Surah Al-Kahfi Ayat 60-65; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Kahfi aya 60-65

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Kahfi Ayat 60-65 ini, Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya sampai ke pertemuan dua laut, mereka berhenti, tetapi tidak tahu bahwa tempat itulah yang harus dituju. dikisahkan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya menelusuri kembali jalan yang dilalui tadi, mereka sampai pada batu yang pernah dijadikan tempat beristirahat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di tempat itu, mereka bertemu dengan seseorang yang berselimut kain putih bersih. Orang ini disebut Khidir, sedang nama aslinya adalah Balya bin Mulkan. Ia digelari dengan nama Khidir karena ia duduk di suatu tempat yang putih, sedangkan di belakangnya terdapat tumbuhan menghijau.

Allah swt juga menyebutkan bahwa Khidir itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah. Ilmu itu tidak diberikan kepada Nabi Musa, sebagaimana juga Allah telah menganugerahkan ilmu kepada Nabi Musa yang tidak diberikan kepada Khidir.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 60-65

Surah Al-Kahfi Ayat 60
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

Terjemahan: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.

Tafsir Jalalain: وَإِذْ (Dan) ingatlah قَالَ مُوسَى (ketika Musa berkata) Nabi Musa adalah anak lelaki Imran لِفَتَاهُ (kepada muridnya) yang bernama Yusya bin Nun; ia selalu mengikutinya dan menjadi pelayannya serta mengambil ilmu daripadanya, لَا أَبْرَحُ (“Aku tidak akan berhenti) artinya, aku akan terus berjalan

حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ (sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan) tempat bertemunya Laut Romawi dan laut Persia dari sebelah Timurnya; yakni tempat bertemunya kedua lautan tersebut أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun)” selama bertahun-tahun untuk mencapainya sekalipun jauh.

Tafsir Ibnu Katsir: Sebab perkataan Musa as. kepada pemuda yang bersamanya, yakni Yusya’ bin Nun tersebut adalah bahwa ia memberitahukan kepadanya bahwa (ada) seorang hamba Allah di tempat pertemuan dua Laut, dia mempunyai ilmu pengetahuan yang tidak dikuasai oleh Musa.

Maka Musa pun tertarik untuk pergi ke tempat itu. Dan ia berkata kepada pemuda tersebut: لَا أَبْرَحُ (“Aku tidak akan berhenti berjalan,”) maksudnya aku akan terus berjalan, حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ (“Sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan.”) Maksudnya, tempat itulah yang merupakan tempat pertemuan dua buah lautan.

Qatadah dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Kedua laut itu adalah laut Persia yang dekat dengan Masyriq dan Laut Romawi yang berdekatan dengan Maghrib.” Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mengatakan: “Pertemuan dua laut itu terletak di Thanjah, yakni di ujung negeri Maroko. Wallahu a’lam.

Firman-Nya: أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا ( “Atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.”) Maksudnya, meskipun aku harus berjalan bertahun-tahun. Ibnu Jarir menceritakan, sebagian ahli bahasa Arab menyebutkan, menurut bahasa Qais, kata huqub berarti satu tahun. Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ia pernah berkata: “Huqub itu berarti delapan puluh tahun.”

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini, Allah menceritakan betapa gigihnya tekad Nabi Musa a.s. untuk sampai ke tempat bertemunya dua laut. Berapa tahun dan sampai kapan pun perjalanan itu harus ditempuh, tidak menjadi soal baginya, asal tempat itu ditemukan dan yang dicari didapatkan.

Penyebab Nabi Musa a.s. begitu gigih untuk mencari tempat itu ialah beliau mendapat teguran dan perintah dari Allah, seperti yang diriwayatkan dalam hadis yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

Bahwasanya Musa a.s. (pada suatu hari) berkhutbah di hadapan Bani Israil. Kemudian ada orang bertanya kepada beliau, “Siapakah manusia yang paling alim.” Beliau menjawab, “Aku.”

Maka Allah menegurnya karena dia tidak mengembalikan ilmu itu kepada Allah Taala. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya, “Aku mempunyai seorang hamba di tempat pertemuan dua laut yang lebih alim daripadamu.” (Riwayat al-Bukhari dari Ubay bin Ka’ab)

Dalam wahyu tersebut, Allah menyuruh Nabi Musa agar menemui orang itu dengan membawa seekor ikan dalam kampil (keranjang), dan dimana saja ikan itu lepas dan hilang di situlah orang itu ditemukan. Lalu Musa a.s. pergi menemui orang yang disebutkan itu, dan dalam hadis tidak diterangkan di mana tempatnya.

Demikianlah kebulatan tekad yang dimiliki oleh seorang yang berhati dekat dengan Tuhannya. Dengan tangkas dan giat, dia melaksanakan seruan-Nya.

Surah Al-Kahfi ayat 61
فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا

Terjemahan: Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

Tafsir Jalalain: فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا (Maka tatkala keduanya sampai ke pertemuan dua buah laut itu) yakni tempat bertemunya kedua laut itu نَسِيَا حُوتَهُمَا (mereka berdua lupa akan ikannya) Yusya’ lupa membawanya ketika berangkat, Nabi Musa pun lupa mengingatkannya فَاتَّخَذَ (maka ia mengambil) yakni ikan itu melompat untuk mengambil سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ (jalannya ke laut itu) Allahlah yang menjadikan jalan itu, yaitu dengan menjadikan baginya

سَرَبًا (dalam keadaan berlubang) seperti lubang bekasnya, yaitu lubang yang sangat panjang dan tak berujung. Demikian itu karena Allah swt. menahan arus air demi untuk ikan itu, lalu masuklah ikan itu ke dalamnya dengan meninggalkan bekas seperti lubang dan tidak terhapus karena bekasnya membeku.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya: فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا (“Maka ketika mereka sampai kepertemuan dua buah Laut itu, mereka lalai akan ikannya.”) Hal itu karena Musa telah diperintahkan untuk membawa ikan yang sudah diasini. Dan dikatakan kepadanya: “Kapan kamu kehilangan ikan itu, maka di sanalah orang yang berilmu itu berada.”

Baca Juga:  Surah Yusuf Ayat 80-82; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

Kemudian keduanya berjalan hingga akhirnya keduanya sampai di tempat pertemuan dua laut. Dan di sana terdapat mata air yang bernama mata air kehidupan. Lalu keduanya tidur di sana, kemudian ikannya itu terkena percikan air hingga akhirnya ikan itu tergerak, yang ketika itu ikan tersebut berada dalam tumpukan bersama Yusya’.

Kemudian ikan tersebut loncat dan masuk ke laut. Maka Yusya’ terbangun ketika ikan itu telah loncat ke laut. Lalu ikan itu berjalan di dalam air. Air menjadi seperti lingkaran yang tidak bersatu setelah adanya ikan itu.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (“Lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut tersebut.”) Yakni, seperti fatamorgana di bumi. Ibnu Juraij menceritakan, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Bekas jejaknya seolah-olah menjadi batu.”

Tafsir kemenag: Dalam ayat ini, Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya sampai ke pertemuan dua laut, mereka berhenti, tetapi tidak tahu bahwa tempat itulah yang harus dituju. Sebab, Allah tidak memberi tahu dengan pasti tempat itu. Hanya saja Allah memberi petunjuk ketika ditanya oleh Nabi Musa sebelum berangkat, sebagaimana sabda Rasul saw ketika menceritakan pertanyaan Nabi Musa itu :

Ya Tuhanku, bagaimana saya dapat menemukannya? Allah berfirman, “Bawalah seekor ikan dan masukkan pada sebuah kampil, manakala ikan itu hilang, di situlah tempatnya.” (Riwayat al-Bukhari dari Ubay bin Ka’ab)

Di atas sebuah batu besar di tempat itu, Nabi Musa dan muridnya merasa mengantuk dan lelah. Keduanya pun tertidur dan lupa pada ikannya. Ketika itu, ikan yang ada dalam kampil tersebut hidup kembali dan menggelepar-gelepar, lalu keluar dan meluncur menuju laut. Padahal kampil waktu itu ada di tangan Yusya. Kejadian ini, yaitu ikan mati menjadi hidup kembali, merupakan mukjizat bagi Nabi Musa a.s..

Setelah bangun tidur, mereka pun melanjutkan perjalanan. Yusya pun lupa tidak menceritakan kepada Nabi Musa kejadian yang aneh tentang ikan yang sudah mati hidup kembali.

Surah Al-Kahfi ayat 62
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا

Terjemahan: Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”.

Tafsir Jalalain: فَلَمَّا جَاوَزَا (Maka tatkala mereka berdua melewati) tempat itu dengan berjalan kaki sampai dengan waktu makan siang, yaitu pada hari kedua Musa قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا (berkatalah kepada muridnya, “Bawalah ke mari makanan kita!) yaitu makanan yang biasa dimakan pada siang hari, yakni makan siang

لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini)” payah, yang hal ini baru mereka rasakan setelah berjalan jauh dari tempat itu.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya: فَلَمَّا جَاوَزَا (“Maka ketika mereka berjalan lebih jauh,”) yakni, tempat di mana keduanya lupa akan ikan tersebut. Lupa itu dinisbatkan kepada keduanya meskipun yang lupa adalah Yusya’. Hal itu seperti firman Allah Ta’ala: “Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” (QS. Ar-Rahmaan: 22).

Menurut salah satu dari dua pendapat, sebenarnya ia keluar dari air asin. Ketika mereka berdua berangkat meninggalkan tempat di mana keduanya melupakan ikan itu, maka Musa: قَالَ (“Berkata”) kepada pemuda itu:

آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا (“Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya karena perjalanan kita ini.”) Yakni, perjalanan yang telah mereka lampaui berdua; نَصَبًا (“Kita telah merasa letih.”) Yakni, lelah.

Tafsir kemenag: Dalam ayat ini, Allah menceritakan bahwa keduanya terus melanjut-kan perjalanannya siang dan malam. Nabi Musa pun merasa lapar dan berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan ini.”

Perasaan lapar dan lelah setelah melampaui tempat pertemuan dua laut itu ternyata mengandung hikmah, yaitu mengembalikan ingatan Nabi Musa a.s. kepada ikan yang mereka bawa.

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan betapa luhurnya budi pekerti Musa a.s. dalam bersikap kepada muridnya. Apa yang dibawa oleh muridnya sebagai bekal itu merupakan milik bersama, bukan hanya milik sendiri. Betapa halus perasaannya ketika menyadari bahwa letih dan lapar itu tidak hanya dirasakan dirinya, tetapi juga dirasakan orang lain.

Surah Al-Kahfi ayat 63
قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا

Terjemahan: Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali”.

Tafsir Jalalain: قَالَ أَرَأَيْتَ (Muridnya menjawab, “Tahukah kamu) ingatkah kamu إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ (tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi) yakni di tempat tersebut فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ (maka sesungguhnya aku lupa ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku kecuali setan) kemudian Dhamir Ha pada ayat ini dijelaskan oleh ayat berikutnya, yaitu

أَنْ أَذْكُرَهُ (untuk mengingatnya) lafal ayat ini menjadi Badal Isytimal, artinya setan telah melupakan aku untuk mengingatnya وَاتَّخَذَ (dan ia mengambil) yakni ikan itu سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (akan jalannya di laut dengan cara yang aneh sekali.)” Lafal ‘Ajaban menjadi Maf’ul Tsani, artinya, Nabi Musa dan muridnya merasa heran terhadap perihal ikan itu sebagaimana yang telah disebutkan di atas tadi.

Baca Juga:  Surah Al-Kahfi Ayat 82; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Ibnu Katsir: Pemuda itu menjawab: أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ (“Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku telah lupa [menceritakan tentang] ikan itu dan tidak ada yang menjadikan aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan.”)

Qatadah berkata: “Ibnu Mas’ud membaca: an adzkurakaHu (“mengingatkanmu tentangnya”).” Oleh karena itu, Yusya’ berkata: وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ (“Dan ikan itu mengambil jalannya,”) yaitu jalannya di air; فِي الْبَحْرِ عَجَبًا ( ke laut dengan cara yang aneh sekali”.)

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini, Yusya menjawab secara jujur bahwa ketika mereka beristirahat dan berlindung di batu tempat bertemunya dua laut, ikan itu telah hidup kembali dan menggelepar-gelepar, lalu masuk ke laut dengan cara yang sangat mengherankan. Namun, dia lupa dan tidak menceritakan kepada Nabi Musa a.s. Kekhilafan ini bukan karena ia tidak bertanggung jawab, tetapi setan yang menyebabkannya.

Surah Al-Kahfi ayat 64
قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا

Terjemahan: Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

Tafsir Jalalain: قَالَ (Berkatalah) Musa, ذَلِكَ (“Itulah) tempat kita kehilangan ikan itu مَا (tempat) sesuatu كُنَّا نَبْغِ (yang kita cari)” kita cari-cari, karena sesungguhnya hal itu merupakan pertanda bagi kita, bahwa kita akan dapat bertemu dengan orang yang sedang kita cari.

فَارْتَدَّا (Lalu keduanya kembali) kembali lagi عَلَى آثَارِهِمَ (mengikuti jejak mereka semula) menitinya قَصَصًا (secara benar-benar) lalu keduanya sampai di batu besar tempat mereka beristirahat.

Tafsr Ibnu Katsir: قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ (“Ke laut itu dengan Cara yang aneh sekali. Musa berkata: ‘Itulah tempat yang kita cari.’”) Maksudnya, inilah tempat yang memang kita cari.

فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا (“Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.”) Maksudnya, mereka menceritakan bekas perjalanan mereka dan menelusuri jalan itu kembali.

Tafsir Kemenag: Mendengar jawaban seperti tersebut di atas, Nabi Musa menyambut-nya dengan gembira seraya berkata, “Itulah tempat yang kita cari. Di tempat itu, kita akan bertemu dengan orang yang kita cari, yaitu Nabi Khidir.” Mereka pun kembali mengikuti jejak semula, untuk mendapatkan batu yang mereka jadikan tempat berlindung.

Menurut al-Biqa’i, firman Allah dalam ayat ini menunjukkan bahwa mereka itu berjalan di padang pasir, sehingga tidak ada tanda-tanda, akan tetapi ada jejak mereka.

Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah tentang pertemuan dua laut itu ialah pertemuan air tawar (sungai Nil) dengan air asin (Laut Tengah) yaitu kota di Dimyath atau Rasyid di negeri Mesir.

Surah Al-Kahfi Ayat 65
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا

Terjemahan: Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Tafsir Jalalain: فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا (Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami) yaitu Khidhir آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا (yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami) yakni kenabian, menurut suatu pendapat, dan menurut pendapat yang lain kewalian, pendapat yang kedua inilah yang banyak dianut oleh para ulama

وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا (dan yang telah Kami ajarkan kepadanya dari sisi Kami) dari Kami secara langsung عِلْمًا (ilmu). Lafal ‘عِلْمًا menjadi Maf’ul Tsani, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah-masalah kegaiban. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa pada suatu ketika Nabi Musa berdiri berkhutbah di hadapan kaum Bani Israel. Lalu ada pertanyaan,

“Siapakah orang yang paling alim?” Maka Nabi Musa menjawab, “Aku”. Lalu Allah menegur Nabi Musa karena ia belum pernah belajar (ilmu gaib), maka Allah menurunkan wahyu kepadanya, “Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di pertemuan dua laut, dia lebih alim daripadamu”. Musa berkata,

“Wahai Rabbku! Bagaimanakah caranya supaya aku dapat bertemu dengan dia”. Allah berfirman, “Pergilah kamu dengan membawa seekor ikan besar, kemudian ikan itu kamu letakkan pada keranjang. Maka manakala kamu merasa kehilangan ikan itu, berarti dia ada di tempat tersebut”.

Lalu Nabi Musa mengambil ikan itu dan ditaruhnya pada sebuah keranjang, selanjutnya ia berangkat disertai dengan muridnya yang bernama Yusya bin Nun, hingga keduanya sampai pada sebuah batu yang besar. Di tempat itu keduanya berhenti untuk istirahat seraya membaringkan tubuh mereka, akhirnya mereka berdua tertidur.

Kemudian ikan yang ada di keranjang berontak dan melompat keluar, lalu jatuh ke laut. Lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (Q.S. Al Kahfi, 61) Allah menahan arus air demi untuk jalannya ikan itu, sehingga pada air itu tampak seperti terowongan. Ketika keduanya terbangun dari tidurnya, murid Nabi Musa lupa memberitakan tentang ikan kepada Nabi Musa.

Lalu keduanya berangkat melakukan perjalanan lagi selama sehari semalam. Pada keesokan harinya Nabi Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah ke mari makanan siang kita”, sampai dengan perkataannya, “lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali”. Bekas ikan itu tampak bagaikan terowongan dan Musa beserta muridnya merasa aneh sekali dengan kejadian itu.

Baca Juga:  Surah As-Saffat Ayat 99-113; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Ibnu Katsir: فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا (“Hingga mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”) Inilah Khidhir as, sebagaimana yang disebutkan beberapa hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah.

Imam al-Bukhari meriwayatkan, al-Humaidi memberitahu kami, dari Sufyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari Sa’id bin Jubair, ia bercerita, aku pernah mengatakan kepada Ibnu Abbas, bahwa Nauf al-Bikali mengatakan bahwa Musa sahabat Khidhir tersebut bukanlah Musa dari sahabat Bani Israil.

Maka IbnuAbbas pun berkata: “Musuh Allah itu telah berdusta.” Ubay bin Ka’ab pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Musa pernah berdiri memberikan ceramah kepada Bani Israil, lalu ia ditanya: ‘Siapakah orang yang paling banyak ilmunya?’ Ia menjawab: Aku.’ Maka Allah mencelanya, karena ia belum diberi ilmu oleh-Nya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang berada di tempat pertemuan dua laut, yang i lebih berilmu daripada dirimu.’ Musa berkata:

‘Ya Rabbku, bagaimana aku bisa menemuinya?’ Dia berfirman: ‘Pergilah dengan membawa seekor ikan, dan letakkanlah ia di tempat penimbunan. Di mana ikan itu hilang, maka di situlah Khidhir itu berada.’ Maka Musa mengambil seekor ikan dan meletakkannya di tempat penimbunan. Lalu pergi bersama seorang pemuda bernama Yusya’ bin Nun.

Ketika keduanya mendatangi batu karang, keduanya meletakkan kepala mereka dan tidur. Ikan itu bergelepar di tempat penimbunan itu, hingga keluar darinya dan jatuh ke laut. Kemudian ikan itu mengambil jalannya ke laut. Allah menahan jalannya air dari ikan itu, maka jadilah air itu seperti lingkaran.

Kemudian sahabatnya itu (Yusya’) terbangun dan lupa untuk memberitahukan kepada Musa tentang ikan itu. Kemudian mereka terus berjalan menempuh perjalanan siang dan malam. Pada keesokan harinya, Musa berkata kepada pemuda itu, ‘Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.’”

Rasulullah menyebutkan bahwa Musa tidak merasa kelelahan sehingga ia berhasil mencapai tempat yang ditunjukkan oleh Allah Ta’ala. Maka, sahabatnya itu berkata kepadanya:

“Tahukah engkau, ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku telah lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang menjadikanku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” Beliau berkata:

“Ikan itu memperoleh lobang keluar, tetapi bagi Musa dan sahabatnya, yang demikian itu merupakan kejadian yang luar biasa.” Maka Musa berkata kepadanya: ‘Itulah tempat yang kita cari.’ Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.”

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini, dikisahkan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya menelusuri kembali jalan yang dilalui tadi, mereka sampai pada batu yang pernah dijadikan tempat beristirahat. Di tempat ini, mereka bertemu dengan seseorang yang berselimut kain putih bersih.

Orang ini disebut Khidir, sedang nama aslinya adalah Balya bin Mulkan. Ia digelari dengan nama Khidir karena ia duduk di suatu tempat yang putih, sedangkan di belakangnya terdapat tumbuhan menghijau. Keterangan ini didasarkan pada hadis berikut:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda, “Dinamakan Khidir karena ia duduk di atas kulit binatang yang putih. Ketika tempat itu bergerak, di belakangnya tampak tumbuhan yang hijau.” (Riwayat al-Bukhari)

Dalam ayat ini, Allah swt juga menyebutkan bahwa Khidir itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah. Ilmu itu tidak diberikan kepada Nabi Musa, sebagaimana juga Allah telah menganugerahkan ilmu kepada Nabi Musa yang tidak diberikan kepada Khidir.

Menurut Hujjatul Islam al-Gazali, bahwa pada garis besarnya, ada dua cara bagi seseorang untuk mendapatkan ilmu: Proses pengajaran dari manusia, disebut at-ta’lim al-insani, yang dibagi lagi menjadi dua, yaitu:

a. Belajar kepada orang lain (di luar dirinya). b. Belajar sendiri dengan menggunakan kemampuan akal pikiran.

2. Pengajaran yang langsung diberikan Allah kepada seseorang yang disebut at-ta’lim ar-rabbani, yang dibagi menjadi dua juga, yaitu : a. Diberikan dengan cara wahyu, yang ilmunya disebut: ‘ilm al-anbiya’ (ilmu para nabi) dan ini khusus untuk para nabi.

b. Diberikan dengan cara ilham yang ilmunya disebut ‘ilm ladunni (ilmu dari sisi Tuhan). ‘Ilm ladunni ini diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara.

Kejadiannya dapat diumpamakan seperti sinar dari suatu lampu gaib yang langsung mengenai hati yang suci bersih, kosong lagi lembut. Ilham ini merupakan perhiasan yang diberikan Allah kepada para kekasih-Nya (para wali).

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Kahfi Ayat 60-65 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Kemenag. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S