Hukum Jimak di Siang Hari Ramadhan dan Kafarat (Denda) Pelanggarannya

jimak siang hari ramadhan

Pecihitam.org – Terdapat beberapa hal yang bisa membatalkan ibadah puasa. Selain menghindari makan dan minum secara sengaja, yang harus ditaati adalah larangan jimak di siang hari bulan Ramadhan. Lantas, bagaimana ketentuan dan kafarat jika suami istri berhubungan intim saat siang hari Ramadhan?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Hukum Jimak di siang hari Ramadhan

Hukum jimak suami istri saat bulan Ramadhan memiliki dua kondisi, yaitu ketika malam hari dan saat siang hari. Adapun jimak pada malam hari di bulan Ramadhan hukumnya mubah atau boleh. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 187 berikut:

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Dari keterangan diatas menjelaskan bahwa jimak atau bersenang-senang di ranjang pada malam hari bulan Ramadhan bagi suami istri hukumnya diperbolehkan. Namun lewat tenggat waktu tersebut yaitu ketika di siang hari bulan Ramadhan haram hukumnya bagi suami istri melakukan jimak.

Kafarat Jimak di Siang Hari Ramadhan

Mengenai kafarat atau denda jika seseorang terlanjur melakukan jimak disiang hari Ramadhan didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.

Dikisahkan bahwa pada suatu saat ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW. seseorang lelaki datang dan berkata,”wahai Rasulullah SAW! celakalah aku”.

Rasulullah SAW bertanya apa yang telah terjadi dengannya. Ia menjawab, “aku melakukan hubungan badan dengan istriku padahal aku sedang berpuasa”.

Rasulullah SAW bertanya kepadanya,”dapatkah kamu (sebagai hukumannya) membebaskan seorang budak?” ia menjawab tidak. Rasulullah SAW bertanya,”dapatkah kamu puasa dua bulan penuh?” ia menjawab tidak. “dapatkah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” ia menjawab tidak.

Rasulullah Saw. termenung sejurus dan pada saat yang bersamaan sekeranjang penuh kurma dibawa ke hadapannya. Nabi bertanya,” mana orang yang bertanya tadi?” orang itu menjawab,”aku disini”.

Rasulullah Saw. lantas bersabda kepadanya, “bawalah ini dan sedekahkanlah”. Orang itu berkata,”haruskah kusedekahkan kepada orang yang lebih miskin daripada ku? Demi Allah, tidak ada keluarga di antara dua gunung ini (Madinah) yang lebih miskin daripadaku”. Nabi Muhammad Saw. pun tersenyum hingga tampak gigi serinya dan berkata,”berikanlah makanan ini kepada keluargamu”.

Dari riwayat diatas para ulama kemudian merumuskan bahwa kaffarah (denda) bagi pelanggaran puasa yang berupa jimak di siang hari Ramadhan ada tiga jenis. Ketiganya tidak bisa dipilih salah satu, namun harus dilakukan sesuai urutan.

  • Pertama, memerdekakan budak.
  • Kedua, puasa dua bulan berturut-turut.
  • Ketiga memberi paket kepada 60 orang fakir miskin. Masing-masing 1 mud (60 ons) bahan makanan pokok.
Baca Juga:  Perbedaan Hukum Makan Ikan Beserta Kotorannya Menurut Ulama Ahli Fiqih

Karena dalam konteks sekarang ini, sangsi yang pertama (membebaskan budak) tidak mungkin dilakukan. Maka sangsi kedua wajib dilaksanakan kecuali ada halangan yang dibenarkan oleh syariat. Dan sangsi ketiga menjadi tebusan terakhir yaitu memberikan 60 paket makanan pokok yang masing-masing seberat 60 ons.

Namun demikian, ada pula sebagian dari mereka yang mengerti hukum kemudian berusaha menghindar dari ketiga jenis tebusan ini. Dengan cara membatalkan puasa terlebih dahulu (baik dengan makan atau minum) sebelum melakukan jimak, dengan harapan bisa terhindar dari kafarat tersebut.

Akan tetapi jangan disangka dengan seperti itu bisa lepas dari hukuman, karena dalam hadits riwayat Imam Turmudzi, Rasulullah saw bersabda yang artinya

“Barangsiapa meninggalkan/membatalkan sehari puasa Ramadhan tanpa alasan yang meringankan dan tidak pula karena sakit, maka puasa sepanjang masa tidak cukup baginya. (HR. Turmudzi)

Rincian Ketentuan Kafarat

Mengingat begitu pentingnya pembahasan kafarat tersebut, maka perlu diperinci lagi tentang senggama seperti apa yang mengakibatkan pelakunya harus terkena sanksi seperti diatas.

Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Kasyifah al-Saja (Terbitan Darul Ihya, Cetakan pertama, Tanpa tahun, halaman 112), merinci sebelas persyaratan jatuhnya kifarah ‘udhma pada pelanggaran jimak saat puasa.

Berikut adalah sebelas persyaratan yang dimaksud dan sedikit penjelasan dari kitab Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib karya Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn Zakariya al-Anshari, (Cetakan Darul Kitab al-Islami, Tanpa Tahun, Jilid 1, mulai dari halaman 425).

Pertama, kewajiban kafarat dijatuhkan kepada orang yang sengaja menyenggama melalui kemaluan atau anus. Sedangkan kepada orang yang disenggama tidak dijatuhkan, baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu seperti yang dikemukakan dalam Asna al-Mathalib:

لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهَا لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْمَرْ بِهَا فِي الْخَبَرِ إلَّا الرَّجُلُ الْمَوَاقِعُ

Artinya: “Tidak kafarat bagi wanita yang disenggama, sebab ia tidak diperintah melakukannya, kecuali laki-laki yang menyenggamanya,, berdasarkan hadits.”

فَيَخْتَصُّ بِالرَّجُلِ الْوَاطِئِ كَالْمَهْرِ فَلَا يَجِبُ عَلَى الْمَوْطُوءَةِ وَلَا عَلَى الرَّجُلِ الْمَوْطُوءِ كَمَا نَقَلَهُ ابْنُ الرِّفْعَةِ

Artinya, “Tak beda dengan mahar, sanksi kafarat ini hanya dikhususkan bagi laki-laki yang menyenggama. Sehingga, tidak ada kewajiban bagi wanita yang disenggama, juga kepada laki-laki yang disenggama, sebagai yang dikutip oleh Ibnu al-Rif‘ah.”

Kedua, kafarat ini tidak dijatuhkan kecuali kepada orang yang merusak puasanya dengan senggama, dilakukannya secara sengaja, menyadari sedang berpuasa, tahu keharamannya, meskipun ia tidak tahu kewajiban kafarat tersebut.

Sehingga, jika ia merusak puasanya terlebih dahulu dengan yang lain, seperti makanan, kemudian bersenggama, maka tidak ada kafarat baginya, sebagaimana dalam Asna al-Mathalib:

وَقَوْلُنَا بِجِمَاعٍ احْتِرَازًا مِمَّنْ أَفْطَرَ أَوَّلًا بِغَيْرِهِ ثُمَّ جَامَعَ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ فِي ذَلِكَ

Baca Juga:  Kontroversi Bunga Bank di Kalangan Imam Madzhab dan Para Ulama Kontemporer

Artinya, “Maksud kami dengan ‘senggama’ mengecualikan orang yang sebelumnya membatalkan puasa dengan selain senggama, kemudian ia bersenggama, maka tidak kewajiban kafarat di dalamnya.” Begitu pula jika ia dipaksa melakukannya, karena lupa, dan karena ketidaktahuan yang diampuni, maka tidak perlu kafarat baginya.

Ketiga, yang dirusak adalah ibadah puasa. Selain ibadah puasa, seperti shalat atau i’tikaf, tidak ada kewajiban kafarat.

Keempat, yang dirusak adalah puasa diri sendiri. Berbeda halnya jika yang dirusak adalah puasa orang lain, seperti seorang musafir atau orang sakit merusak puasa istrinya.

لَوْ كَانَ بِهِ عُذْرٌ يُبِيحُ الْوَطْءَ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَجَامَعَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ صَائِمَةٌ مُخْتَارَةٌ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ بِإِفْسَادِ صَوْمِهَا

Artinya, “Andai ada udzur yang membolehkan senggama seperti perjalanan jauh atau yang lain, kemudian seseorang bersenggama dengan istrinya, padahal istrinya sedang berpuasa dan menginginkan itu, maka tidak ada kewajiban kafarat bagi orang tersebut walau telah merusak puasa istrinya.”

Kelima, senggama dilakukan di bulan Ramadhan, meskipun masuknya bulan Ramadhan karena hasil pengamatan diri sendiri terhadap hilal atau karena informasi orang yang dipercaya.

وَقَوْلُنَا مِنْ رَمَضَانَ احْتِرَازًا مِنْ الْقَضَاءِ وَالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ) فَلَا كَفَّارَةَ فِي إفْسَادِهَا لِوُرُودِ النَّصِّ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِفَضَائِلَ لَا يُشْرِكُهُ فِيهَا غَيْرُهُ

Artinya, “Maksud kami dengan ‘bulan Ramadhan’ adalah mengecualikan puasa qadha, puasa nazar, dan sebagainya. Sehingga tidak ada kafarat karena rusaknya puasa-puasa tersebut berdasarkan nas yang ada. Sebab, bulan tersebut diistimewakan dengan sejumlah keutamaan yang tak tertandingi oleh bulan-bulan yang lain.”

Keenam, kafarat dijatuhkan karena aktivitas senggama meskipun aktivitasnya berupa anal seks, baik dengan manusia, dengan mayat, maupun dengan binatang, meski tak sampai keluar sperma.

Berbeda halnya dengan aktivitas seksual yang lain, seperti onani, masturbasi, dan oral seks meski hingga keluar sperma. Maka beberapa aktivitas seksual terakhir ini tidak mewajibkan kafarat.

Ketujuh, sang pelaku berdosa karena membatalkan puasanya dengan senggama. Berbeda halnya jika sang pelaku masih anak-anak (belum ditaklif), atau orang yang musafir dan orang sakit, lalu keduanya bersenggama karena merasa memiliki keringanan (rukhshah). Pasalnya, mereka tidak berdosa dengan senggama mereka.

لَوْ كَانَ بِهِ عُذْرٌ يُبِيحُ الْوَطْءَ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَجَامَعَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ صَائِمَةٌ مُخْتَارَةٌ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ بِإِفْسَادِ صَوْمِهَا

Artinya, “Andai ada udzur yang membolehkan senggama seperti perjalanan jauh atau yang lain, kemudian seseorang senggama dengan istrinya, padahal istrinya sedang berpuasa dan menginginkan itu, maka tidak ada kewajiban kafarat bagi orang tersebut walau telah merusak puasa istrinya.” Kedelapan, dosa senggama pelaku hanya karena puasa.

ـ )وَقَوْلُنَا لِأَجْلِ الصَّوْمِ احْتِرَازًا مِنْ مُسَافِرٍ( أَوْ مَرِيضٍ )زَنَى( أَوْ جَامَعَ حَلِيلَتَهُ بِغَيْرِ نِيَّةِ التَّرَخُّصِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ )فَإِنَّهُ أَثِمَ لِأَجْلِ الزِّنَا( أَوْ لِأَجْلِ الصَّوْمِ مَعَ عَدَمِ نِيَّةِ التَّرَخُّصِ

Baca Juga:  Wali Nikah Anak Diluar Nikah Dalam Pandangan Fiqih

Artinya, “Maksud pernyataan kami ‘karena puasa’ adalah mengeluarkan orang yang bepergian jauh atau orang sakit lalu berzina, atau mencampuri istrinya tanpa merasa punya rukhshah, maka tidak ada kafarat baginya. Sebab, ia berdosa karena zina atau karena puasa tapi tak merasa punya rukhshah (keringanan).”

Kesembilan, yang dirusak haruslah puasa sehari penuh dan pelakunya dikategorikan sebagai orang yang wajib berpuasa dalam sisa hari setelah senggamanya. Sehingga, orang yang pada suatu hari bersenggama tanpa ada alasan kemudian mengalami tuna grahita atau meninggal dunia pada sisa hari tersebut, berarti ia tidak dianggap merusak sehari penuh.

Kesepuluh, waktu yang dipakai pelaku saat berjimak tidak samar dan tidak diragukan. Berbeda halnya jika ia mengira waktu masih malam ternyata sudah siang, waktu sudah masuk malam ternyata masih siang. Begitu pula bila ia makan karena lupa, lantas mengira puasanya sudah batal, lalu bersenggama secara sengaja. Maka tidak ada kafarat.

كَمَا لَوْ جَامَعَ ظَانًّا بَقَاءَ اللَّيْلِ فَبَانَ خِلَافُهُ )وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ( لِأَنَّهُ جَامَعَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ غَيْرُ صَائِمٍ وَهَذَا خَارِجٌ بِقَوْلِهِ لِأَجْلِ الصَّوْمِ

Artinya, “Demikian halnya seandainya ada seseorang mencampuri istrinya karena mengira masih malam, namun ternyata sudah siang, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya, karena ia melakukan itu atas dasar keyakinan dirinya belum berpuasa. Kesimpulan ini keluar dari pernyataan penulis matan ‘karena tujuan puasa.’”

Maka dari itu, orang yang mengetahui waktu sudah siang atau masih siang, maka mestinya ia seketika menghentikan senggamanya dan kembali berimsak disertai qadha di hari yang lain. Sebab, jika tidak, ia akan dijatuhi kewajiban kafarat karena sengaja melanjutkannya.

مَا إذَا طَلَعَ عَلَيْهِ الْفَجْرُ وَهُوَ مُجَامِعٌ فَاسْتَدَامَ فَإِنَّ الْأَصَحَّ الْمَنْصُوصُ وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ مَعَ انْتِفَاءِ فَسَادِ الصَّوْمِ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ

Artinya, “Jika fajar terbit, sedangkan seseorang sedang bersenggama, namun tetap meneruskannya, maka berdasarkan nas yang paling sahih, ia wajib menjalankan kafarat, walaupun tertolaknya kerusakan puasa dalam kondisi ini (karena puasanya tidak sah).”

Kesebelas, senggama yakin dilakukan di bulan Ramadhan. Berbeda halnya jika pelaku tidak yakin dirinya sudah memasuki bulan Ramadhan, kemudian ia berpuasa dengan hasil ijtihadnya dan membatalkan puasanya dengan senggama, namun ijtihadnya ternyata salah, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya.

Demikian, Wallahu a’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik