Begini Model Penyembahan dan Ritual Pra-Islam di Sulawesi Selatan

Model Penyembahan dan Ritual Pra-Islam di Sulawesi Selatan

Pecihitam.org – Ritual, satu kata yang dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan sekaligus sebagai bentuk simbolis terhadap suatu kepercayaan, dan tentu dalam melaksanakan suatu ritual tidak dilaksanakan begitu saja dan di waktu kapapun itu, karena faktanya yang namanya ritual akan memiliki aturan aturan tersendiri, baik dari segi waktu maupun kegiatan kegiatan yang akan dilakukan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagai Masyarakat Makassar-bugis (Sulawesi selatan) pastinya sangat paham benar mengenai berbagai ritual pra-islam yang bisa dikatakan sampai sekarang mungkin masih ada dan dipertahankan oleh beberapa kalangan masyarakat.

Adapun bentuk-bentuk ibadah ritual pra-Islam pada masyarakat Sulawesi-Selatan ialah sebagai berikut.

Penyembahan pada Dewa Matahari dan Dewa Bulan

Rupanya tidak hanya berada di kisah kisah terdahulu ataupun kepercayaan luar akan penyembahan dewa matahari dan bulan, karena faktanya sebagai masyarakat sulawesi selatan dulunya pun merupakan penyembah dewa matahari dan bulan.

Dalam Description Historique du Royaume de Macacar ditulis dalam bahasa Perancis, Gervaise memberikan uraian tentang agama tua di Makassar. Menurut Gervaise orang-orang Makassar zaman dahulu menyembah dewa Matahari dan Bulan yang disembah pada waktu terbit dan terbenamnya Matahari.

Sedangkan tempat rumah beribadah atau rumah suci tidak didapati, tentu hal ini menandakan bahwa upacara ibadah ataupun aktifitas lainnya dilakukan ditempat yang terbuka.

Pemujaan terhadap Kalompoang/Arajang (Ornament)

Arajang atau kalompoang, kata ini berartikan kebesaran baik itu yang dimaksudkannya pada suatu benda ataupun yang lainnya yang dianggap keramat atau suci. Dan tentu kepercayaan ini memiliki hubungan terhadap roh nenek moyang yang dipercaya dapat mendatangkan berkah, ataupun sejenis keselamatan.

Baca Juga:  Makam Saad bin Abi Waqqash Ada di Guangzhou China? Ini Sejarahnya

Sebagai masyarakat yang sangat mempercayai hal ini tentu akan menganggap bahwa bentuk pelalaian atas pemujaan akan terkena kutuk, jadi yang terkena kutukan itu bukan cuman malin kundang, tapi sebagai Masyarakat yang melalaikan ritual pemujaan terhadap kalompoang pun berpotensi mendapatkan kutukan.

Selain itu ritual pra-islam ada yang dikenal pula dengan istilah pantasa’ (pantasa’ ialah semacam ranjang tempat tidur atau semacam rumah rumahan yang bertiang, tingginya kira kira 70 atau 100 cm dan menggunakan kelambu yang kuning warnanya sebagai lambang dewa dewa dan memiliki tangga atau yang biasa disebut dengan sapana, tak lupa dalam pantasa’ terdapat bantal kecil dan sehelai tikar kecil)

Perlu diketahui bahwa pantasa’ disetiap malam Jum’at lebih tepatnya lagi ketika matahari terbenam maka dinyalakanlah lilin yang terbuat dari kemiri, tentu ini bertujuan supaya leluruhur pada malam yang dianggap suci itu (malam Jumat) akan turun dan masuk ke dalam rumah rumah.

Sedangkan Arajang sendiri biasanya disimpan di tempat yang tinggi, yakni di atas loteng rumah. Benda ini hanya dapat dilihat sekali setahun atau pada suatu upacara kerajaan, seperti misalnya pada pelantikan raja baru, pada perkawinan keluarga raja, maka barulah kita bisa melihat arajang.

Arajang ini juga dapat dikeluarkan dari tempatnya jika negeri dalam keadaan tertimpa bencana, misalnya penyakit berjangkit, padi tidak jadi dan sebagainya maka arajang tersebut diarak keliling negeri.

Baca Juga:  Inilah Nasab Rasulullah dari Ayah dan Ibunya yang Wajib Diketahui Umat Islam

Upacara pemujaan arajang secara besar-besaran dilakukan pada waktu padi akan diturunkan ke sawah, atau saat sesudah panen padi. Biasanya yang melakukan perihal ini adalah keluarga raja, kemudian datanglah para pengikut raja dan hamba sahaya raja dan sanak keluarga dan setelah itu barulah diikuti oleh rakyat umumnya baik yang tinggal di dalam lingkungan kerajaan maupun yang berada diluar kerajaan bahkan kepala raja dari luar daerah pun biasanya turut hadir menyaksikan upacara pemujaan ini.

Pemujaan terhadap Saukang

Saukang, sejenis rumah rumah (Rumah kecil) yang didirikan diatas tonggak, tingginya kira kira 100 cm dari muka bumi. Besarnya kira kira 2 x 2 m atau bisa lebih kecil lagi, terbuat dari bambu dan tiangnya dari kayu. Atapnya terbuat dari nipa atau ijuk dan sejenisnya sedangkan dindingnya berasal dari anyaman begitupun dengan dasar lantai.

Pada masyarakat Sulawesi Selatan pra-Islam kepercayaan terhadap saukang yang dianggap sakti dan keramat sehingga berangkat dari pandangan ini tentu masyarakat percaya akan kekuatan ghaibnya, seperti misalnya “pusat bumi”, batu yang dianggap “yang empunya bumi”. Pohon yang dimuliakan karena dianggap memiliki kesaktian. Maka saukang ini diletakkan di dekat atau di samping batu, benda, pohon, dan sebagainya.

Hampir sama dengan pemujaan terhadap kalompoang, Upacara terbesar pada pemujaan ini biasanya terjadi pada ketika selesai panen padi, maka oleh dukun atau pinati ditetapkanlah hari baik bulan baik untuk melakukan upacara pemujaan.

Tata Cara Penguburan

Sebelum kita mengenal tata cara penguburan jenazah seperti yang saat ini kita ketahui sesuai dengan ajaran Agama, rupanya Cara-cara penguburan pada masyarakat Sulawesi Selatan pada masa pra-Islam umumnya berdasarkan tradisi masa pra-sejarah, yaitu dikubur arah Timur-Barat dengan bekal kubur seperti: mangkuk, cepuk, tempayan buatan setempat, dan barang-barang import dari Cina, dan lain-lainnya.

Baca Juga:  Buraq, Kendaraan yang Membawa Nabi Muhammad Saw Isra Mi'raj

Tidak hanya itu, kebiasaan lainnya ialah dengan memberi topeng penutup mata emas, dan hal ini ditemukan pada sebuah tengkorak yang dilengkapi dengan dua buah telinga yang dihubungkan oleh sejenis lempengan yang melintang diatas hidung.

Diketahui bahwasanya hiasan ini dimaksdukan sebagai bentuk perwujudan sederhana dari sepasang mata dan disekeliling topeng dihiasi oleh logam berukir yang kemudian benda tersebut disimpan dalam sebuah peti kayu yang tidak mudah rusak bersama dengan mayat yang pada mulut dan matanya telah dilengkapi dengan lembaran lembaran emas.

Itulah bentuk bentuk Ritual pra-Islam Masyarakat Sulawesi Selatan yang bisa dikatakan sudah jarang kita temui lagi untuk saat ini.


Sumber rujukan: Sejarah Islam di Sulawesi Selatan oleh Suriadi Mappangara’ dan Irwan Abbas

Rosmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *