Begini Syarat dan Rukun Khulu’ Versi Abdur Rahman al-Juzairi

Begini Syarat dan Rukun Khulu’ Versi Abdur Rahman al-Juzairi

PeciHitam.org Segala perilaku hukum tidak ada satupun hal yang bisa dilakukan dengan seenaknya, semua telah di atur dalam ikatan yang bertujuan untuk menjaga nilai dan maksud dari hukum itu dibentuk.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Termasuk dalam hal ini, pengajuan khulu’ yang diakukan oleh perempuan, haruslah melewati beberapa prosedur, apa saja itu? Berikut penjelasannya.

Syarat dan Rukun Khulu’ Abdur Rahman al-Juzairi

Khulu’ dianggap sah dan jatuh apabila telah memenuhi beberapa unsur, diantaranya rukun dan syarat. Adapun dalam setiap rukun khulu’ mempunyai syarat yang masing-masing harus ada pada rukun tersebut.

Sesuai dengan akibat daripada khulu’ adalah sebagai talak ba’in, Sehingga suami tidak diperbolehkan meruju’ kembali, kecuali setelah mantan istri dan mantan suami mengadakan pernikahan lagi melalui proses akad nikah yang baru.

Adapun Syarat dan rukun dari khulu’ itu menurut Abdur Rahman al- Juzairi mengatakan ada 5 yaitu:

1.) Seseorang yang wajib baginya tebusan ( menebus )

Yaitu seseorang yang wajib harta atasnya, adapun seseorang tersebut istri atau selain istri.

2.) Kemaluan

Yaitu kemaluan istri yang dimiliki suami untuk bersenang-senang dengan kemaluan itu, yaitu kemaluan istri jika suami mentalak istrinya dengan talak bain maka hilanglah kepemilikan suami atas kemaluan istri.

3.) Al-Iwadh 

Dengan syarat harta tersebut tidak berbahaya, suci dan milik sah.

Iwadh yaitu sesuatu uang tebusan atau barang ganti rugi yang diberikan istri kepada suami agar suami mau menceraikan istrinya. Tentang iwadh ini para ulama berbeda pendapat, mayoritas ulama menempatkan iwadh itu sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk syah nya khulu’, pendapat lain diantara satu riwayat dari Ahmad dan Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh.

Alasannya adalah bahwa khulu’ merupakan salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, oleh karena itu boleh tanpa iwadh, sebagaimana berlaku dalam talak.

Adapun tolok ukurnya menurut Jumhur Ulama adalah kelayakan benda tersebut untuk dijadikan mahar. Dengan demikian, apa yang boleh dijadkan mahar, maka juga diperbolehkan dijadikan kompensasi khulu’.

Dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat, Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, khulu’ sah meskipun tidak memakai iwadh, misalnya si istri mengatakan “Khulu’ lah saya ini,” lalu si suami mengatakan “Saya telah mengkhulu’ kamu”, tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara alasannya adalah;

  • Khulu’ adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh, sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.
  • Pada dasarnya khulu’ ini terjadi lantaran si istri sangat membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya.
Baca Juga:  Niat, Waktu, Keutamaan dan Tata Cara Shalat Sunnah Mutlak

Ketika si istri meminta untuk dikhulu’ lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak memakai iwadh.

Adapun demikian, dikalangan ulama juga masih terjadi perbedaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan iwadh, tetapi para ulama Madzhab sepakat bahwasanya tentang segala sesuatu yang bisa dijadikan mahar, boleh pula dijadikan iwadh atau sesuatu yang berharga dan dapat dinilai sebagaimana yang dimaksud dalam hadis nabi tentang istri Tsabit yang disebutkan diatas dan bahwa jumlahnya boleh sama, kurang atau lebih banyak daripada mahar.

4.) Az-Zauju (suami)

Dengan syarat orang tersebut sudah cakap untuk melakukan talak, seperti tidak bodoh, berakal dan baligh.

Bahwasanya orang yang dikhulu’ atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam talak adalah seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu ‘aqil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan.

Baca Juga:  Pegadaian Syariah; Pengertian, Persamaan dan Perbedaannya dengan yang Konvensional

Berdasarkan syarat ini, bila suami masih belum dewasa atau dalam keadaan gila maka yang akan menceraikan dengan khulu’ adalah walinya. Demikian pula bila keadaan seseorang yang berada di bawah pengampuan karena kebodohannya (mahjur ‘alaih) yang menerima permintaan khulu’ istri adalah walinya.

Dalam hal ini, seluruh ulama Madzhab sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan khulu’, sedang Hambali mengatakan khulu’ sebagaimana halnya talak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah mengerti sekalipun belum baligh).

5.) Sighat

Shigat ini adalah sebuah syarat yang pasti, karena dalam ini sighat menjadi tanda dari sebuah penegasan atas khulu’nya.

Sedangkan syarat khulu’menurut Abdur Rahman al-Juzairi ada 3, yaitu :

  1. Disyaratkan pada tiap-tiap orang yang wajib atasnya ’iwad, yaitu orang yang ahli menasarufkannya, adapun orang yang wajib atasnya ’iwadh harus tergolong orang yang memiliki hak untuk menjatuhkan talak, dan orang tersebut berakal, mukallaf, rasyid. Tidak sah bagi kanak-kanak wanita, gila, atau safih mengkhulu’ suaminya dengan harta.
  2. ’Iwadh khulu’, ada beberapa syarat, diantaranya ’iwad adalah harta yang berharga, maka tidak sah khulu’dengan sesuatu yang tidak ada harganya, seperti sebiji dari gandum. Dan barang harus barang yang suci yang dapat dimanfaatkan, maka tidak sah (’iwadh) dengan khamar, babi, bangkai dan darah. Sah khulu’dengan harta, baik berupa uang, tunai atau hasil pertanian, atau mahar. Atau dengan memberi nafkah, atau upah menyusui, atau mengasuh anak.
  3. Tidak dapat khulu’ tanpa sighat, tidak sah khulu’ dengan cara pemberian, seperti ucapan ’khulu’lah saya dengan itu”, maka suami berkata kepada istri saya khulu’engkau atas itu, maka ijab dan qabul tidak menyertai hal itu, adapun perbuatan demikian tidaklah jatuh khulu’dan perbuatan tersebut tergolong talak.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan