Jangan Abaikan Nalar Kontekstual Jika Tak Ingin Tersesat

Jangan Abaikan Nalar Kontekstual Jika Tak Ingin Tersesat

PeciHitam.org Alur pemikiran Islam sangat adaptif dengan perkembangan zaman, dan Islam tidak anti dengan perubahan zaman. Hanya beberapa golongan Islam yang tidak mau beranjak dari romantisme masa lalu dengan pandangan terhadap teks yang kaku dan tekstual.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pada hakikatnya teks mampu didialogkan dimaknai ulang sesuai dengan perkembangan zaman, bukan mati dan menjadi hantu peradaban. Namun tetap saja golongan salafi wahabi lebih condong dalam pemaknaan tekstual dan meminggirkan makna kontekstual dalam Al-Qur’an dan hadits.

Konsekuensi makna tekstual tentunya akan sangat sulit menyesuaikan dengan perkembangan peradaban manusia. Namun salafi wahabi memperalat teks dengan makna tekstual guna memberikan penegasian, tuduhan kepada golongan diseberang mereka. Berikut simpang jalan makna tekstual dan kontekstual!

Ilmu Ushul, Metodologi Ilmu Islam

Ilmu Ushul Fikih atau Ilmu dasar Logika dalam Fikih pertama kali dituliskan dasar-dasarnya oleh Imam Syafii, ketika menulis sebuah surat kepada Gubernur Asia Tengah Abdurrahman Al-Mahdi. Surat yang dikirimkan oleh Imam Syafii tersebut belakangan disebut dengan kitab Ar-Risalah sesuai nama surat dalam bahasa Arab.

Arahan dan nasehat Imam Syafii kepada Gubernut Asia Tengah tersebut antara lain dalam menentukan sebuah Hukum sekiranya harus merujuk kepada 3 sumber. Yaitu Al-Qur’an, Hadits/ Sunnah Nabi SAW dan Menggunakan Akal Ulama. Akal ulama bisa terbagi menjadi 2 bentuk yaitu, Konsensus Ulama (Ijma’ Ulama) dan akal temporer/ analogi (Qiyas).

Baca Juga:  Imam Ibnu Taimiyah Membolehkan Maulid Nabi SAW, Ini Buktinya!

Penulisan kitab Ar-Risalah oleh Imam Syafii menjadi awal berkembangnya pola pikir dan metodologi (Ilmu Ushul Fiqih) dalam memahami teks al-Qur’an Hadits dengan seimbang. Penggunaan akal Ulama menurut Imam Syafii penting karena mereka mampu menerangkan apa isi kandungan Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT berfirman;

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٤٣

Artinya; “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Qs. An-Nahl: 43)

Perlunya bertanya kepada Ulama adalah mengetahui maksud kandungan ayat atau sabda Nabi SAW sesuai dengan kondisi zamannya. Namun salafi wahabi menolak menggunakan akal karena dinilai sebagai kepanjangan nafsu. Oleh karenanya tidak heran salafi wahabi sangat tekstual cenderung kurang cerdas dalam memahami dalil.

Baca Juga:  Benarkah Semua Bid'ah Itu Sesat? Ini Penjelasannya

Kesalahan Menggunakan Dalil

Keniscayaan menggunakan akal dalam memahami dalil Islam tentunya berasal dari teks-teks hadits yang secara kontekstual berbeda pada masa nabi dan sekarang. Bahwa Nabi SAW mensabdakan dalam riwayat Imam Muslim,

لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللَّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوصَهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ

Artinya; “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu.” (HR. Muslim)

Redaksi hadits di atas ditemukan kata ‘يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ’ jika diterjemahkan akan berbungi menjadi bershadaqah dengan sebutir Kurma. Bahwa teks berbunyi shadaqah dengan Kurma, bukan dengan Buah Jeruk, Nasi, Roti, Kelapa dan lain sebagainya. Namun dalam kajian Ilmu Fiqih bisa diganti dengan kata ‘يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِقُوْتٍ’ bershadaqah dengan makanan (yang menguatkan).

Kontekstualisme pemaknaan dalil menjadi penting karena tidak akan seimbang ketika hanya diperbolehkan shadaqah hanya dengan Kurma. Sedangkan kurma tidak tumbuh disemua tempat tinggal muslim, dan apakah ketika akan shadaqah harus dengan kurma? Tentunya tidak. Dan apakah shadaqah harus dengan sebiji kurma sebagaimana dalam hadits di atas? Tentunya tidak.

Baca Juga:  Begini Cara Islam Mengistimewakan Anak Yatim Seperti yang Dicontohkan Nabi dan Sunan Drajat

Maka pemaknaan kontekstual sangat perlu dalam Islam karena menjadi jalan memahami Islam dengan sempurna. Tidak seperti salafi wahabi yang terjebak dalam makna tekstual sering sering gagal paham dan cacat nalar.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan