Makkah Menjadi Standar Kebenaran? Sepertinya Wahabi Terinspirasi Kaum Jahiliyah

Makkah Menjadi Standar Kebenaran? Sepertinya Wahabi Terinspirasi Kaum Jahiliyah

PeciHitam.org Fenomena Ka’bah pernah menjadi simbol kebanggan dan kesombongan orang-orang Jahiliyyah seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan Abu Sufyan (ketika belum berislam).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Persis kejadian ini terlihat jelas ketika periode dakwah Makkah yang mana Nabi Muhammad SAW banyak mendapatkan pertentangan dari kaumnya yang notabene pengurus Ka’bah.

Ka’bah menjadi simbol suci agama Islam bahkan sejak agama nenek moyang Nabi Muhammad SAW yakni Ibrahim AS. Penyelewengan terhadap fungsi Ka’bah lambat laun terjadi sepeninggal Ibrahim dan Ismail AS.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, sedikitnya terdapat 360 berhala yang tersebar di penjuru kota Makkah dan yang paling besar diletakan di Ka’bah.

Bahkan di era modern ada anggapan/ argumen sebagaimana pola pikir Abu Jahal dan kawan-kawannya. Bahwa penguasa Ka’bah adalah pemilik standar kebenaran, shahibul haq, maka harus menjadi acuan umat Islam seluruh dunia. Benarkah anggapan ini? berikut ulasannya!

Standar Kebenaran dalam Islam

Menjadikan situs tempat suci sebagai standar dan legitimasi kebenaran pernah dilakukan orang-orang kafir Quraisy untuk menentang ajaran Nabi Muhammad SAW. Kebanggaan tokoh Quriasy ternama Abu Jahal, Abu Lahad dan Abu Sufyan yaitu mereka memiliki hak pengurusan simbol suci agama yaitu Ka’bah.

Ka’bah dijadikan standar kebenaran dengan melakukan politisasi situs untuk kepentingan politik kekuasaan. Niscaya Muhammad bin Abdullah yang benar, maka ialah pengurus Kabah. Sedangkan faktanya Abu Jahal, Abu Lahab serta golongan kafir lainnya adalah pengurus sah Ka’bah.

Baca Juga:  Waspadalah!!! Target Utama Wahabi adalah NU, Bukan Syiah

Kesombongan orang Qurasiy yang menolak kebenaran dakwah Muhammad SAW dan menjadikan Ka’bah sebagai tameng pembenaran mendapat tanggapan dari ayat Al-Qur’an;

مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ (٦٧

Artinya; “Dengan menyombongkan diri terhadap Al Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari. (Qs. Al-Mukminun)

Sedangkan Allah SWT menurunkan kepada Muhammad SAW kitab bernama Al-Qur’an yang seharusnya menjadi standar kebenaran. Kebanggaan orang kafir Quraisy sebagai pengurus Ka’bah adalah kebanggaan yang tersemai kesombongan di dalamnya. Tentunya kebanggan orang kafir Quraisy terhadap pengurusan Ka’bah adalah kesalahan.

Karena orang-orang Kafir Quraisy membanggakan Ka’bah sebagai pembenaran atas tindakan menyimpang yang mereka lakukan. Tindakan menyimpang mereka yaitu menentang dakwah Rasulullah SAW yang memiliki kalimatu haq, shautu haq yakni Al-Qur’an.

Wahabi dan Ka’bah

Pemikiran seperti Abu Jahal dan Abu Lahab tidak sepenuhnya mati setelah 14 abad setelah penaklukan Kota Makkah. Beberapa pandangan di era modern sekarang ini menyatakan bahwa Makkah adalah simbol kebenaran, karena disanalah pusatnya Islam. Maka model ibadah atau seluruh ritus peribadatan di Makkah merupakan standar kebenaran umat Islam dunia.

Baca Juga:  Pandangan Ulama Dari Kalangan Empat Madzhab Terhadap Wahabi

Pandangan ini banyak diyakini oleh golongan wahabi salafi yang ada di Indonesia, dengan menunjukan dalil bahwa Makkah menggunakan pola Ibadah ala wahabi salafi.

Tradisi dan ritus ibadah di Makkah harus menjadi role mode, contoh utama yang paling benar. Oleh karenanya, jika ada orang Islam menyelisihi tradisi dan ritus ibadah orang Makkah maka disebut sebagai kesesatan.

Sederhananya pemikiran orang wahabi salafi di Nusantara yaitu harus menjadikan peribadatan Makkah sebagai contoh sempurna, dan pasti benar.

Nalar ini sangat persis dengan nalar Abu Jahal dan Abu Lahab, karena mereka menjadikan Ka’bah sebagai simbol pembenaran atas tindakan yang salah.

Seharusnya standar kebenaran adalah merujuk dari al-Qur’an dan Sunnah serta tradisi akademik para Ulama. Hal ini sesuai dengan qaul Imam Syafii;

قاَلَ الشَّافِعِيُّ كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى اْلكِتاَبِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْحَدُّ الَّذِيْ يَجِبُ، وَكُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلىَ غَيْرِ أَصْلِ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ فَهُوَ هَذَيَانٌ أخرجه البيهقي في مناقب الإمام الشافعي

Dikatakan oleh Imam Baihaqi dalam Biografi Imam Syafii bahwa Imam Syafi’i pernah berkata: “Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan yang wajib diikuti. Dan setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan”

Oleh karenanya kebanggaan orang salafi wahabi yang mana menjadi madzhab resmi Arab Saudi, penguasa Haramian adalah kebanggan yang salah. Belum tentu paham salafi wahabi adalah bahkan Ulama banyak mengkritik gerakan purifikasi salafi Wahabi.

Rujukan kebenaran adalah Al-Qur’an dan Sunnah serta tradisi akademik Ulama yang bersanad. Jika ingin menilik kebenaran berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta tradisi akademik Ulama maka menengoklah madzhab KH Hasyim Asy’ari. Yang mana beliau memiliki jalur sanad ilmu Qur’an, Hadits dan Ulama bersambung sampai Rasulullah SAW.

Baca Juga:  Betulkah Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab "Bertaubat" Di Akhir Hayatnya?

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan