Pecihitam.org – Ustadz dari aliran Salafi ini sebelum berbuat kesalahan menyimpulkan hasil Muktamar NU tentang Tahlilan, sudah lebih dulu berbuat kesalahan dalam mengutip pendapat Imam Syafi’i. Dia membaca teks kitab Al-Umm 1/318:
وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء
Dalam terjemahan yang ia sampaikan adalah “Aku haramkan berkumpul”.
Saya merasa aneh dengan terjemahan ustadz ini, bagaimana mungkin seorang ustadz yang katanya lulusan Universitas Madinah bisa menerjemah kalimat “Akrahu” dengan kata-kata HARAM? Dia telah berbohong atas nama Imam Syafi’i. Memangnya tidak ada cara lain selain berbohong yang menjadi ciri khas aliran Salafi?
Mari kita perhatikan komentar dari ulama penarjih utama dalam madzhab Syafi’i, Imam Nawawi:
ﻭﺃﻣﺎ ﻗﻮﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﻓﻲ اﻷﻡ ﻭﺃﻛﺮﻩ اﻟﻤﺂﺗﻢ ﻭﻫﻲ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻬﻢ ﺑﻜﺎء ﻓﻤﺮاﺩﻩ اﻟﺠﻠﻮﺱ ﻟﻠﺘﻌﺰﻳﺔ
Perkataan Asy-Syafi’i dalam Al-Umm bahwa: “Aku tidak senang ma’tam, yaitu berkumpul meskipun tidak ada tangisan”, maksudnya adalah duduk untuk takziyah” (5/308)
Di halaman yang sama hal tersebut dihukumi makruh, bukan haram. Tapi duduk untuk takziyah menurut Ulama Syafi’iyah lainnya dihukumi Sunnah.
Ini adalah kesalahan fatal ketika dia mengharamkan Tahlilan dengan mengutip dari Imam Madzhab terbesar padahal tidak haram.
Konteks Hukum Makruh Tidak Sama Dengan Fenomena Tahlilan di Indonesia
Berkumpul di rumah duka dengan menyediakan makanan yang disiapkan oleh istri dan anak-anak orang yang wafat adalah makruh. Tidak sampai haram, kecuali jika diambil dari harta warisan yang salah satu ahli warisnya masih kecil. Keterangan seperti ini sudah maklum di kitab-kitab Syafi’iyah.
Namun bagaimana jika yang memberi makanan, yang memasak dan menghidangkan adalah tetangga dan keluarga jauh? Tentu tidak masuk hukum makruh di atas. Karena kasusnya tidak sama. Maka dari itu ada fatwa ulama, Sayid Husein, dari negeri Hijaz:
اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ ِلاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ “اصْنَعُوْا ِلاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا” وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ اهــ بِحُرُوْفِهِ
“Ketahuilah, pada umumnya orang-orang JAWA jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarganya dengan membawa beras mentah, kemudian memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far’ dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk mayit. Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi: Pendapat yang sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama 40 hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan memberi makan untuk orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman” (Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219)
Fatwa di atas diperkuat sisi alasannya oleh Mufti Salafi, Syekh Bin Baz:
حكم دعوة أهل الميت من يأكل معهم ما بعث لهم
“Bab keluarga mayit mengundang orang lain untuk makan bersama mereka ketika keluarga mendapat kiriman makanan untuk mereka”
س : إذا بعث لأهل الميت غداء أو عشاء فاجتمع عليه الناس في بيت الميت ، هل هو من النياحة المحرمة؟
Pertanyaan: “Bagaimana jika keluarga mayit mendapat kiriman makanan pagi atau malam, kemudian orang-orang berkumpul di rumah tersebut, apakah termasuk meratapi yang diharamkan?”
ج : ليس ذلك من النياحة ؛ لأنهم لم يصنعوه وإنما صنع ذلك لهم ، ولا بأس أن يدعوا من يأكل معهم من الطعام الذي بعث لهم ؛ لأنه قد يكون كثيرا يزيد على حاجتهم .
Jawab: “Itu bukan dari meratapi yang diharamkan. Sebab mereka tidak membuat sendiri makanan, tapi dibuatkan makanan untuk keluarga mayit. Mereka boleh mengundang orang lain untuk makan mereka dari makanan yang dikirimkan. Sebab terkadang makanan tersebut lebih dari keperluan mereka” (Majmu’ Fatawa Bin Baz 13/216)
Mana dalil berkumpul di rumah almarhum yang diberikan makanan? Berikut adalah dalil hadisnya:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ التَّلْبِيْنَةُ مَجَمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ
“Diriwayatkan bahwa ketika keluarga Aisyah ada yang wafat maka wanita-wanita berkumpul, kemudian mereka pulang kecuali keluarga dan orang-orang tertentu saja. Aisyah memerintahkan untuk memasak semacam makanan adonan yang disebut Talbinah. Aisyah berkata: Makanlah! Karena saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Talbinah dapat memperteguh hati orang yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian kesusahannya” (HR al-Bukhari No 5417, No 5689 dan Muslim No 2216).
Andaikan berkumpul di rumah almarhum adalah haram maka sudah pasti Aisyah akan menyuruh mereka pulang semuanya, nyatanya masih ada beberapa orang yang diberikan suguhan makanan. Demikian pula di negeri kita yang berkumpul dan diberi makanan adalah orang-orang tertentu saja, baik kerabat atau tetangga. Tidak semua warga.