Mengenal Muhammad Natsir dan Konsepnya tentang Ketatanegeraan Islam

Mengenal Muhammad Natsir dan Konsepnya tentang Ketatanegeraan Islam

Pecihitam.org,- Muhammad Natsir, sang pahlawan yang tidak hanya sebagai sosok pejuang kemerdekaan Indonesia, melainkan pun merupakan sosok Ulama yang berkharismatik dan kritis. Beliau lahir di Ranah Minang, tepatnya di Alahanpanjang Solok, 17 Juli 1908.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dan yang menjadi point penting ialah bahwa pada akhir abad 19 dan awal aad ke 20, tanah kelahiran dari Muhammad Natsir ini dikenal sebagai daerah pergulatan pemikiran antara adat dan agama, antara kelompok tradisional (kaum tua) dan kelompok modernis (Kaum Muda). Maka tak heran jika Muhammad Natsir telah berkenalan dengan pemikiran Islam ketika memulai pendidikan Formalnya.

Perjalanan intelektual Muhammad Natsir

Dalam dunia pendidikan, Muhammad Natsir memulai sekolahnya Di HIS Adabiyah Padang, yakni sebuah sekolah yang didirikan oleh Dr. H. Abdullah Ahmad (1878-1933) yang merupakan sosok pembaru yang cukup banyak menyebarkan gagasan Muhammad Abduh (1849-1905).

Dalam hal ini, proses pembelajaran Muhammad Natsir tidak hanya berhenti pada bangku sekolah tersebut, melainkan di sore Hari beliau kembali belajar Al Qur’an yang sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh anak anak Minang.

Usai Tamat dari sekolah Adabiyah, beliau kembali melanjutkan pendidikannya di AMS bandung, disanalah beliau berkenalan dengan Ahmad Hassan (1887-1957), tentu perkenalan mereka tidak disia siakan begitiu saja, dengan sergap Muhammad Natsir sebisa mungkin untuk mendalami ide ide modern Muhammad Abduh lewat Ahmad Hassan.

Sedangkan tokoh lain yang cukup berpengaruh terhaldap pemikiran Muhammad Natsir terhadap pemikiran Islam yang berhubungan dengan modernitas adalah Haji Agus Salim (1884-1954).

Baca Juga:  Teungku Abu Bakar Aceh, Ulama Nusantara yang Produktif

Adapun beberapa kelompok yang sempat dimasuki oleh Muhammad Natsir ialah JIB (Jong Islamiten Bond) yang merupakan kelompok diskusi yang didirikan oleh Sjamsurijal.

Sedangkan kelompok yang lainnya ialah beliau terlibat dalam politik Praktis lewat PERSIS yang bertujuan untuk memperjuangkan berlakunya hukum hukum Islam yang didasarkan al Qur’an dan sunnah dalam Masyarakat.

Selain itu, beliau pun pernah aktif dibeberapa partai yang salah satunya ialah aktif di partai Masyumi pada tahun 1946, dan diangkat sebagai menteri penerangan pada kabinet Syahrir.

Pandangan Muhammad Natsir terkait konsep kenegaraan

Islam bagi Muhammad Natsir sendiri ialah bukan hanya sekedar agama pribadi yang mengurus soal soal hubungan manusia kepada Tuhan, melainkan Islam dalam cangkupan luasnya ialah agama yang mencangkup segalanya termasuk politik ketatanegaraan,

bahkan Islam tidak membedakan antara agama dan politik karena memang ketika mencoba untuk meneliti ayat ayat Al Qur’an ataupun Hadits, maka tidak satupun dari-Nya yang memerintahkan untuk menegakkan Negara.

Namun bagi Muhammad Natsir sendiri ialah Negara diperlukan baik itu ada perintah atau tidak dalam ajaran Islam,

Menurutnya lagi ialah, tidak perlu ada lagi perintah untuk mendirikan Negara yang penting adalah adanya patokan untuk mengatur Negara supaya negara mampu mensejahterahkan rakyatnya. Sedangkan Negara sendiri bagi Natsir adalah alat untuk membangun kesejahteraan untuk rakyat.

Baca Juga:  Ini Warisan Kiai Sahal dalam Fikih Sosial Yang Wajib Kita Pelajari

Bahkan lebih lanjutnya, beliau mengatakan

Suatu negeri yang pemerintahannya tidak mempedulikan  kepentingan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan dungu, tidak mencukupkan sarana yang perlu untuk kemajuan agar tidak tercecer dengan negara negara lain, dan yang kepala kepalanya menindas rakyat dengan memakai Islam sebagai kedok, atau memakai ibadah sebagai kedok, smeentara kepala kepala pemerintahan itu sendiri penuh dengan maksiat … maka pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintahan Islam”

Sehingga berangkat dari perkataannya kita bisa menyimpulkan bahwa, betapa inginnya beliau untuk mensejahterahkan Rakyat bahkan tidak lagi mempedulikan bentuk negara itu, yang terpenting ialah tentang bagaimana caranya agar rakyat bisa sejahtera dan tidak tidak hidup dalam kebodohan.

Dan disini Muhammad Natsir seperti penjelasan diatas beranggapan bahwa Negara lebih tepatnya adalah alat untuk memakmurkan Rakyat, sehingga jika pemerintahannya adalah orang Islam dan ternyata tidak mampu menjadikan kesejahteraan sebagai Tujuan Utama maka hal ini tidak dikategorikan sebagai pemerintahan Islam.  

Itulah mengapa penting membangun sebuah pemerintahan yang memang memberlakukan asas asas Islam, karena baginya ajaran Islam memiliki kesempurnaan bagi kehidupan bangsa dan negara serta menjamin keragaman hidup berbagai golongan, dalam artian tidak membeda-bedakan rakyat.

Selain itu Islam pun memiliki toleran yang besar dalam kelompok minoritas, untuknya tidak perlu takut dengan Islam karena mereka akan melindungi.

Adapun julukan pemimpin  seperti presiden, raja ataupun Khalifah, maka Muhammad Natsir tidak menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang cukup signifikan, yang terpenting baginya ialah kepala negara atau pemimpin itu haruslah Ulil Amri dan sanggup menjalankan peraturan Islam dalam ketatanegaraan.

Baca Juga:  Umar bin Khatthab, Sahabat Nabi Bergelar Al-Faruq yang Ditakuti Setan

Sedangkan dalam konsep pemilihannya terhadap seorang pemimpin, maka disini Muhammad Natsir sangat berhati hati, terlebih beliau menginginkan adanya sikap profesionalisme dalam memilih seorang pemimpin dengan dalil

“Apabila satu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kerusakannya” (HR. Imam Bukhari)

Dari sinilah memang perlu kita tekankan kepada calon pemimpin agar dia betul betul yakin bahwa dirinya memang pantas untuk menjadi seorang pemimpin, begitupun dengan rakyat yang diamanahkan dalam memilih seorang pemimpin, maka hendaknya memilih dia yang benar benar bisa dipercaya, bukan malah memilih karena nafsu ataupun adanya dorongan dari pihak tertentu.

Salah satu sumber diambil dari Jurnal pemikiran Islam (Al Fikr) Volume 19, nomor 1, Januari – Juni Tahun 2015

Itulah sekilas tentang Muhammad Natsir dan pemikirannya tentang ketatanegaraan. Semoga bermanfaat, Aamiin!

Rosmawati