshawab

M Resky S