Kesalehan Sufistik di Kalangan Santri Tradisional

Kesalehan Sufistik di Kalangan Santri Tradisional

Pecihitam.org – Sebelum membahas tentang identitas santri tradisional dalam aspek sufistik, perlu terlebih dahulu dipertanyakan tentang bagaimana sebenarnya hubungan antara bentuk kesalehan Islam yang bersifat syariat-sentris dengan ajaran-ajaran sufisme? Benarkah kalangan tradisional santri telah mampu mensitensiskan antara keduanya?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sejak Islam pertama kali masuk ke Nusantara, kalangan santri boleh dibilang telah banyak mengetahui berbagai pemecahan terhadap masalah dimensi syariat dan mistik yang umumnya tidak semua kalangan umat Islam sepakat.

Meskipun, kebanyakan santri meyakini bahwa sufisme merupakan unsur kesalehan Islam yang sangat penting, tetapi ia hanya bisa dipraktikkan dalam konteks kesalehan yang terpusat pada syariat.

Seperti di kalangan Nahdlatul Ulama, yang merupakan representasi dari kalangan santri tradisional, menganggap penting ajaran sufi tetapi harus diberi dasar yang kuat dari syariat. Misalnya dalam tradisi tasawuf Ghazalian, keselarasan antara dimensi sufi dan syariat adalah sesuatu yang sangat mutlak diperlukan, karena keduanya kompatibel dan saling melengkapi.

Santri tradisional, sebagaimana kalangan sufi Timur Tengah yang cenderung pada syariat, berkeyakinan bahwa seluruh persyaratan kesalehan normatif harus dipenuhi dulu sebelum memasuki jalan sufisme.

Baca Juga:  Dakwah Islam dan Kefasihan Beragama ala Pesantren Aswaja NU

Kebanyakan memandang kesalehan normatif sebagai bentuk awal menuju jalan sufi dan meyakini hal itu tidak bisa diabaikan oleh yang mencapai jalan sufi.

Terkait dengan hal ini, ada hadits yang mendukung posisi antara dimensi syariat dan mistik, dan hadits ini banyak dikutip, isinya begini “Syariat adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, dan hakikat adalah keadaan batinku”.

Kebanyakan santri tradisional berkeyakinan bahwa unsur batin dari kehidupan keagamaan lebih penting daripada bentuk lahir. Meskipun, kesalehan luar merupakan ekspresi iman batin dan cara memperkukuh spiritual. Artinya, dimensi lahir dan batin tidak pernah bisa dilepaskan satu dengan yang lain.

Sebenarnya, kaitan antara santri dan sufisme tidak terlalu sulit mencarinya. Hal ini dikarenakan bahwa selain keduanya memiliki sejarah yang panjang, juga dikarenakan keduanya secara sosiologis memiliki persamaan-persamaan, misalnya keduanya sama-sama dapat dilihat sebagai subkultur masyarakat Indonesia.

Sedangkan sufisme (tasawuf) merupakan subkultur dalam Islam. Dikatakan santri adalah subkultur dalam masyarakat Indonesia karena santri sudah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Pesantren sebagai cagar budaya, tidak akan mungkin dapat berdiri kokoh tanpa ada santri.

Baca Juga:  Menilik Eksistensi Pesantren dari Santri Tradisional hingga Modern

Bicara soal sufisme di kalangan santri tradisional ini mengingatkan kita pada salah satu subkultur dalam organisasi Nahdlatul Ulama yang memiliki perkumpulan tarekat resmi.

Ketika Mu’tamar tahun 1983 di Situbondo, para kyai dan santri telah bersepakat untuk mendirikan Jam’iyah Thariqah Mu’tabarah, yang menaungi langsung berbagai perkumpulan tarekat di kalangan santri tradisional.

Ini menunjukkan betapa dimensi mistik, kebatinan, dan aspek sufisme dalam Islam sama sekali tidak bisa diabaikan sampai-sampai ada perkumpulan sendiri yang dapat mewadahi berbagai aliran tarekat yang telah disepakati.

Bagi kalangan santri tradisional, dimensi sufisme bisa disebut sebagai roh dari agama itu sendiri. Bahwa tidak mungkin beragama secara lahiriah saja, sisi batiniah harus pula mendapat porsi yang proporsional karena disitulah letak dari hakikat pengalaman keagamaan seseorang.

Di sini, ada semacam identitas yang dilekatkan kepada kalangan santri tradisionalis bahwa sebuah kesalehan dalam beragama, tidaklah bisa serta merta meninggalkan aspek batiniah agama atau aspek mistiknya. Artinya, seorang santri disebut saleh bila mereka sudah mengamalkan ajaran-ajaran dasar dari sufisme.

Baca Juga:  Wahabi Masih Sering Bid'ahkan Maulid? Jawablah Seperti Ini

Ini bukan berarti bahwa aspek lahirian atau syariat lebih rendah dari hakikat, atau syariat tidak penting, sama sekali tidak. Justru syariat adalah ladasan pacu dan dasar untuk beranjak pada sesuatu yang lebih intens dalam agama, yakni sufisme.

Sebab, ajaran sufi pada hakikatnya lebih pada amaliyah spiritual keagamaan, dikarenakan ia adalah amaliyah, maka keberadaannya sangat dekat dengan syariat dan tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa santri tradisional selalu dekat dengan dimensi sufistik dalam Islam. Sekurang-kurangnya, mereka telah mengamalkan ajaran-ajaran dasar sufi seperti laku zuhud, sabar, hidup sederhana, tawakal, dan masih banyak lagi. Bila ajaran-ajaran ini telah sedikit-banyak diamalkan, maka patutlah santri tersebut disebut sebagai santri yang saleh.

Rohmatul Izad