Pecihitam.org – Setiap Idul Adha memang selalu ada pembahasan menarik dan sampai sekarang menjadi perdebatan yaitu mengenai larangan menjual kulit hewan qurban dan biaya operasional saat penyelenggaraan Qurban.
Di beberapa tempat misalnya, panitia kesulitan memberikan upah bagi tukang jagal hewan karena memang tidak ada dana alokasi khusus untuk hal tersebut. Lantas bagaimana solusinya?
Pengelolaan Qurban dijelaskan dalam hadits berikut:
ﻋﻦ ﻋﻠﻲ، ﻗﺎﻝ: «ﺃﻣﺮﻧﻲ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﺃﻗﻮﻡ ﻋﻠﻰ ﺑﺪﻧﻪ، ﻭﺃﻥ ﺃﺗﺼﺪﻕ ﺑﻠﺤﻤﻬﺎ ﻭﺟﻠﻮﺩﻫﺎ ﻭﺃﺟﻠﺘﻬﺎ، ﻭﺃﻥ ﻻ ﺃﻋﻄﻲ اﻟﺠﺰاﺭ ﻣﻨﻬﺎ»، ﻗﺎﻝ: «ﻧﺤﻦ ﻧﻌﻄﻴﻪ ﻣﻦ ﻋﻨﺪﻧﺎ»
Dari Ali, ia berkata: “Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan kepada saya untuk mengurusi Qurban beliau. Nabi memerintahkan untuk menyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan tidak tidak memberikan ongkos jagal dari hewan Qurban. Kami memberi ongkos dari kami sendiri” (HR Muslim)
Di dalam hadis ini ada beberapa ketentuan:
- Semua hewan Qurban disedekahkan dalam arti tidak boleh dijual
- Biaya Jagal tidak boleh diambil dari hewan Qurban. Melainkan diambil dari dana pribadi atau iuran pemilik Qurban.
Dilema biaya operasional Qurban selalu ‘menghantui’ para panitia Qurban. Di satu sisi tidak boleh menjual kulit Qurban dan memberi ongkos penyembelihan kepada Jagal yang diambil dari Qurban, di sisi lain pemilik Qurban hanya datang membawa hewan Qurban dan tampar (tanpa rupiah). Sisi lain yang ketiga tidak boleh diambilkan dari kas infaq masjid.
Solusinya yang sudah diterapkan di beberapa masjid di Surabaya:
Panitia Qurban menunjuk 1 orang dari panitia yang masuk kategori miskin. Kemudian semua kulit dan kaki dikumpulkan jadi satu. Disedekahkan kepada 1 panitia tadi. Lalu dia sudah boleh menjual dan memberi uang ongkos kepada Jagal. Yang penting terhindar dari hukum haram ketika kulit langsung dijual.
Jika Jagal dan penyembelih masuk kategori miskin maka boleh diberikan kepadanya, tapi bukan sebagai ongkos. Syekh Nawawi al-Bantani berkata:
ويحرم أيضا جعله أي شيء منها أجرة للجزار لأنه في معنى البيع ولوكانت الأضحية تطوعا فان أعطى للجزار لا على سبيل الأجرة بل على سبيل التصدق …
Haram menjadikan hewan Qurban sebagai upah bagi jagal sebab sama seperti menjual, meskipun Qurban Sunah. Jika memberi kepada jagal sebagai sedekah …maka tidak haram… (at-Tausyih Ala Ibni Qasim 519)
Dari Madzhab Hambali, Ibnu Qudamah berkata:
فَأَمَّا إنْ دَفَعَ إلَيْهِ لِفَقْرِهِ، أَوْ عَلَى سَبِيلِ الْهَدِيَّةِ، فَلَا بَأْسَ؛ لِأَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِلْأَخْذِ، فَهُوَ كَغَيْرِهِ، بَلْ هُوَ أَوْلَى؛ لِأَنَّهُ بَاشَرَهَا، وَتَاقَتْ نَفْسُهُ إلَيْهَا
“… Jika dia (orang yang berkurban itu) memberinya (tukang jagal itu) karena kefakirannya atau dalam konteks hadiah, maka itu tidak mengapa. Karena ia (tukang jagal itu) berhak untuk mengambil, jadi dia seperti yang lainnya. Bahkan dia lebih utama karena dialah yang menangani (penyembelihan) kurban itu dan dirinya juga ingin terhadap Qurban…” (Al-Mughni, juz 450)
Bukankah Ini Rekayasa Hukum?
Betul. Merekayasa hukum sebenarnya sering ditemukan dalam kitab-kitab Fikih. Contohnya adalah ketika membayar hutang yang lebih dari nilai hutangnya dan masuk kategori riba, maka ada rekayasa dengan nazar, seperti dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in.
Bagi ulama -Habaib dan kyai- yang sangat berhati-hati tentu tidak berkenan dengan istilah rekayasa hukum ini. Namun karena kondisi masyarakat di wilayah sosial tertentu tidak dapat menghindari maka uraian di atas bisa menjadi solusi.