Syaikh Ahmad Ibnu Ajibah al Hasani, Ulama Tasawuf Penulis Nahwu Sufi

ibnu ajibah

Pecihitam.org – Maroko sebuah negeri yang berada paling barat benua Afrika dan berbatasan dengan Spanyol dengan julukan “Negeri Para sufi”. Sebutan tersebut memang sangat cocok, ini dibuktikan dengan banyaknya tariqat dan ajaran-ajaran tasawuf yang diamalkan oleh masyarakat Maroko.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Diantara tariqat yang masyhur di negeri yang dijuluki “Negeri Matahari Terbenam” ini adalah Tariqat Tijaniah, Syazhiliyah, Mashishiah, Siddiqiah, Kattaniyah dan ad-Darqawiyah. Adapun diantara ulama besar dan tokoh sufi yang berpengaruh di Maroko pada abad ke-18 salah satunya adalah Syaikh Ahmad Ibnu ‘Ajibah.

Daftar Pembahasan:

Mengenal Sosok Ibnu Ajibah

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin al-Mahdi bin al-Husain bin Muhammad bin ‘Ajibah al-Hujuji al-Hasani. Ia lahir pada 1661 H di Desa ‘Ajabasyi dari kabilah al-Anjari, di Provinsi Tetouan Maroko.

Dalam kitabnya al- Fahrisah dijelaskan, bahwa garis keturunannya adalah Abdullah Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu al-Mahdi Ibnu al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ajibah al-Hajjuji Ibn Sayyidi Abdullah Ibnu ‘Ajibah.

Beliau berasal dari (ahlul bayt) keturunan al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. Itu sebabnya beliau menisbahkan dirinya dengan Ahmad Ibnu ‘Ajibah Al-Hasani.

Ayahnya meninggal dunia pada tahun 1196 H. Ibnu Ajibah adalah orang yang soleh, pendiam, suka menyendiri, lebih senang duduk sendiri dan sibuk dengan urusannya. Ibunya bernama Rahmah Binti Sayyidi Muhammad, seorang yang taat dalam beribadah dan taat kepada suami juga bertanggung jawab terhadap keluarga.

Perjalanan Intelektual Ibnu ‘Ajibah

Pengembaraan intelektualnya dimulai ketika Ibnu Ajibah berumur sekitar 19 tahun, ia banyak melakukan talaqqi kepada beberapa ulama yang berada di daerahnya.

Kecintaan dan kegigihannya terhadap ilmu, membuat seorang Faqih Sidi Muhammad as-Sanusi as-Samalali tertarik untuk mendidiknya serta mengarahkan kemampuannya dalam menuntut ilmu, sehingga ia dibawa ke Al-Qasr Al-Kabir dan disana beliau belajar berbagai disiplin ilmu.

Kesungguhannya dalam menuntut ilmu ini amat menarik, konon Ibnu Ajibah bisa menghadiri tujuh majlis ilmu dalam satu hari satu malam. Bahkan salah seorang gurunya memanggilnya dengan al-Buhli, yang artinya orang gila karena kegilaannya terhadap ilmu.

Baca Juga:  Ustadz Bangun Samudra, Seorang Doktor dari Vatikan yang Menjadi Muallaf

Kota Tetouan menjadi saksi bisu terhadap ketekunan beliau dalam menuntut ilmu. Di kota ini beliau berguru dengan dua orang ulama besar di sana, yaitu: Sayyidi Ahmad al-Rasya dan Sayyidi Abd al-Karim Ibn Qurays.

Selain itu, beliau juga belajar dari ulama-ulama lain seperti: Sayyidi Muhammad al-Warzazi, Sayyidi Muhammad al-Abbas yang merupakan seorang pakar Ilmu nahwu, Sayyidi Muhammad Ghaylan seorang alim dan faqih, Sayyidi ‘Ali Syatir, Syekh Sayyidi Muhammad al-Wuraykili, seorang pakar fikih yang alim, Sayyidi Muhammad al-Januwi al-Hasani.

Setelah Sayyidi al-Januwi meninggal, Ibnu ‘Ajibah kemudian memutuskan berhijrah ke tempat lain (Kota Fes) untuk menuntut ilmu. Di sana ia belajar khusus ilmu hadist kepada pakar ilmu hadist yang bernama Sayyidi Muhammad al-Tawali bin Sawdah.

Tidak berhenti disitu saja, meski sudah mengusai berbagai ilmu, beliau ternyata tertarik untuk belajar ilmu tasawuf, yang mulai berkembang di daerahnya melalui gerakan Tarekat Shadhiliyah al-Darqawiyah.

Guru tasawuf Ibnu ‘Ajibah adalah al-Darqawi, sebutan dari Abu al-Ma’ali al-‘Arab bin Ahmad al-Hasani beliau lahir pada 1550 M dari suku Bani Zeroual di Maroko utara.

al-Darqawi adalah seorang penggagas cabang dari Tarekat al-Shadhiliyah al-Darqawiyah. Bentuk ajaran tarekat ini sederhana, yaitu mengapresiasi kombinasi ajaran tasawuf dan fiqih, mengikuti pada ajaran al-Qur’an dan Sunnah, juga bertumpu pada praktik dzikir.

Selain itu Ibnu Ajibah juga belajar tasawuf pada Muhammad bin Habib Ahmad al-Buzaidi dari suku Ghamara, Maroko utara. Beliau adalah pengikut terdekat Syaikh al-Darqawi.

Setelah keberhasilan Ibnu ‘Ajibah melewati setiap proses tajarrud dan tathir, serta menguasai tasawuf batin dengan baik, beliau kemudian mendapat kelayakan untuk menyampaikan dakwah tasawuf dan diangkat menjadi seorang pemuka dalam Tarekat al-Darqawiyyah.

Dengan keberhasilan tersebut, Ibnu ‘Ajibah-pun keluar berdakwah dengan pergi ke desa-desa dan perkotaan di kawasan utara Maroko. Dakwahnya sampai ke Kota Rabat (Ibu kota Maroko saat ini), Sale dan kota-kota lainnya di Maroko.

Karya Keilmuan

Karya-karya Ibnu Ajibah konon mencapai lebih dari empat puluh karya yang di antaranya adalah:

  • Ib’adul ghumam ‘an iyqaz al-himam fi syarh al-Hikam (sebuah elaborasi atas karya al-Hikam Ibnu Athaillah).
  • Al-Bahru al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid (tentang tafsir al-Quran).
  • Al-Futuhat al-Qudusiyyah fi Syarh al-Muqaddimah al-Ajurumiyyah (sebuah karya komentar atau penjelasan atas kitab muqaddimah Jurumiyyah).
Baca Juga:  Biografi Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Pendiri Jamiyyah NU dan Pahlawan Nasional

Karya yang disebut terakhir ini meskipun kitab asal-nya berupa kitab nahwu namun di tangan Ibnu Ajibah berubah menjadi kitab tasawuf. al-Jurumiyyah, salah satu kitab nahwu paling masyhur dan legendaris karya Syekh Abdullah Muhammad bin Dawud As-Shonhaji ini, diberi syarah oleh Ibnu Ajibah dengan pendekatan sufistik. Sesuatu yang sangat jarang ditemukan dalam syarah-syarah lainnya.

Nahwu Sufi (Kalam Perspektif Tasawuf)

Bagi para santri atau orang yang pernah belajar tata bahasa Arab (gramatikal), tentu tidak akan asing dengan istilah kalam (kalimat). Hampir semua kitab nahwu dari yang paling dasar sampai pada kitab yang paling sulit, pembahasan seputar kalam dijelaskan di bagian paling awal.

Definisi kalam tidak jauh dari apa yang dituliskan oleh kitab al-Jurumiyyah dengan redaksi: al-Kalamu huwa al-Lafdzu al-Murakkabu al-Mufidu bil Wadh’i (Kalam adalah sebuah lafal yang tersusun dan dapat dipahami oleh pendengarnya)

Menariknya, komentar atau penjelasan Ibnu Ajibah dalam syarah al Jurumiyyah ini tidak sebagaimana kitab-kitab lainnya, ia justru mengulasnya dengan pendekatan tasawuf. Berikut sedikit uraiannya:

Kalam (kalimat dalam tata bahasa Arab) menurut para ulama sufi adalah sebuah kalimat yang tersusun (al-murakkab) dari ucapan dan perbuatan, dimana orang yang mengucapkan (al-mutakallim) sebuah kalimat hendaknya orang yang ucapan dan tingkah lakunya membangkitkan dan memberi petunjuk pendengarnya menuju kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dituangkan oleh Ibnu Athaillah As-Sikandari:

“لا تصحب من لا ينهضك حاله، ولا يدلّك على الله مقاله”

“Janganlah kalian bersahabat dengan orang yang tingkah laku dan ucapannya tidak membangkitkan dan menunjukkan dirimu kepada Allah

Sedangkan al-mufidu (memberi faedah atau dalam makna ilmu nahwu dapat memahamkan pendengar) menurut sufi bermakna memberikan faidah di hati para pendengarnya, baik berupa ilmu pengetahuan, cahaya-cahaya, rahasia-rahasia ilmu pengetahuan bagi para pendengarnya. Cahaya-cahaya yang terpancar kepada para pendengarnya ini kemudian terjadilah proses pencerahan.

Baca Juga:  Habib Umar bin Hafidz; Simbol Da'i Masa Kini yang Mewarisi Kelembutan Rasulullah

Itu artinya, sebuah kalam ketika keluar dari sebuah hati yang paling dalam maka ia akan masuk ke dalam hati pendengarnya dan memberikan faedah atau manfaat bagi mereka. Sebaliknya, jika sebuah kalam keluar dari mulut maka ia hanya akan diterima oleh kedua telinga pendengarnya saja tanpa memberi manfaat.

Dengan demikian, kalam adalah sebuah lafadz yang tersusun dari ucapan dan perbuatan. Jika sebuah ucapan tidak sesuai atau tidak dibarengi dengan perbuatannya, maka kalam tersebut tidaklah berfaedah di hati para pendengarnya. Karena, tingkah laku yang mengucapkan kalimat tersebut mendustai ucapannya.

Jadi, kalam menurut para sufi adalah sebuah kalimat yang kemanfaatannya kembali kepada si pengujarnya. Sebuah lafal yang tersusun dari hati dan lisan yang berfaedah sebagai pencerah bagi hati para pendengarnya.

Wafatnya Ibnu Ajibab

Ibnu ‘Ajibah wafat di kota Ghamarah pada tanggal 7 Shawal Tahun 1224 H , ketika berziarah ke makam gurunya al-Buzaidi. Kewafatannya disebabkan oleh penyakit tha’un yang melanda negerinya pada waktu itu.

Beliau dikebumikan di kaki bukit yang terletak sekitar 20 Km dari Kota Tangier. Banyak orang yang berziarah ke makamnya, baik untuk mengambil berkah ataupun tawasul di dalam do’a.

Setiap tahunnya pada tanggal 14 September para pengikut Tarekat al-Darqawiyyah al-’Ajibiyyah mengadakan haul bertepatan dengan hari wafatnya Ibnu ‘Ajibah.

Sumber: NU Maroko

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik