Shalat Jumat di Liburkan Karena Corona (COVID-19)? Bolehkah dalam Islam? Begini Ulasannya

Shalat Jumat di Liburkan Karena Corona (COVID-19)? Bolehkah dalam Islam? Begini Ulasannya

PeciHitam.org – Akhir tahun 2019 akan tercatat sejarah sebagai penghujung tahun yang kelam. Kasus pertama Corona Virus Disease (COVID-19) tercatat pada tanggal 17 November 2019 di Provinsi Hubei Cina Daratan. Kesadaran masyarakat baru terhentak akan bahaya virus ini sekitar akhir bulan Desember 2019.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berlanjut ke tahun 2020, penetapan status Epidemi untuk Covid-2019 dikeluarkan oleh otoritas kesehatan dunia (WHO). Sampai saat ini, Covid-19 sudah ditetapkan sebagai Pandemi Dunia dengan Negara yang mengkonfirmasi terjangkit  sedikitnya 117 negara.

Virus ini menjadi momok serta kekhawatiran dunia saat ini dengan berbagai efek sosial, keagamaan, ekonomi maupun politik yang tidak terelakan.

Bahkan situs peribadatan teramai dan terbesar di dunia, Kabah, mengeluarkan maklumat lockdown atau menutup dari kunjungan Jamaah seluruh dunia.

Imbasnya, Jamaah Umrah dari berbagai dunia praktis terhenti total. Keberlanjutan larangan ini berlaku sampai batas waktu belum ditentukan.

Maklumat dan pelarangan untuk memobilisasi manusia dalam jumlah besar dilarang keras. Imbasnya merembet kepada keseluruhan ritus peribadatan. Dari berbagai ritus keagamaan yang mengakomodir pengumpulan/ konsentrasi manusia dalam jumlah banyak adalah Ibadah Shalat Jumat.

Baca Juga:  Macam-Macam Tindak Pidana Dalam Islam Serta Dasar Hukumnya

Bagaimana hukum terkait hal tersebut? Apakah boleh meniadakan ritual Shalat Jumat, yang dalam madzhab Imam Syafii wajib dilaksanakan bagi lelaki? Dan syarat lainnya yaitu minimal jamaah yang ikut 40 orang?

Menilik berbagai kejadian yang ada di dunia, beberapa otoritas keagamaan negara-negara Asing mengeluarkan fatwa peniadaan shalat jumat  guna mengurangi risiko penyebaran Covid-19.

Peniadaan shalat jumat ini, setidaknya berlaku di Jepang, Belgia, Iran, Malaysia (secara terbatas), dan Singapura. Dasar argumentasi fatwa tersebut sekuat apa jika dasar Shalat jumat tidak mencantumkan bahaya/ ketakutan dari wabah penyakit tidak masuk dalam hadis Riwayat Abu Dawud;

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ  إلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ  أَوْ امْرَأَةٌ  أَوْ صَبِيٌّ  أَوْ مَرِيضٌ

“Jumat adalah kewajiban bagi setiap Muslim kecuali empat orang. Hamba sahaya yang dimiliki, perempuan, anak kecil, dan orang sakit,” (HR Abu Daud dengan sanad sesuai standar syarat Bukhari dan Muslim) (HR. Abu Dawud sesuai standar Sahih Imam Bukhari-Muslim)

Hadits Riwayat Imam Abu Dawud tersebut hanya menyebutkan 4 kategori, yaitu Budak, perempuan, anak kecil dan orang sakit. Kategori keempat hanya tertulis orang sakit tanpa tambahan keterangan ketakutan tertularnya penyakit mewabah.

Baca Juga:  Beberapa Pendapat Tentang Hukum Umrah dan Haji

Kategori ketakutan terhadap penyakit pada hadits di atas tidak menjadi pemicu untuk peniadaan shalat jumat. Apakah dasar ini tidak bisa menjadi alasan Jumatan ditiadakan?

Menyambung musykil masalah di atas, keterangan pada syarah atau komentar dari Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam bab Kitab Adzan menjelaskan, kebolehan pada hari hujan lebat untuk mengumandangkan Adzan “Shalatlah di tempat kalian atau rumah-rumah kalian”.

Alasan hujan lebat yang tidak memungkinkan untuk shalat di Masjid menjadi alasan peniadaan jamaah.  Oleh karenanya dengan alasan ketidak-mungkinan pengumpulan massa / orang banyak dalam satu tempat guna menghindari tertularnya wabah penyakit menjadi logis dalam penggunaan dalil. Tindakan ini menjadi ikhtiar dasar untuk mencegah tertularnya penyakit yang menjadi kekhawatiran masyarakat banyak.

Baca Juga:  Apakah Air Ketuban Najis? Ayah dan Bunda Wajib Tahu!

Dasar peniadaan ini berlaku terbatas, karena alasannya bersifat huduts atau sesuatu yang terjadi belakangan. Jika dikemudian hari kekhawatiran atas wabah telah lewat maka hukumnya akan berubah menjadi wajib sebagaimana semula.

Akhirnya Jumatan boleh tiada ketika ketakutan atau alasan ketidak-mungkinan muncul, ketika alasannya ketidak-mungkinan tersebut hilang maka wajib kembali. Ash-Shawabu minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq