Membangun Sinergi Ulama dan Umara, Meneladani NU dan Muhammadiyah

sinergitas ulama dan umara

Pecihitam.org – Di negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, keberadaan ulama memiliki arti yang sangat fundamental bagi Indonesia. Hubungan ulama dan umara hampir tidak pernah bisa dipisahkan. Bila umara menjauh dari ulama, hampir dipastikan negara akan kelimpungan dalam mengurusi rakyatnya. Mengingat, ketaatan masyarakat terhadap agama jauh lebih kuat ketimbang pada negara, sehingga peranan ulama sama sekali tidak bisa diabaikan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dulu, ketika pak Soeharto ingin memiliki lembaga ulama resmi di bawah naungan negara, beliau meminta nasihat kepada tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah, dari situ lahirlah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mampu menjadi penghubung antara umara dan ulama.

Dalam pengertian lain, berdirinya MUI bertujuan sebagai jembatan penghubung antara umara dan ulama yang tidak bersifat sektarian. Untuk itu, MUI bisa diisi oleh ulama dari latar belakang mana saja, bisa dari NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, dan lain sebagainya.

Bila negara butuh fatwa-fatwa atau pertimbangan politik yang berkaitan dengan agama, maka MUI inilah salah satu wadah yang dapat memberi solusi bagi kebijakan negara.

Saking pentingnya hubungan antara ulama dan umara ini, Nabi Muhammad SAW sampai bersabda, “Dua golongan besar bila keduanya baik, maka baiklah umat manusia. Dan bila mereka buruk, maka hancurlah umat manusia, yaitu ulama dan umara” (HR. Ibnu Majah).

Melalui hadits ini, Rasulullah memberi gambaran bahwa ketika penguasa tidak berhubungan baik dengan ulama, atau malah memusuhinya, maka hancur sudah tatanan negara itu. Begitupun sebaliknya, ulama tidak boleh memusuhi umara sebagai pemimpin yang sah dalam suatu pemerintahan.

Baca Juga:  Mengapa Anak Kita Harus Masuk Pondok Pesantren?

Di Indonesia, kehadiran ulama-ulama yang berasal dari NU dan Muhammadiyah telah memberi contoh yang baik bagaimana ulama dan umara bisa bersinergi dan saling bekerja sama.

Keberadaan NU yang dalam beberapa tahun terakhir terlihat begitu mesra dengan pemerintah, sebenarnya juga merupakan salah satu upaya dalam mengamalkan hadist yang disabdakan oleh Nabi itu.

Mungkin banyak orang di luar sana akan mengira bahwa kedekatan ulama-ulama NU dengan penguasa memiliki kepentingan terselubung atau ingin jabatan dan kekuasaan.

Perkiraan seperti ini saya kira tidak berdasar sama sekali. Sebab umara butuh dikawal oleh golongan ulama agar kebijakannya tidak merugikan umat Islam.

Nabi juga pernah bersabda, “Sesungguhnya penguasa (yang adil) itu adalah bayangan Allah di bumi yang menjadi tempat berlindungnya setiap orang yang terdzalimi” (HR. Baihaqi).

Pertanyannya, bagaimana bila yang terdzalimi itu umat Islam? Atau, umara yang jelas-jelas melanggar prinsip agama? Karenanya, untuk mengurai kesenjangan terhadap masalah seperi ini, kehadiran ulama sangat penting di sisi umara atau pemerintah.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menyaksikan betapa ada banyak sekali ulama yang tidak pro dengan pemerintah. Artinya, mereka secara terang-terangan menarik diri dari umara dan bahkan ada yang sampai menentangnya.

Baca Juga:  Berimanlah Tanpa Perlu Menghina Iman Orang Lain

Misalnya seperti ulama dari kalangan eks HTI, FPI, dan lain-lain. Di antara mereka masih banyak yang anti dengan pemerintah, dan yang paling memprihatinkan mereka juga menolak seluruh sistem kenegaraan.

Mengoreksi dan mengkritik umara sah-sah saja, siapapun boleh dan harus melakukannya, tak terkecuali juga ulama. Tetapi ketika kritik itu sifatnya merusak dan tidak membangun, yang terjadi justru kerusakan dan konflik yang tidak sehat antara ulama dan umara.

Dari sini, umat Islam yang berada di bawah naungan ulama yang anti pemerintah, pasti akan ikut-ikutan membenci pemerintah, padahal banyak di antara mereka ada yang tidak mengerti apa-apa.

Rasulullah sedari awal sudah mewanti-wanti bahwa selama umara itu masih berada pada jalan kebaikan, jujur, amanah, dan tidak menentang ajaran Islam, maka umat Islam, juga ulama, harus patuh terhadap penguasa, tidak ada alasan untuk mementangnya.

Dengan kata lain, harus ada jalinan yang baik antara umara dan ulama. Keduanya tidak boleh renggang, apalagi hanya sekedar urusan politik semata.

Dalam hal ini kita bisa mencontoh Muhammadiyah. Baru-baru ini saya membaca sebuah kolom di harian Republika yang ditulis oleh Buya Syafi’i Ma’arif, beliau mengatakan bahwa “Secara politik, Muhammadiyah sekarang ini seperti anak yang yatim piatu”.

Baca Juga:  Bisakah Kita Langsung Memahami Alqur'an dan Hadits Sendiri?

Artinya, Muhammadiyah kurang memiliki relasi politik dengan penguasa sebagaimana yang dimiliki oleh NU sekarang.

Mengenai ini, Buya Syafi’i mengatakan, “Meski secara politik Muhammadiyah kurang memiliki kedekatan dengan pemerintah, tapi jangan ragukan integritas dan loyalitas Muhammadiyah kepada negara, sebab sejak dulu Muhamamdiyah sudah berperan aktif dalam memajukan dan mencerdaskan anak bangsa”.

Karenanya, bila melihat sikap bijak dari buya Syafi’i di atas, tidak ada alasan bagi ulama atau umat Islam untuk menjauh dari umara lantaran tidak punya kedekatan secara politik.

Ada sebuah ungkapan bijak, “Agama adalah pondasi, kekuasaan adalah penjaga. Segala yang tidak berpondasi, niscaya akan hancur. Dan segala yang tidak mempunyai penjaga, pasti akan mudah hilang”.

Dengan demikian, peranan ulama dan umara tidak pernah bisa dipisahkan dalam membangun bangsa dan negara. Keduanya harus terhubung, bersinergi, dan saling bekerja sama agar terjadi keseimbangan. Bila keduanya terpisahkan, bangunan negara ini bisa runtuh dan kehilangan arah.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *