Pecihitam.org – Tidak bisa dipungkiri, mayoritas umat Islam di Kalimantan mengenal KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau lebih dikenal dengan Abah Guru Sekumpul. Hampir di setiap rumah, toko, warung, bahkan kantor, memajang foto beliau. Hari wafatnya diperingati di berbagai daerah. Bahkan di luar negeri.
Puncaknya, di majlis yang dibangunnya, haul dihadiri jutaan manusia. Meski tanpa undangan, berbagai kalangan, dari rakyat jelata hingga Presiden Jokowi pernah hadir di acara tahunan ini. Semakin jauh dari hari wafatnya, bukannya manusia makin lupa. Justru makin banyak yang mencintai dan merindukannya. Apa rahasianya?
Tak ada buah tanpa bibit. Tak ada badai tanpa angin. Semua pasti ada embrionya. Dimana sesuatu bermula, tumbuh, berkembang, hingga membuahkan hasilnya. Tidak terkecuali Abah Guru Sekumpul.
Tahun 1994, penulis memutuskan hijrah dari kampung halaman, sebuah desa di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, ke Sekumpul Martapura, di mana Abah Guru Sekumpul membuka pemukiman dan majlis pengajian sejak tahun 1992. Tinggal menetap, aktif menghadiri pengajian dan mengikuti kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di Majlis Ar-Raudhah; nama majlisnya.
Demikian hingga akhir masa pengajian dan beliau wafat tahun 2005. Sedikit banyaknya, penulis mengamati dan menemukan sesuatu yang -kita katakan saja- merupakan rahasia sukses beliau meraih cinta dari banyak kalangan. Kaya, miskin. Jelata, berpangkat. Ulama, awam. Semuanya terpaut cinta kepada beliau.
Penghambaan Pada Ilahi.
Imam al-Ghazali dalam Minhajul ‘Abidin menuliskan, bila seorang hamba menjalani ketaatan dan berkhidmat pada Tuhan, akan diberikan 40 kekeramatan, salahsatunya selain dicintai Allah, juga dicintai banyak orang dan diterima berbagai kalangan.
Allah Yang Maha Pengasih menjadikan cinta kasih dalam hati banyak orang kepada hambaNya tersebut. Cinta yang memanggil jiwa manusia untuk mengasihi, memuliakan dan menghormatinya.
Bila kita membaca sejarah hidup Abah Guru Sekumpul, yang senantiasa menjaga ketaatan di bermacam kondisi dan keadaan, selalu menerima apa yang digariskan, susah dan senang, maka suatu kewajaran bila beliau juga menerima keramat seperti yang Imam al-Ghazali sebutkan.
Khidmat dan taat yang dilakukan Abah Guru Sekumpul malah bisa dikatakan di luar kemampuan manusia biasa. Dalam kondisi sakit dan harus cuci darah per-dua hari, misalnya, beliau tetap menjaga tahajjud dan wirid lainnya. Rutinitas mengajarnya, bahkan dalam kondisi berbaring di tempat tidur tetap dilakukan.
Ketaatan Abah Guru Sekumpul kepada Tuhan tidak terbatas pada ibadah mahdhah (ibadah pribadi), tapi juga ibadah sosial. Beliau sering mengatakan bahwa beliau hanya “jongos” atau pembantu, dan semua orang adalah boss. Ini karena beliau menghargai manusia sebagai hamba Tuhan. Apa yang beliau lakukan, berupa penghargaan, penghormatan, cinta kasih, dan suka menolong kepada sesama manusia, semata dalam rangka menghambakan diri kepada Tuhan.
Senantiasa Rendah Hati.
Umumnya tabiat manusia suka kepada orang yang rendah hatinya. Sebaliknya, benci kepada yang sombong dan selalu meninggikan dirinya. Siapa yang ingin dicintai dan dihormati semua kalangan, maka memposisikan diri selalu di bawah kedudukan orang lain, adalah kunci rahasianya.
Abah Guru Sekumpul, baik dalam posisi sebagi guru, suami, kakak, teman, selalu memposisikan diri setara dan bahkan di bawah orang lain. Semua orang merasa terhormat bila berhadapan dengan beliau.
Ketika mengajar di majlis ta’lim misalnya, beliau tidak memposisikan diri lebih tinggi dari jamaahnya. Kepada yang lebih tua beliau bersikap sebagaimana junior terhadap senior, kepada yang seumur menganggap teman, kepada yang lebih muda memposisikan diri sebagai ayah yang penyayang. Padahal beliau guru dan jamaah adalah murid.
Mengasihi Sepenuh Hati
Tak ada pilih kasih dalam kamus Abah Guru Sekumpul ketika mencintai sesama. Bahkan tidak terbatas manusia, tapi semua makhluk Tuhan.
Seorang teman penulis bercerita, suatu kali diminta Abah Guru Sekumpul membelikan kacang hijau. Sebagaimana biasa beliau selalu menyerahkan uang lebih dari harga yang bakal dibeli. Sisanya, pasti diberikan kepada yang diminta bantuannya.
Ternyata, kacang hijau tersebut, kata teman penulis yang menyaksikan langsung, untuk memberi makan burung-burung liar. Bermacam jenis burung berdatangan dengan jinak, memakan kacang hijau yang disiapkan Abah Guru Sekumpul. Setelah kenyang, burung-burung tersebut dibiarkan bebas terbang sesukanya.
Bila terhadap hewan saja seperti itu, apalagi manusia. Tanpa memandang profesi dan status sosialnya, semua dicintai dan dihormati oleh beliau. Artis yang kontroversial sekali pun, ketika datang diterima dan disambut oleh beliau. Bahkan diakui sebagai anak angkat.
Jangankan artis, bahkan -maaf- mereka yang dicap WTS saja, ketika datang bertamu, diterima beliau. Hormat dan cinta beliau lebih-lebih lagi terhadap kalangan Zuriat Nabi (Habaib), Ulama, dan para penuntut ilmu agama (santri).
Tidak hanya kepada yang seagama, mereka yang beda keyakinan pun merasakan kasih sayang beliau. Ketika menerima tamu suatu komunitas, yang di dalam rombongan ada yang beda agama, semuanya beliau sambut dengan pelukan. Tanpa membeda-bedakan.
Pernah dalam suatu pengajian beliau berdo’a, “Mudah-mudahan orang-orang kafir gembira”. Bagi yang tidak paham mungkin bingung, kenapa demikian. Di pengajian itu juga beliau katakan, “Kalau mereka gembira, tidak menganggu kita beribadah”. Beliau mencontohkan langsung bagaimana bertoleransi kepada sesama manusia, sebagai makhluk Tuhan. Toleransi yang mengundang kedamaian dalam kehidupan.
Ikhlas Dalam Berbagi.
Didasarkan pada penghambaan kepada Tuhan, cinta kasih ke sesama makhlukNya, Abah Guru Sekumpul suka berbagi dengan ikhlas kepada semua orang. Banyak cerita tentang hal ini. Tidak sedikit yang menerima kebaikan beliau.
Seorang teman penulis cerita, isterinya dan ipar-iparnya selagi masih kecil dan berstatus yatim, selalu menerima tunjangan rutin dari Abah Guru Sekumpul. Padahal, jarak rumah dengan Abah Guru Sekumpul lumayan jauh dan tidak ada hubungan famili. Ini menandakan perhatian beliau terhadap anak-anak yatim. Bukan hanya yang dekat, tapi juga yang jauh. Bukan hanya dari famili, tapi juga yang tidak ada hubungan keluarga.
Bila terhadap yang jauh dan tak ada hubungan keluarga saja seperti itu, apatah lagi keluarga dan tetangga. Warga Sekumpul sebagai jiran hampir bisa dikatakan tidak ada yang tidak pernah merasakan kebaikan beliau dalam berbagi.
Ini bukan hanya pada saat berkecukupan secara ekonomi. Sifat suka berbagi sudah tumbuh sejak lama dalam diri beliau. Teman-teman masa muda selagi menuntut ilmu rata-rata pernah menerima kebaikannya.
Di usia tua, ketika guru-gurunya banyak yang sudah wafat. Beliau memberi tunjangan kepada janda-janda guru. Prinsip yang sering beliau sampaikan di pengajian, bila PNS menerima pensiunan dari pemerintah, maka janda guru agama (ulama) semestinya menerima tunjangan dari murid-muridnya.
Keikhlasan beliau dalam berbagi ditunjukkan dengan tidak tereksposnya cerita-cerita beliau berbagi kecuali setelah wafatnya. Semasa hidupnya, banyak murid yang tidak tahu bahwa beliau menghabiskan milyaran rupiah setiap bulan hanya untuk berbagi.
Bila murid saja tidak tahu, apalagi orang lain. Hanya yang ditugasi membagikan dan yang menerima saja yang tahu ceritanya. Penulis menerima cerita ini dari seorang murid kepercayaan beliau yang ditugasi membagikan. Itupun setelah wafatnya.
Dalam berbagi, beliau tidak memandang perbedaan agama. Ini sebagaimana diceritakan salah seorang muridnya yang turut saat Beliau berobat di Surabaya. Ketika itu, menurut ceritanya, Abah Guru Sekumpul memerintahkan membeli beras dalam jumlah banyak dan minta dibagikan kepada seluruh karyawan rumah sakit.
Heran, kenapa dibagikan kepada seluruh karyawan, ia memperjelas, “Abah, tidak semua karyawan beragama Islam”. Apa jawab Abah Guru Sekumpul, “Bagaimana perasaan (yang tidak menerima bagian) ketika melihat temannya (sesama karyawan) mendapat (bagian) beras?”.
Bukan sebatas materi. Abah Guru Sekumpul juga senantiasa berbagi yang immateri, berupa do’a dan “hadiah” pahala. Kepada jamaahnya, Beliau sering menyampaikan, meski sudah sakit keras masih saja rajin mengerjakan ibadah, pahalanya tak lain hanya untuk murid-murid dan seluruh kaum Muslimin.
Ketika membaca do’a arwah (do’a hadiah pahala), beliau selalu mengkhususkan untuk “Ma Laa Zaaira Wa Laa Dzaakira Lahum” (Muslim yang makamnya tidak ada yang menziarahi, bahkan tidak ada yang mengingat mereka).
Ini menunjukkan rasa cinta kasih yang luas dan mendalam terhadap seluruh kaum muslimin. Tidak terbatas pada kalangan ulama dan awliya serta keluarga (sebagaimana lazimnya orang baca do’a arwah), tapi terkhusus pada orang-orang yang sudah dilupakan dan tidak ada yang menziarahi kuburannya.
Penutup
Beliau adalah sosok yang senantiasa menggembirakan orang, tidak membuat sakit hati. Melapangkan orang, tidak membebani. Mencintai orang, tidak membenci. Suka memuji, tidak mencaci. Suka memberi, tidak minta puji.
Tidak sedikit yang menerima kebaikan beliau semasa hidupnya. Merasakan manfaat hadirnya beliau di kehidupan. Karenanya, menurut penulis, wajar bila kemudian beliau dicintai banyak orang. Karena tabiat manusia mencintai orang yang berbuat baik padanya. Demikian disebutkan al-Imam al-Ghazali dalam Ihya.
Setelah wafatnya, beliau dirindukan dan dikenang. Acara haulnya menjadi ajang orang-orang berlomba dalam kebaikan. Mereka bersedekah, membantu sesama, berjamaah dalam ibadah, tanpa diminta dan diundang. Parkir gratis, ojek gratis, warung gratis, hingga penginapan gratis, sebuah fenomena yang biasa dan terjadi setiap tahunnya di acara haul beliau.
Ini adalah buah dari bibit yang pernah beliau tanam. Sebuah kewajaran yang siapapun melakukan seperti yang beliau lakukan pasti akan menerima hasil serupa. Namun, pertanyaannya, siapa yang mau meneladani beliau?