Pecihitam.org – Di Padang Arafah Nabi Muhammad saw berdakwah dihadapan ribuan sahabat, Rubba muballighin aw’a min sami’, “Yang menyampaikan sering lebih dapat memelihara daripada orang yang mendengarkan saja.” Dalam hadis yang lain Nabi saw bersabda: Ballighu anni wa lau ayatan, “sampaikankan dariku (hadis) walau hanya satu saja.”
Sejak itu, sepanjang sejarah Islam, selalu ada sekelompok umat yang bekerja untuk menyampaikan pesan Ilahi, pesan Nabi saw. Ia menjadi umat yang disegani oleh bukan karena dia seorang Nabi, tetapi karena dialah yang memelihara eksistensi Islam sampai saat ini. Dia menjadi pewaris para Nabi, menjadi penghubung atas pesan-pesan para nabi dari Adam hingga Nabi akhir zaman.
Pernah datang ketika muballig sebagai ahli fiqih. Ia menghabiskan waktunya di Pesantren mempelajari fiqih sekian puluh tahun lamannya, sehingga isi dakwahnya selalu terkait persoalan hukum-hukum Islam, halal dan haram, sunnah, mubah, makruh. Ia menjadi narasumber benar salahnya sebuah ibadah bahkan masuk neraka surga berada ditangannya.
Ada juga muballigh hadis sebagai pemikir Islam. Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Nur Cholis Majid, Jalaluddin Rakhmat. Mereka adalah tokoh yang tidak suka terikat pada satu mazhab tetapi mendengunkan persatuan mazhab, menghargai perbedaan apapun mazhabnya.
Di waktu yang berbeda, muballigh tampil sebagai sosok sufi. Ia dikenal karena kealimannya dalam beribadah, tindakannya lebih nyata daripada ucapannya. Ia menasehati orang lewat ibadahnya, ia berbeda dari yang lain.
Ia terkadang dianggap memiliki karamah/kemuliaan tertentu, sehingga banyak orang yang mendekat karena berharap berkah dari sang sufi. Segala ucapannya diikuti tanpa rasa kritis, membantahnya bisa mendatangkan laknat.
Di Indonesia agama hadir sebagai sosok sufistik. Para sufi tidak banyak berbicara halal haram tetapi lebih para persoalan akhlak, rohani. Sehingga antara muballigh dengan umat seperti hubungan tokoh rohani dengan para pengikutnya.
Umat didik lewat pendidikan pesantren yang kental dengan nilai-nilai akhlak. Murid menaru rasa hormat pada gurunya dengan penuh kesopanan. Adab lebih penting dari ilmu. Demikian prinsip dalam pesantren.
Namun, belakangan muncullah kaum modernis yang melakukan kritik terhadap sistem pendidikan pesantren. Baginya sistem pesantren harus dirubah antara guru dan murid adalah sejarah, guru dapat dikritik oleh murid, semua memiliki hak yang sama. Perlahan-lahan aura sakral pesantren hilang dan akhirnya umat merasakan kekeringan spiritual.
Umat merindukan sosok sufi, namun yang dilahirkan zaman adalah muballigh dalam sosok baru: bukan sufi, bukan faqih, tetapi hanya melahirkan muballigh pop. Sehingga pesan dakwah seakan menjadi nomor dua, tetapi yang lebih penting adalah popularitasnya. Akhirnya yang menentukan kualitas dakwah bukan lagi keilmuan, bukan integritas moral, apalagi kualita rohani, tetapi ditentukan oleh selera pasar.
Saya pernah mempertanyakan sebuah pesantren mengundang muballigh yang tidak mumpuni keilmuannya. Dari pihak pesantren menjawab karena itu yang diinginkan oleh masyarakat. Bayangkan. Dakwah menjadi budaya pop, muballigh tampil sebagai selebriti. Hubungannya dengan jamaahnnya seperti artis dengan ‘fansnya’.
Selain itu, muballigh hari ini ada kecenderungan tampil sebagai “provokator” yang disebarkan bukan kasih sayang tetapi kebencian, isi dakwahnya bukan menentramkan hati tetapi caci-maki, dendam, benci terhadap agama lain maupun mazhab lain.
Pesan-pesannya tidak lagi mencerahkan akal tetapi menganjurkan untuk tidak menggunakan akal dalam beragama. Agamanya adalah doktrin, agamanya adalah kebencian. Misi Dakwahnya fitnatan lil alamin.
Berungtunglah kita di Indonesia, saat banyak muballigh yang tampil sebagai muballigh pop, selebriti, dan juga provokator, pada saat yang sama ada ulama, ustadz tampil dengan misi dakwah rahmatan lil alamin.
Seperti Gus Baha, Gus Ulil, Nadirsyah Husain, Gus Muwaffiq, Habib Seif Alwi, Habib Luthfi. Sehingga umat tercerahkan dan tidak lagi mudah terprovokasi oleh segelintir ustadz “provokator”.
Masyarakat mulai sadar bahwa ustadz yang suka provokasi jamaah perlu diwaspadai sebab isi ceramahnya biasanya kebencian terhadap pemerintah dan kebencian terhadap agama dan mazhab yang berbeda dengannya. Maka masyarakat setelah mendengar ceramah, pulang dengan membawa kebencian terhadap orang lain.
Bisa dibayangkan, kalau sekiranya tidak ada ulama-ulama NU yang menyebarkan hubbul wathan minal Iman pada masyarakat, maka tinggal menghitung waktu Indonesia akan seperti di Timur Tengah seperti Suriah, Libya.
Memberi panggung pada ustadz provokator sama halnya membiarkan Indonesia menemui titik kehancuran, intoleransi meningkat tidak lepas dari ustadz yang isi ceramahnya penuh dengan fitnah, dan kebencian. Hakikat seorang ustadz adalah menentramkan hati dan mencerahkan akal.
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq.
- Anak Yatim, Mereka yang Sering Terlupakan - 02/05/2020
- Inilah Beberapa Pahala Memberi Buka Puasa di Bulan Ramadhan - 30/04/2020
- Khotbah Nabi Muhammad Saw Saat Memasuki Bulan Ramadhan - 27/04/2020