Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Kisah Nabi Yusuf Perspektif Quraish Shihab

Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Kisah Nabi Yusuf Perspektif Quraish Shihab

Pecihitam.org- Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah nabi yusuf AS yang pertama adalah, Sikap terbuka diantara Yusuf dan ayahnya Ya’qub. Sikap terbuka dan komunikasi yang baik terjalin antara anak dan ayah, terlihat ketika Yusuf mengadukan mimpinya kepada ayahnya yaitu ketika Yusuf putra Ya’qub berkata kepada ayahnya:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Wahai ayahku, sesungguhnya aku telah bermimpi melihat sebelas bintang yang sangat jelas cahayanya serta matahari dan bulan, telah kulihat semuanya bersama-sama mengarah kepadaku, tidak ada selain aku dan mereka semua benda langit itu dalam keadaan sujud kepadaku seorang.”

Quraish Shihab menjelaskan nilai-nilai pendidikan dalam kisah nabi yusuf tersebut, bahwa apa yang disampaikan itu merupakan sesuatu yang sangat besar, apalagi bagi seorang anak kecil yang hatinya masih diliputi oleh kesucian dan kasih sayang ayahnya. Sedangkan kasih sayang ayahnya tersebut disambut pula dengan penghormatan kepada beliau.

Tapi sangat disayangkan sebagai orang tua, Ya’qub kurang adil terhadap putra-putranya yang seharusnya lebih membuka diri, sehingga anak dapat mencurahkan perasaan-perasaannya dengan memperhatikan apakah ada tandatanda adanya perasaan yang tidak enak pada diri mereka.

Baca Juga:  Ketika Cacing Saja Bershalawat, Masih Patutkah Kita Sombong?

Di sini peran sikap adil dan bijaksana mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap mental dan kepribadian sang anak. Kalau saja Ya’qub bersikap adil dan bijaksana pada saudara-saudara Yusuf, maka mereka akan merasa diperhatikan dan merasa tidak dibeda-bedakan sekalipun dari seorang isteri yang bukan pilihannya.

Peran ayah seharusnya bisa menjaga agar perasaan (sayangnya pada Yusuf) tidak keluar sampai kelihatan atau disalahartikan oleh saudarasaudaranya. Jadi salah satu tugas orang tua yang paling kritis adalah membantu anak-anak tumbuh dengan keterampilan sosial dan kesehatan emosional.

Aturan keluarga, waktu untuk diskusi dan pemecahan masalah keluarga dan niat baik serta semangat kerja sama akan menempatkan anak-anak pada jalur konstruktif positif. Sehingga saudara-saudara Yusuf tidak akan timbul niatan jahat terhadap Yusuf.

Dalam konteks sekarang ini, sikap terbuka yang diperlihatkan oleh Yusuf sebagai seorang anak terhadap Ya’qub sebagai seorang ayah kiranya sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan berkeluarga. Dimana peran ayah sebagai orang tua sekaligus sebagai pendidik harus bisa memahami keadaan anak-anaknya, terbuka, adil dan bijaksana.

Baca Juga:  Kisah Imam Syafii Pernah Sinis dengan Gurunya yang Kaya Raya

Perhatian dan curahan kasih sayang seorang ayah harus bisa dirasakan oleh semua anak-anaknya. Jangan sampai ada perasaan dari sebagian anak yang merasa dibedakan.

Yang kedua adalah, Kebijaksanaan seorang kepala keluarga. Peristiwa ini bermula ketika Zulaikha seorang isteri pejabat pemerintahan di Mesir (aziz) menggoda dan mau memperkosa Yusuf, sehingga Yusuf mendapati robek bajunya ketika dia lari dari kejaran Zulaikha.

Pada saat itu, suami Zulaikha memergokinya dan mendatangkan saksi terhadap kejadian tersebut. Yang mana dari hasil kesaksian tersebut Yusuf divonis tidak bersalah. Walaupun Yusuf divonis tidak bersalah, sebagai seorang kepala keluarga (aziz) mengambil suatu kebijaksanaan untuk menjaga keutuhan dan nama baik keluarga.

Hal ini tercermin dalam perkataan Aziz (suami) tersebut ketika berkata: “Yusuf, berpalinglah dari ini, dan engkau (hai wanita) mohonlah ampun atas dosamu…” Apa yang diputuskan sang suami telah menyelesaikan persoalan.

Baca Juga:  Doa Qunut: Sejarah, Bacaan, Hukum, Manfaat dan Penjelasannya

Peristiwa ini, menurut Quraish Shihab, merupakan salah satu peristiwa yang sering terjadi pada rumah-rumah keluarga “terhormat” yang kurang memperhatikan tuntunan agama. Mereka tahu dan menyadari bahwa perbuatan mereka buruk, tetapi di saat yang sama mereka ingin tampil atau paling tidak diketahui sebagai keluarga terhormat yang memelihara nilai-nilai moral. Karena itu kasus yang seperti ini harus ditutup dan dianggap seakan akan tidak pernah ada.

Mochamad Ari Irawan