Ibnu Thufail, Sang Filsuf Muslim Kedua di Belahan Barat

Ibnu Thufail

Pecihitam,org – Membahas tentang seorang Filsuf, terlebih jika mengarah pada filsuf muslim yang hidup di dunia barat, maka yang pertama kali mempelopori kedudukan ini adalah Ibnu Bajjah yang muncul sekitaran tiga atau empat dasawarsa pertama abad ke 12 di Andalusia. Kemudian, filsuf ini disusul oleh dia sang Ibnu Thufail yang merupakan pemuka besar pertama dalam pemikiran Filsufis muwahhidnya dari Spanyol.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dia bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Abd al Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibnu Thufail atau yang julukan latinnya dikenal dengan Abubacer, dan beliau lahir pada dekade pertama abad ke 6 H di Quaix provinsi Granada. Dan terkait masa kecilnya ternyata tidak banyak diceritakan dalam sejarah.

lbnu Thufail sendiri merupakan tokoh yang tidak hanya mendalami keilmuwan pada bidang filsafat saja, melainkan beliau termasuk salah seorang pemikir yang mendalami beberapa keahlian yang salah satunya ialah dengan menjadi seorang dokter, bahkan dalam memulai karirnya beliau sempat menjadi seorang dokter praktik di Granada dan berangkat dari sana, beliau diangkat menjadi sekertaris gubernur di provinsi tersebut.

Berlanjut pada tahun 549 H, beliau menjadi seorang sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, yakni putra ‘Abd Mu’min yang merupakan penguasa Muwahhid Spanyol pertama yang mampu merebut Maroko pada tahun 542 H. Dan lewat jabatan inilah, Ibnu Thufail menduduki jabatan Dokter tinggi dan menjadi Qadhi di pengadilan serta Wazir Khalifah Muwahhid Abu Ya’kub Yusuf (558- 580 H).

Karena hidup pada pemerintahaan Khlalifah yang sangat mencintai filsafat bahkan memberi kebebasan pada rakyatnya untuk berfilsafat, maka hal yang wajar jika dari kebebasan berfilsafat ini menjadikan pemerintahanya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan metode ilmiah serta membuat Spanyol, sebagaimana yang dikatakan oleh R. Briffault sebagai tempat “Tempat kelahiran kembali ke Negeri Eropa”

Dalam perkembangan filsafat disini, Ibnu Thufail dinilai sebagai seorang filsuf yang cukup berpengaruh. Bahkan atas perintah sang Khalifkah agar buku buku dari Aristoteles yang saat itu nampak kabur (bahasa yang digunakan sukar untuk dipahami) dijernihakan dengan melakukan pengulasan, maka Ibnu Thufail pun memperkenalkan Ibu Rusyd dengan Khalifah, dan darisanalah Ibnu Thufail memberikan kesempatan kepada Ibnu Rusyd untuk mengulas filsafat Yunani (karya dari Aristoteles)

Baca Juga:  Biografi Imam Haromain Abu Maali Al Juwaini

Dan hal ini dilakukan oleh Ibnu Thufail karena menyadari bahwa dirinya yang sibuk mengurus tugas tugas pemerintahan pada waktu itu. Sekalipun di nilai sebagai orang sibuk, Ibnu Thufail pun tidak segan segan untuk mencuri waktu agar bisa menulis, bahkan dalam hidupnya beliau sempat menulis dalam beberapa risalah yang berisikan tentang Kedokteran, astronomi, dan filsafat.

Namun sayangnya, dari sekian risalah yang beliau tulis, hanya satu yang dapat di jumpai yakni Risalah Hayy Ibn Yazqan fi Asrar al Hikmah al Masyriqiyyah atau yang bisa disingkat menjadi Risalah Hayy ibn Yaqzan.

Profil dalam karya Ibnu Thufail Risalah Hayy ibn Yaqzan

Karya dari Risalah Hayy ibn Yaqzan merupakan karya yang di ubah menjadi bentuk kisah roman dan mencerminkan pemikiran Ibnu Thufail dalam lapangan filsafat. Sedangkan dalam ceritanya, Hayy Ibnu Yaqzan adalah tokoh utama yang sebelumnya juga sudah dipakai oleh Ibnu Sina sebagai tokoh utama dalam sebuah risalah pendeknya.

Dalam versi Ibnu Thafail diceritakan bahwa hidup seorang bayi laki laki yang berada di sebuah pulau yang belum pernah di huni Manusia sebelumnya. Kemudian, terkait keberadaan sang bayi, ada dua kemungkinan.

Pertama, karena adanya percampuran tanah dengan air sedemikian rupa sehingga cocok untuk dimasuki jiwa manusia hingga muncullah bayi.

Baca Juga:  Mengenal Ibnu Miskawaih, Sang Pelopor Filsafat Etika

Kedua, ialah bayi tersebut merupakan hasil pernikahan sah secara rahasia dari saudara perempuan seorang raja dengan anggota keluarga istana di pulau lain. Karena takut kepada sang raja, maka bayi tersebut dimasukkan ke dalam peti dan dilepas terapung apung di laut. Sehingga dari arus gelombang dan anginlah yang membuat bayi ini sampai pada pulau yang tidak berpenghuni tersebut.

Disanalah sang bayi disusui dan dirawat oleh seekor rusa yang baru saja kehilangan bayinya, yang kemudian diberi nama Hayy Ibn Yaqzan yang terus hidup dalam duia binatang. Sedangkan akalnya sendiri tetap berkembang sedemikian rupa menurut Sunnatullah sehingga ia bukan saja mampu berpikir tentang dunia fenomena, akan tetapi dia juga mampu menangkap hal hal abstrak dan mengetahui adanya Tuhan.

Ia bahkan dengan mata bathinnya mampu melihat Tuhan, merasa dekat dengan-Nya bahkan merasa berbahagia. Tidak sampai disana, Ibnu Thufail pun menambahkan tokoh tokoh baru seperti Absal dan Salaman serta masyarakat yang melambangkan selera, Syahwat, perasaan marah ataupun tabit tabiat lainnya yang lazim pada manusia.

Lain halnya Hayy Ibn Yaqzan dalam versi Ibn Sina yang mengisahkan tentang seorang Syaikh tua, yang mana ditangannya tergenggam kunci kunci segenap pengetahuan yang ia terima dari bapaknya. Dan Syaikh tua itu sendiri merupakan seorang pengembara yang dapat menjelajahi semua penjuru bumi.

Pola filsafat Ibnu Thufail

Seperti yang disebutkan Nadhim al Jisr dalam buku Qissat al Iman yang dikutip penulis dalam buku pengantar Filsafat Islam karya dari Dedy Supriyadi, bahwasanya dalam mengemukakan kebenaran dengan berbagai Tujuan, Ibnu Thufail hendak menyeleraskan filsafat dengan Syarah, yang mana tujuan tersebut sebagai berikut:

  1. Urutan urutan tangga makrifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari objek objek Indrawi yang khusus sampai pada pikiran pikiran universal,
  2. Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui tanda tandanya pada makhluk-Nya dan menegakkan dalil dalil atas wujudnya
  3. Akal mausia dinilai kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil dalil pikiran, yaitu  ketika hendak menggambarkan keazalian mutlak, ketidakhadiran, zaman, Qadim, Huduts, dan hal hal lain yang sejenis dengan itu.
  4. Baik akal menguatkan qadim-Nya alam atau kebaharuannya, namun kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu adanya Tuhan
  5. Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar dasar keutamaan dan dasar dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keuatamaan dasar akhlak tersebut, disamping menundukkan keinginan keinginan badan pada hukum pikiran tanpa melalaikan hak badan,
  6. Apa yang diperintahkan oleh Syariat Islam, dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan, dan keindahan dapat bertemu kedua duanya dalam satu titik tanpa diperselisihkan lagi.
  7. Pokok dari semua hikmah ialah apa yang telah ditetapkan oleh Syara’, yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan rahasia rahasia filsafat kepada mereka.
Baca Juga:  Syekh Junaid Al-Baghdadi, Kisah Waliyullah; Karomah dan Kalam Hikmahnya
Rosmawati