Ini 5 Alasan dan Solusi Ketika Anak Sudah Tidak Betah di Pesantren

Ini 5 Alasan dan Solusi Ketika Anak Tidak Betah di Pesantren

Pecihitam.org – Niatan untuk memiliki anak yang saleh dan lebih luas pengetahuan agamanya pupus sudah ketika anak yang baru saja dimasukkan pesantren meminta untuk pulang ke rumah. Meskipun memang menuntut ilmu agama bisa saja di luar pesantren, tanpa mondok, namun menjadi santri pesantren tetap merupakan pilihan tepat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Betah tidak betah adalah hal biasa yang dirasakan oleh santri di pesantren. Rasa betah ini biasanya sangat terasa bagi santri yang baru masuk pesantren. Keadaan yang berbeda yang ia rasakan dengan sebelumnya membuat seorang santri menimbulkan rasa betah atau tidak. Tidak kerasan atau tidak betah di pesantren merupakan salah satu penyebab santri akhirnya minta orang tua agar menjemput pulang dan tidak mondok lagi. Kalau sudah begini orangtualah yang sedih.

Tidak betah atau tidak kerasan tidak hanya dialami santri baru. Santri lama pun sebenarnya banyak juga yang mengalami masa tidak kerasan. Bahkan kadang lebih menyiksa. Santri lama yang ngempet (menahan) tidak kerasan lalu menyalurkannya dengan berbagai kegiatan di luar kegiatan pokok pesantren, juga berpotensi menimbulkan tidak kerasan yang lebih parah. Ini sering terjadi.

Bagi orangtua yang memiliki buah hati sedang merasakan tidak betah atau tidak kerasan di pesantren, sebaiknya diteliti dulu. Apa alasan tidak kerasannya? Lalu haruskah boyong alias tidak mondok lagi? Benarkah itu solusi terbaik? Nah, mungkin 5 alasan berikut ini ada yang salah satunya menjadi sebab buah hati Anda tidak kerasan:

1. Jauh dari Orangtua

Jauh dari orangtua adalah alasan paling sering dilontarkan santri baru. Menangis adalah hal lumrah bagi santri baru. Bahkan karena sudah lumrahnya, sampai-sampi ada ungkapan, santri baru harus nangis dulu biar kerasan.

Baca Juga:  Kisah Santri Aswaja Kalah Saat Adu Dalil Dengan Wahabi

Kalau ini yang jadi penyebab tidak kerasan lalu ingin berhenti mondok, cobalah baca dan dengarkan kisah dan cerita para ulama zaman dahulu. Bagaimana para imam mazhab menuntut ilmu, bagaimana para kiai nusantara mengarungi perjalanan jauh hanya berjalan kaki demi mondok, dan sebagainya.

Satu hal yang paling harus diingat, jauh dari rumah dan orangtua saat ini adalah dalam rangka membahagiakan orangtua. Memberi kebanggaan kepada mereka, dan juga agar mendapat keridhaan dan doa mereka.

Coba tanyakan pada mereka, lama manakah antara mondok dengan di rumah? Sejak kecil hinga usia remaja, lalu nanti setelah selesai mondok. Maka masa mondok tak seberapa lama jika dibanding kebersamaan mereka dengan orangtua.

2. Kelelahan Mengikuti Kegiatan

Masih jadi alasan santri baru, yaitu lelah mengikuti padatnya jadwal kegiatan di pesantren. Di pesantren-pesantren besar yang semi modern dan pesantren modern kegiatan memang sangat padat.

Mulai sebelum subuh hingga malam hari. Bahkan kadang pukul 24.00 baru pesantren benar-benar istirahat. Itu diluar kegiatan pribadi setelah pukul 24. Misalnya ngelembur hafalan, ngelembur belajar baca kitab dan sebagainya.

Proses adaptasi dengan lingkungan memang harus dijalani. Kalau memang fisik tidak memadai, tentu harus berani lapor pengurus, ustaz, agar mendapat keringanan. Periksa juga kegiatan pribadi buat hati Anda. Benarkah ia kelelahan mengikuti kegiatan pondok atau justru kelelahan karena melakukan kegiatan pribadi?

3. Pesantrennya Kurang Nyaman

Kurang nyaman, tidurnya gak pakai kasur, atau kasurnya gampang dibuat rebutan. Itu juga alasan santri baru. Itulah dunia pesantren. Keberhasilan yang dicapai para ulama dan para pembesar keilmuan Islam banyak yang berasal dari jalan berat.

Dikisahkan bahwa Imam Thabrani, pernah ditanya penyebab begitu banyaknya hadis yang ia riwayatkan. Beliau menjawab, “Aku tidur di tikar selama 30 tahun.”

Baca Juga:  Mengapa Pesantren Masih Diminati di Tengah Maraknya Sekolah Islam Modern?

Perlu sekali para santri baru mengerti bahwa pesantren bukanlah kamar kost. Tapi pesantren merupakan tempat penggemblengan akidah, akhlak, dan pembentukan mental pamuda Islam yang tahan banting. Sehingga melahirkan generasi yang teguh menuntut ilmu meski keadaan sangat terbatas.

Santri zaman dahulu bahkan rela membikin sendiri gubuknya demi ikut mengaji. Asrama angkring adalah bukti kegigihan santri pendahulu.

4. Nggak Bisa Makan Enak

Menu yang itu-itu saja, kurang bergizi, dan tidak bisa makan enak juga jadi alasan sebagian santri yang tidak kerasan. Kadang orangtua juga justru seolah tidak terima kalau anaknya di pesantren kurang makan.

Berbeda dengan tinjauan medis dan pendidikan modern, para ulama justru tidak menekankan pentingnya makan makanan bergizi. Perlu tapi bukan prioritas. Karena mereka makan hanya untuk bertahan hidup dan melaksanakan tugasnya saat mencari ilmu.

Kembali ke kisah perjalanan para ulama. Mereka banyak yang rela berhari-hari tidak makan hanya demi menuntut ilmu. Mereka makan hanya untuk sekedar bertahan hidup. Pernah dikisahkan oleh K.H. Hisyam Syafaat, Pengasuh Pesantren Darussalam, Blokagung, bahwa Mbah Kiai Syafaat saat mondok pernah hanya makan pucuk dedaunan dan rumput di sawah. Bekal habis, dan malu kalau meminta pada rekannya. Bahkan sampai-sampai beliau kalau melihat sekeliling sepertinya warna kehijauan semua.

5. Barang-barang Sering Hilang

Pakaian, sandal, sabun, odol, sikat gigi sering hilang. Kadang uang juga hilang. Ini salah satu alasan santri baru jadi ngambek dan tidak mau meneruskan mondoknya. Ini juga jadi bahan kritik tajam dari orang-orang yang kurang senang dengan pesantren.

Memang, keseharian santri berkumpul dengan sekian banyaknya santri dengan latar belakang berbeda. Kadang juga ada yang nakal. Selain memang perlunya ketelitian dan ketegasan pengurus, namun santri sendiri juga harus terlatih untuk teliti menjaga barang-barang pribadinya. Kalau tidak ingin terkesan pelit, ya harus belajar dan melatih diri untuk ikhlas berbagi benda-benda yang kecil.

Baca Juga:  Sorogan dan Balaghan, Rahasia Pondok Pesantren Lahirkan Santri Berkualitas

Semua yang ada di pesantren bisa menjadi ajang pembentukan mental dan karakter. Selama yang hilang bukan uang dan benda-benda bernilai besar, hal itu bisa jadi media pembentukan karakter ikhlas dan rela berbagi.

Barang sehari-sehari mudah hilang, ghosob sandal, merupakan kondisi yang memang harus ditangani pengelola dan pengurus pesantren dengan serius untuk menghilangakan stigma buruk pesantren sebagai tempat belajar ghasab (pinjam tanpa izin).

Namun santri juga harus belajar menjaga dan menahan diri terhadap harta orang lain. Sedang orang tua harus sadar, bahwa sekian banyak santri tak mungkin seorang kiai menjaga anaknya sampai hal yang detail seperti sandal.

Kunci betah di pesantren, seperti sering dinasehatkan para kiai kuno, adalah CENGKIR. Cengkir itu bahasa jawa artinya buah kelapa yang masih kecil. Sebenarnya Kependekan dari Kencenge Pikir (kuatnya tekad dan pikiran). Kalau tekad sudah bulat, pikiran sudah mantap, apapun yang terjadi, belajar di pesantren bakal tetap dijalani.

Sourch : Datdut

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *