Najis dalam Islam; Macam dan Cara Menyucikannya

Najis dalam Islam; Macam dan Cara Menyucikannya

PeciHitam.org – Kebersihan dan kesucian merupakan hal yang teramat penting dalam kehidupan. Agama Islam juga menekankannya dalam tiap aspek ritual peribadatannya. Misalnya dalam shalat, seorang muslim diwajibkan agar suci dari hadats kecil maupun hadats besar.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Suci dalam artian bersih dari najis. Baik itu badan, pakaian, maupun tempat melaksanakannya. Hadats kecil bisa diartikan tidak dalam keadaan berwudhu dan hadats besar dapat diartikan belum mandi dari junub.

Pentingnya kesucian dalam Islam, tercermin dalam hadis Nabi berikut:

اَلاِسْلاَمُ نَظِيْفٌ فَتَنَظَّفُوْافَاِنَّهُ لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ اِلاَّ نَظِيْفٌ

“Agama Islam adalah agama yang bersih dan suci. Maka dari itu kamu harus menjaga kebersihan. Maka sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali hanya orang-orang yang suci.” (HR. Al-Baihaqi)

الطُّهُورُشَطْرُالْإِيمَانِ

“Kesucian adalah sebagian dari iman.”  (HR. Muslim)

Kedua hadis di atas, sedikitnya telah memperlihatkan pentingnya kebersihan dan kesucian dalam Islam. Oleh karena itu, permasalahan mengenai najis dan cara mensucikannya pun dapat dikategorikan sebagai hal dasar yang harus dipahami oleh setiap muslim.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada kesempatan kali ini, kami akan membahas mengenai najis dan cara mensucikannya.

Pengertian Najis

Sebelum membahas lebih jauh, kami jelaskan pengertiannya terlebih dahulu. Jika dilihat secara Bahasa, najis diartikan sebagai segala sesuatu yang dianggap kotor meskipun suci. Berdasarkan arti harfiah tersebut, dapat dipahami bahwa apa pun yang dianggap kotor dapat dikategorikan sebagai barang naajis. Misalnya air ludah, ingus, air sperma (mani) dan lain sebagainya.

Namun jika merujuk pada istilah ilmu fiqih yang disarikan dari kitab Kasyifatus Saja karya Muhammad Nawawi Al-Jawi, naajis diartikan sebagai segala sesuatu yang dianggap kotor dan menjadikan tidak sahnya ibadah shalat. Pengertian tersebut lebih spesifik merujuk pada keabsahan shalat. Sebagaimana firman Allah SWT berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

Baca Juga:  Hukum Menikahi Wanita Hamil Menurut Imam Madzhab

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)

Sabda Rasulullah saw:

لَايَقْبَلُ اللهُ الصَّلَاةَ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ

Artinya: “Allah tidak akan menerima shalat yang tanpa disertai bersuci”(HR. Muslim)

Macam-Macamnya

Dalam ilmu fiqih, naajis digolongkan menjadi 3 kategori, antara lain mukhaffafah, mutawassithah, dan mughalladhah. Para ulama fiqh atau yang biasa disebut sebagai fuqaha sepakat mengenai hal terebut.

Terbukti dengan banyaknya kitab fiqih yang beredar luas di masyarakat salah satunya yaitu kitab Safinatu an-Naja’ karya Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menjelaskan demikian. Berikut redaksinya:

فصل النجاسات ثلاث: مغلظة ومخففة ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين والمتوسطة سائر النجاسات

Artinya: “Fashal, najis ada tiga macam: mughalladhah, mukhaffafah, dan mutawassithah. mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya.  mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan mutawassithah adalah najis-najis lainnya.”

Ketiga macam kategori tersebut, cara menyucikannya pun berbeda. Selain itu, kita juga harus mengetahui terlebih dahulu mengenai istilah naajis ‘ainiyah dan naajis hukmiyah. Hal ini juga penting dalam ilmu fiqih, sebab akan berkaitan dengan tata cara mensucikannya. Adapun pengertian keduanya sebagai berikut:

Najis ‘ainiyah adalah naajis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis hukmiyah tidak ada lagi adalah naajis yang tidak memiliki warna, bau, dan rasa.

Dengan kata lain naajis ‘ainiyah adalah yang masih ada wujudnya, sedangkan naajis hukmiyah adalah yang sudah tidak ada wujudnya namun secara hukum masih dihukumi naajis.

Baca Juga:  Hukum Mengqadha Shalat Fardhu yang Pernah Ditinggalkan

Adapun tata cara menyucikan naajis sebagai berikut:

Najis mughalladhah masuk kedalam  kategori berat dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan, salah satunya dicampur dengan debu. Mengenai membasuh bekas najis mughalladhah dengan debu memang tidak ada ketentuan khusus.

Diperkenankan untuk melakukannya pertama, terakhir ataupun di tengah-tengahnya. Namun terlebih dulu sebelum dibasuh dengan air harus dihilangkan ‘ainiyahnya

Dengan hilangnya wujud tersebut maka secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Namun secara hukum (hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut karena belum dibasuh dengan air.

Kemudian untuk menghilangkannya dan menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali basuhan dimana salah satunya dicampur dengan debu. Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara:

Pertama, mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebih utama dibanding cara lainnya.

Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.

Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.

Najis mukhaffafah masuk kedalam kategori ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang belum makan dan minum selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara memercikkan air ke tempat yang terkena najis.

Cara memercikkan air ini harus dengan percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat yang terkena najis. Air yang digunakan untuk memercikkan juga harus lebih banyak dari jumlah (volume) air kencing yang mengenai tempat tersebut.

Setelah itu baru dapat diperas atau dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang dipakai untuk menyucikan harus mengalir.

Baca Juga:  Terkena Najis Apakah Batal Wudhu? Ini Penjelasannya

Najis mutawassithah masuk kedalam kategori sedang, hal pertama yang harus dilakukan untuk mensucikannya ialah dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis ‘ainiyah-nya.

Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasa najis tersebut, kemudian menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan.

Misalnya, ketika seorang anak buang air besar di dalam rumah, maka langkah pertama yang harus dilakukan untuk menyucikannya adalah dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada.

Dengan kata lain, najis ‘ainiyah-nya sudah tidak ada, baik itu rasa, wujud maupun warnanya. Sehingga yang tersisa adalah najis hukmiyah-nya.

Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada (dengan tidak adanya warna, bau dan rasa dan bekas kotoran tersebut terlihat kering), kemudian siramkan air ke bekas permukaan yang terkena najis tersebut.

Dalam hal ini, menyiramkan air bisa juga diganti dengan mengelap atau mengepelnya menggunakan kain bersih dan basah dengan air yang cukup.

Demikian beberapa hal penting terkait najis dan cara menyucikannya. Mengetahui dan memahami berbagai macam najis dan tata cara menyucikannya merupakan perkara mendasar yang harus diketahui oleh setiap muslim. Sebab hal ini merupakan salah satu syarat bagi keabsahan shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkannya. Ash-Shawabu Minallah.

Mohammad Mufid Muwaffaq