Khazanah Tentang Bagaimana Meneguhkan Moderasi Islam

bagaimana meneguhkan moderasi Islam

Pecihitam.org – Dalam sebuah ceramah, Prof Quraish Shihab, ulama tafsir terkemuka asal Sulawesi Selatan, memaparkan pendapatnya tentang bagaimana meneguhkan moderasi Islam. Menurutnya, syarat tercapainya moderasi Islam adalah pengetahuan, pengendalian emosi dan sikap hati-hati.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ketiga hal tersebut bukanlah konsep baru, melainkan sesuatu yang memang berasal dari rahim ajaran Islam, namun kerapkali dilupakan oleh penganutnya. Narasi tentang moderasi Islam seyogyanya harus terus dihidupkan dan diperkaya, untuk membendung arus ekstrimisme yang tengah menggejala.

Islam adalah agama pengetahuan, lahirnya berbagai mazhab pemikiran berikut warisan pemikiran dan tradisinya yang terangkum dalam ribuan kitab dan termanifestasi dalam praktik-praktik kebudayaan masyarakat muslim menjadi bukti otentiknya.

Dalam dunia Islam Sunni misalnya, ada empat mazhab fiqh besar yang hingga kini masih hidup dan terus berkembang di dunia Islam; Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Di samping itu, terdapat pula mazhab teologi Asy’ari dan Maturidi serta mazhab tasawuf Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi.

Nama-nama mazhab tersebut merujuk kepada nama-nama tokoh peletaknya, hal itu memang telah menjadi sesuatu yang khas dalam dunia Islam.

Tidak hanya dunia Islam, tradisi ilmu pengetahuan memang mengenal pentasbihan semacam itu, selain menjadi sarana pewarisan ilmu pengetahuan, juga menjadi wahana pengkajian pemikiran secara ilmiah dalam nuansa kontekstual tokoh pengusungnya, sebentuk upaya mengapresiasi begitu tinggi para ulama/ilmuwan yang berjasa bagi umat manusia lewat ilmu pengetahuan.

Baca Juga:  Penyakit Ain, Penyebab dan Pengobatannya Menurut Islam

Kristalisasi pemikiran para tokoh semacam itu, membuat dialektika ilmu pengetahuan menjadi lebih dinamis. Dalam Islam, proses kristalisasi itu hadir lewat tradisi bermazhab. Meskipun di koridor lain adapula yang mencibirnya sebagai biang kejumudan dan kebekuan ijtihad.

Dengan bermazhab orang-orang awam dapat mengamalkan syari’at dengan mudah dan praktis. Walau tak jarang memunculkan dikotomi dan sikap fanatik. Hal yang sering dilupakan adalah bahwa peletak mazhab-mazhab terbesar dalam Islam yang eksis hingga kini, adalah juga imam-imam moderat yang penuh toleransi.

Jika saja toleransi dan sikap terbuka (inklusif) para imam besar mazhab itu, terus diwariskan dan ditumbuhkembangkan menjadi karakter beragama, apalagi jika disokong oleh tradisi tasawuf yang kuat, kearifan memaknai realitas kehidupan akan menjadi arus utama paradigma beragama.

Dalam situasi itu, tradisi bermazhab akan melahirkan khazanah keislaman yang indah. Antar penganut mazhab dapat saling belajar dan bertukar cara pandang, diringi sikap saling menghargai pendapat dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.

Tidak sampai di situ, pikiran dan sikap terbuka itu juga akan bergerak keluar, melampaui relasi internal penganut agama yang sama menuju toleransi antar penganut agama yang berbeda, keragaman dirayakan sebagai anugerah Tuhan, bukan dijadikan dalih permusuhan.

Baca Juga:  Prof Quraish Shihab: Kesalahpahaman Ajaran Agama Bisa Hambat Lahirnya Persaudaraan Kemanusiaan

Itulah yang menjadi lanskap keberagamaan masyarakat Islam di Nusantara, walaupun hal tersebut mengalami pasang-surut dalam perjalanan sejarah, musabab faktor-faktor ekonomi-politik yang kerap beririsan dengan isu-isu keagamaan.

Sebagian besar orang bermazhab secara qauli (tekstual) dan sebagian kecil lainnya bermazhab secara manhaji (metodogis). Hal itu terjadi, karena kenyataan sejarah memang menunjukkan, tidak semua orang islam memiliki kapasitas untuk memahami sumber-sumber (teks) utama ajaran Islam, menggali hukum-hukum darinya, menemukan hikmah-hikmah yang tersirat-tersembunyi di dalamnya dan menempuh cara-cara penerapannya di tengah-tengah masyarakat.

Sebab sedari awal, Rasulullah Muhammad telah menggariskan bahwa peran-peran keilmuan itu menjadi tugas dan tanggungjawab para ulama (al-ulama waratsatul anbiya), yakni mereka yang memiliki kepakaran dalam ilmu-ilmu agama, karena telah menempuh proses belajar secara sungguh-sungguh, pun telah menempa diri sedemikian rupa agar dapat melakoni hidup sebagai teladan umat.

Secara denonatif ulama sebenarnya memiliki makna yang luas, namun dalam perjalanannya mengalami (penyempitan) makna menjadi pakar ilmu-ilmu Islam.

Di fase-fase awal sejarah Islam, orang-orang menerima Islam dan menjadi muslim karena menyaksikan keluhuran dan ketinggian akhlak Nabi Muhammad SAW. Mereka memilih memeluk Islam, tatkala melihat kebenaran risalah yang dibawah Sang Nabi lewat kebajikan-kebajikan yang lahir dari dirinya. Ketinggian akhlak Nabi menjadi wajah Islam kala itu.

Baca Juga:  Belajar Islam Ramah ala Indonesia di Era Millenial

Gus Dur (2003) berpesan “Kita harus merubah moralitas masyarakat dengan sabar, agar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang kita yakini kebenarannya, dengan memberikan contoh yang baik sebagai wahana utama dalam pembentukan moralitas yang berlaku di tengah-tengah masyarakat“.

Sabar, adalah kata yang mudah dirapalkan, namun sangat sulit diamalkan. Sebab ia bermuasal dari kedalaman diri, dari akal budi dan hati yang telah terlatih. Sedang kita umumnya lebih senang bermain di atas permukaan, menghamba pada citra dan tampakan luar.

Laku sabar adalah salah satu kunci utama moderasi Islam. Darinya lahir kemampuan begitu kuat untuk mengendalikan emosi diri yang kerapkali berasal dari ego kebenaran yang meluap-luap.

Rasululullah Muhammad sendiri adalah peletak moderasi Islam. Darinyalah manifestasi pengetahuan, pengendalian emosi dan sikap hati-hati (sebagaimana yang dikemukakan Prof Quraish Shihab di awal tulisan) mewujud dalam totalitas laku hidupnya. Olehnya, menjadi muslim moderat adalah ikhtiar meneladani Nabi secara kaffah.

M Fadlan L Nasurung
Latest posts by M Fadlan L Nasurung (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *