Kenapa Tangan Menengadah Keatas Saat Berdoa, Apakah Allah Diatas?

Kenapa Tangan Menengadah Keatas Saat Berdoa, Apakah Allah Diatas?

Pecihitam.org – Kita sering melihat dan mendengar Kaum Mujassimah Salafi Wahabi mengatakan, seorang yang berdoa mengangkat tangan dan menengadahkannya ke arah atas. Yang AKhirnya diyakininya bahwa Ini juga menunjukkan Allah SWT berada diatas!

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sesungguhnya ini pemahaman yang perlu kita luruskan. Karena Para ulama Islam berikut ini menerangkan, arah atas adalah kiblat berdoa sebagaimana, Ka’bah adalah kiblat Shalat:

Imam Abu Manshur Al-Maturidi (W. 333H) berkata, “Adapun mengangkat tangan ke arah langit saat berdoa, maka ia murni karena tuntutan ibadah (dalam syariat). Allah berhak memperhamba hamba-hamba-Nya dengan apa saja yang Dia kehendaki, dan mengarahkan mereka ke arah mana saja yang dikehendaki-Nya. Dan jika ada yang menganggap, diangkatnya pandangan ke arah langit karena Allah di arah itu, maka ia seperti orang yang menganggap, Allah berada di arah bawah (perut) bumi, karena ia meletakkan dahinya di saat sujud, baik dalam shalat ataupun di luar shalat. Atau seperti orang yang menganggap, Allah itu berada di sisi barat atau timur, karena ia menghadap Allah di saat shalat (kearah barat atau timur), atau Allah berada di sisi Makkah, Oleh karena itu, ia haji menuju kota Makah.” (Kitab at Tauhid:75-76)

Imam Ghazali berkata, “Adapun mengangkat tangan ketika memohon/berdoa ke arah langit, itu dikarenakan ia adalah kiblat doa. Di dalamnya, juga terdapat isyarat bahwa Zat yang kita berdoa kepadanya, adalah menyandang sifat Kemahaagungan dan Kemahaperkasaan, sebagai peringatan bahwa menuju arah atas adalah sebagai sifat keagungan dan ketinggian. Karena sesungguhnya, Dia (Allah) di atas segala sesuatu dengan penguasaan dan penaklukan.” [Ihya Ulumid Din,1/107, Dar al Ma’rifah. Lebanon.]

Imam Sayid Muhamad al Husaini az Zabidi–pensyarah kitab al-Ihya’– menerangkan perkataan Imam Ghazali ini, “Adapun mengangkat tangan ketika memohon/berdoa ke arah langit, itu dikarenakan ia adalah kiblat doa. (sebagaimana Ka’bah adalah kiblah Shalat). Ia (seorang mushalli) menghadap Allah dengan dada dan wajahnya. Sedangkan,Zat yang kita tuju (Allah Swt)–dengan doa dan shalat kita itu–Maha suci dari bertempat di Ka’bah atau di langit.”

An-Nasafi telah menyinggung masalah ini, ia berkata, “Dan mengangkat tangan dan wajah ketika berdoa, adalah murni ta’abud/arahan agama, persis seperti menghadap Ka’bah ketika shalat. Jadi langit adalah, kiblat doa sedangkan Ka’bah adalah kiblat shalat. Di dalamnya, juga terdapat isyarat bahwa Zat yang kita berdoa kepadanya, adalah menyandang sifat Kemaha-agungan dan Kemahaperkasaan sebagai peringatan, menuju arah atas adalah sebagai sifat keagungan dan ketinggian. Oleh karena sesungguhnya Dia (Allah) di atas segala sesuatu dengan penguasaan dan penaklukan. (dan yang menunjukkan hal itu adalah) firman Allah, وَ هُوَ الْقاهِرُ فَوْقَ عِبادِهِ

“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS.Al-An’am [6];18). Karena penyebutan status ubudiyah (kehambaan), ketika menyebutkan pihak yang Allah di atasnya, menguatkan asumsi penafsiran, bahwa yang dimaksud adalah, penguasaan dan penaklukan. Dan penulis (Imam Ghazali), telah menyebutkan dengan panjang lebar dalam kitab al-Iqtishad, rahasia mengapa menghadap ke arah atas, dalam berdoa. Harap dirujuk.” [Ithaf as Sadah al Muttaqin Bi Syarhi Ihya’i Ulumid Din,2/170. Dar al Kotob al Ilmiyah. Beirut-Lebanon].

Dalam kesempatan lain, beliau juga menegaskan: “Jika ada yang berkata, ‘Apabila Allah Zat Yang maha Haq itu tidak berada di lokasi/arah tertentu, lalu apa arti mengangkat tangan ke arah langit di saat berdoa?’ Maka jawabnya dari dua sisi, seperti disebutkan at-Thurthusyi, [nama lengkapnya, Abu Bakar Muhamad bin al Walid al Andalusi al Maliki (w.520H)], Pertama, Ia murni penghambaan (sesuai perintah semata), seperti menghadap Ka’bah dalam shalat, menempelkan dahi ketika sujud, dengan tetap meyakini prinsip Kemaha Sucian Allah dari Bertempat di Ka’bah atau di tempat Sujud. Maka langit itu, sebagai kiblat doa. Kedua, Langit itu adalah tempat turunnya rizki, wahyu, rahmat dan keberkahan… [Ibid.5/244].

Baca Juga:  Lauh Mahfudz, Kitab Skenario Seluruh Kehidupan di Alam Jagat Raya

Imam an-Nawawi juga menegaskan hal itu dalam syarah Sahih Muslim, “Sesungguhnya langit, adalah kiblat untuk para pendoa, sedangkan Ka’bah adalah kiblat untuk orang-orang yang shalat.” [Syarah Muslim,5/24]. Keterangan serupa, disampaikan pula oleh para ulama di antaranya, al Hafidz Ibnu Hajar dalam syarah Sahih Bukharinya.

Mulla Ali al-Qari berkata, “Langit adalah kiblat doa, dengan arti dia adalah tempat turunnya rahmat, yang mana ia adalah sebab berbagai nikmat. Dan ia (doa itu) penyebab dicegahnya beragam bencana…. dan Syeikh Abu Mu’in an-Nasafi, panutan dalam disiplin ini, menyebutkan dalam kitab at-Tamhid-nya, bahwa para muhaqiqin telah menegaskan, diangkatnya tangan saat berdoa adalah murni perintah agama.” [Syarah al Fiqhi al Akbar: 199.]

Allamah al-Bayadhi al-Hanafi berkata, “Diangkatnya tangan di saat berdoa ke arah langit, bukan karena Allah Ta’ala berada di atas langit tertinggi, akan tetapi, karena ia adalah kiblat doa, karena dari arah itulah kebaikan dinanti-nanti dan dan keberkahan diharap turun, sesuai dengan firman Allah,

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS.Adz Dzariyat [51];22). Disamping adanya isyarat, akan sifat Kemaha Agungan dan Keperkasaan yang Dia sandang, dan Dia berada diatas makhluk-Nya dengan penaklukan dan penguasaan.”[ Isyarat al Maram:198.]

Selain hal yang sudah disebutkan di atas, di kesempatan berbeda Kelompok Mujassimah berkata, penduduk Jannah/Surga akan melihat Wajah Rabb-nya, kemudian menyebut- kan riwayat, ‘kelak penduduk surga akan melihat Tuhan dengan mata telanjang, sebagaimana mereka dahulu di dunia melihat bulan yang tidak terhalang oleh awan’. Ini juga sebagai bukti, bahwa Allah berada di atas sana!

Memang benar kebanyakan ulama Ahlusunnah menerima hadis tentang Ru’yah (dapat dilihatnya Allah kelak di akhirat), tetapi pada waktu yang sama, mereka menolak jika dikatakan bahwa Allah itu dilihat pada suatu tempat. Maha Suci Allah dari berada di sebuah sudut/tempat, dan Maha Suci Allah dari Kaifiyah!

Perhatikan keterangan para ulama, yang dirangkum oleh al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqallani dalam Fathu al Bari-nya, ketika ia mensyarahi hadis yang dibawakan oleh kelompok Mujassimah tersebut. Al- Hafidz Ibnu Hajar dengan tegas mengatakan, prinsip dasar akidah bahwa Allah Maha Suci dari al Jihah wa al kaifiyyah–Maha Suci dari bertempat/berlokasi di sebuah arah/ lokasi/tempat tertentu, dan Maha Suci dari penetapan cara/bagaimana dilihatnya Allah Swt! Lebih lanjut, baca keterangan al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari, 28/204/ Kitabu at-Tauhid, Bab Qaulillah Ta’ala: Wajuhun yaumaidzin Nadzirah…

Diterimanya riwayat tentang dapat dilihatnya Wajah Allah di surga atau di alam akhirat, sama sekali tidak dengan serta merta membenarkan akidah kaum Mujassimah, bahwa Allah berada di atas. Sebab para ulama telah berselisih pendapat tentang esensi dan hakikat melihat Allah yang dimaksud dalam hadis dan ayat tersebut!

Baca Juga:  Bukan 25, Ternyata Jumlah Nabi 124.000 dan Rasul 313, Ini Buktinya

Kelompok Mujassimah menyebutkan argumen lagi, sebuah riwayat, ‘Allah turun kelangit dunia setiap sepertiga malam yang terakhir’, mereka berkata riwayat ini mutawatir. Ini jelas, menunjukkan bahwa Allah Swt berada diatas!

Ketahuilah, hadis-hadis yang redaksinya menyebutkan bahwa Allah Swt. turun ke langit dunia, dzahir teks/redaksinya bukan yang dimaksud! Maha suci Allah, dari pensifatan yang jahil lagi sesat! Pemaknaan yang benar, tentang hadis-hadis Nuzul/turun itu, yang turun itu adalah Malaikat pesuruh Allah Swt., untuk menyerukan kepada penghuni langit dunia di waktu sahur/menjelang shubuh. Pengertian ini, telah didukung oleh beberapa hadis sahih lainnya;

Hadis riwayat Imam Nasa’i dalam as-Sunan al Kubra,6/ 124 dengan sanad shahih dan ia juga dimuat dalam Amalu al yaum wa al Lailah:30 hadis482, dari Abu Sa’id al Khudri dan Abu Hurairah, bahwa keduanya berkata, “Rasulallah Saw, bersabda:

إنَّ اللهَ عز و جل يُمْهِل حتَّى يمضِيَ شطر الليل الأَول ثم يأمر منادِيًا يُنادي يقول: هل مِنْ داعٍ فيستجاب له؟ هل مِنْ مستغفِر يُغْفَرُ لهُ ؟ هل مِنْ سائلٍ يعطَى؟

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memberi tangguh sampai berlalu separuh pertama malam, kemudian Dia memerintah penyeru (malaikat) agar menyerukan: ‘Adakah orang yang mau berdoa, lalu di-ijabahkan untuknya? Adakah orang yang memohon ampunan, lalu ia diampuni? Adakah orang yang meminta, lalu ia diberi?”

Hadis riwayat Ustman bin Abil Ash ats-Tsaqafi, ia berkata, “Rasulallah Saw. bersabda:

تُفتَحُ أبوابُ السماءِ نِصفَ الليلِ فينادي منادٍ: هل مِنْ داعٍ فيستجاب له؟ هل مِنْ سائلٍ فيُعطى ؟ هل مِنْ مكروبٍ فيُفرج عنه؟ فلا يبقى مسلِمٌ يدعو بدعوةٍ إلا استجاب الله عز و جل إلا زانية تسعى بفرجِها أو عشارا.

“Pintu-pintu langit dibuka di pertengahan malam, lalu penyeru (malaikat) menyerukan, ‘Adakah orang yang mau berdoa, lalu di-ijabahkan untuknya? Adakah orang yang meminta, lalu ia diberi? Adakah seorang yang ditimpa bencana, lalu ia dibebaskan darinya? Maka tiada seorang Muslim berdoa dengan doa tertentu, melainkan Allah kabulkan untuknya, kecuali seorang wanita pezina yang menjual kehormatan- nya, atau seorang Assyara.”

Hadis ini, telah diriwayatkan oleh: Imam Ahmad dalam Musnad-nya,4/22 dan 217, Al-Bazzar dalam Kasyfu al Astar, 4/44, Ath-Thabarani dalam Mu’jam-nya,9/51. Dan masih banyak lainnya. Sanad hadis di atas sahih. Arti ‘Asysyara’, seorang yang kerjanya memeras/menekan sepersepuluh dari harta orang, atau tukang peras suruan penguasa. [Lihat Lisanul Arab,6/261.]

Berikut, keterangan dua tokoh ulama Ahlusunnah ,yang sering dibenci dan diserang oleh penganut Kaum Wahabi Salafi, karena sikap dua tokoh ulama ini, tegas memaparkan kesesatan kaum Mujassimah/Musyabbihah. Mereka adalah Muhyiddin an-Nawawi dalam syarah Shahih Muslim dan al Hafidz Ibnu Hajar al Asqallani dalam Fathu al Bari Bi Syarhi Shahihal Bukhari.

Keterangan Imam An-Nawawi, Sabda Nabi Saw.;

ينزلُ ربُّنا كلَّ ليلةٍ إلى سماء الدنيا

“Tuhan kita, turun setiap malam ke langit dunia….”, lalu (Allah) berkata, ‘Adakah orang yang menyeru-Ku, maka Aku akan kabulkkan untuknya.’ Hadis ini termasuk hadis-hadis Shifat. Tentangnya, ada dua aliran/pendapat ulama yang terkenal. Telah lewat keterangan lengkap tentangnya pada Kitabul Iman, kesimpulannya adalah sebagai berikut;

Baca Juga:  Madzhab Hanafi dan Dasar Pemikirannya

Aliran Pertama, adalah mazhab Jumhur Salaf dan sebagian Ahli Kalam, bahwa hadis-hadis seperti itu harus di imani bahwa ia adalah haq/benar sesuai dengan makna yang pantas bagi Allah. Dan jelas, bahwa dzahir maknanya yang berlaku pada kita bukanlah yang dimaksud. Mereka tidak melibatkan diri dalam menakwilkannya, tetap meyakini Kemahasucian Allah dari sifat-sifat makhluk, dan Maha Suci dari Berpindah, Bergerak dan seluruh sifat makhluk(Nya).

Aliran Kedua, yaitu mazhab kebanyakan Ahli Kalam dan sekelompok Salaf, dan ia adalah mazhab yang telah dinukil dari (Imam) Malik, al-Auza’i. Hadis-hadis itu, harus dita’wil dengan makna yang pantas, sesuai dengan masing-masing teksnya dalam hadis-hadis tersebut. Atas dasar itu, mereka menakwilkan hadis ini (hadis nuzul) dengan dua ta’wil:

  1. Pertama, adalah takwil Malik bin Anas, dan ulama lainnya. Hadis itu maknanya adalah: Turunnya Rahmat,dan Perintah, serta (turunnya) Malaikat Allah. Seperti dikatakan: ‘Si Sultan melakukan ini dan itu.’ Sedangkan yang melakukannya, adalah pendukung dan pengikutnya.
  2. Kedua, kalimat itu adalah isti’arah/kata pinjam. Maksudnya adalah, menunjukkan bahwa Allah memberikan perhatian-Nya kepada para pendoa, dengan mengkabulkan dan berlemah lembut kepadanya. Allahu A’lam.” [Syarah Shahih Muslim; oleh Imam Nawawi,6/36-37.]

Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqallani, ketika menerangkan hadis nr. 1145 pada Babad Du’a wa ash Shalah Min Akhiril Lail/Doa dan Shalat Di Waktu Akhir Malam,

ينزلُ ربُّنا كلَّ ليلةٍ إلى سماء الدنيا

“Tuhan kita turun setiap malam ke langit dunia” Dengannya, berdalil orang yang menetapkan Arah untuk Allah. Ia berkata, ‘Arah itu adalah arah atas. Sementara, Jumhur Ulama menentangnya. Karena pendapat itu, menyebabkan kepada keyakinan, bahwa Allah berlokasi, Maha Suci Allah dari berlokasi.

Selanjutnya Ibnu Hajar menyimpulkan, “Al Hasil, intinya bahwa ia ditakwilkan dengan dua makna: (pertama), makna turun di sini, adalah turunnya perintah atau malaikat Allah atas perintah-Nya. Atau (kedua) adalah kata isti’arah dengan makna, Kelemah-lembutan Allah kepada para pendoa, dengan mengkabulakan doa mereka dan semisalnya. Dan Abu Bakar bin Faurak, telah mengkhikayatkan bahwa sebagian masyaikh/guru besar hadis, telah membaca kata: ينزل dengan membaca dengan dhammah huruf pertamanya: يُنزل (yang artinya: menurunkan), maksudnya menurunkan malaikat. Bacaan ini, dikuatkan oleh riwayat an-Nasa’i… dan hadis Usman bin Abi al-Ash… .” (kemudian beliau menyebutkan dua hadis yang telah kami cantumkan sebelumnya)…

Ibnu Hajar juga mengutip, keterangan Imam al-Baidhawi, “Karena telah tetap berdasarkan bukti-bukti yang nyata, bahwa Allah Maha Suci dari bersifat Jism dan berlokasi, maka mustahil bagi Allah Turun, dengan arti berpindah dari sebuah tempat ke tempat lain, yang lebih rendah. Jadi maknanya adalah turunnya rahmat Allah.…“ [Fathu al-Bari,6/36-37]. Wallahua’lam.

Sanad: Tabarruk

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *