Akal dalam Filsafat Islam dan Pembelajaran di Sekolah

Akal dalam Filsafat Islam dan Pembelajaran di Sekolah

Pecihitam.org – Dalam al-Qur`an Allah berkali-kali menganjurkan kita untuk menggunakan akal yang telah Ia anugerahkan kepada kita untuk mendapatkan kebenaran. Allah juga beberapa kali memperingatkan orang-orang yang berada di jalan yang salah dengan kalimat “afala ta’qilun“, “apakah kamu tidak menggunakan akalmu?”.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Al-Qur`an juga menceritakan bahwa orang-orang yang ingkar akan menyesal di dalam neraka dan mengatakan: “seandainya dulunya kami mendengarkan (petunjuk Tuhan) atau menggunakan akal, pastilah kami bukan termasuk golongan penghuni neraka.” (QS. al-Mulk: 10)

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya akal dan betapa hebatnya akal manusia dalam menangkap pengetahuan, sampai-sampai perhatian Allah begitu besar terhadapnya. Apakah kemampuan akal? Apa saja daya-dayanya?

Filsafat Islam, khususnya dalam bagian yang membahas teori-teori penemuan, kebenaran dan batasan-batasan pengetahuan atau yang disebut epistemologi, punya jawabannya. Filsafat Islam, dari salah satu aspeknya, bisa kita fahami sebagai upaya menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an melalui penalaran rasional-demonstratif filsafat.

Mulyadi Kartanegara dalam bukunya Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (2003) menyebut bahwa akal manusia dilengkapi kecakapan-kecakapan mental yang disebut dengan panca indra batin. Panca indra batin inilah yang mengantar manusia menuju pengetahuan dan kebenaran. Kelima indra batin itu adalah:

Yang pertama adalah apa yang disebut Ibn Sina dengan “Indra Bersama” (al-hiss al-musytarak). Ini adalah kecakapan mental yang mampu menyatukan atau mengoordinasi data-data indrawi spesifik secara sintesis dan utuh. Mata memang mampu melihat, telinga mendengar, namun apa yang dilihat dan didengar oleh kedua alat indra itu bersifat individual dan parsial.

Ketika memandang burung yang sedang bersiul, kita tidak hanya menangkap bentuk burung tetapi juga menangkap cantiknya suara siulan burung itu. Indra Bersama menangkap keseluruhan aspek yang dimiliki burung, sehingga pengetahuan tentang burung dan siulan menjadi pengetahuan yang menyeluruh.

Baca Juga:  Imam Ghazali, Merobohkan Permainan Akrobatisme Intelektual

Kedua, daya imajinasi retentif atau al-khayal sebagaimana disebut Ibn Sina. Ini merupakan daya yang bisa melestarikan bentuk yang ditangkap mata dan suara yang ditangkap oleh telinga dan pencerapan-pencerapan indra lainnya. Kita bisa mengatakan daya ini adalah ingatan terhadap apa yang ditangkap oleh pancaindra. Tanpa daya ini kita tidak akan bisa mengingat bentuk burung dan suara siulannya, mengingat wajah orang-orang yang kita cintai, dan lain sebagainya.

Ketiga, daya estimasi atau disebut oleh Syaikh al-Ra`is dengan al-wahm. Daya ini menangkap “maksud” yang tersembunyi dari sebuah benda dan menilai apakah suatu benda mengandung manfaat ataukah berbahaya sehingga kita dapat mengambil tindakan yang diperlukan. Al-Wahm sangat diperlukan terutama untuk tujuan praktis.

Keempat, imajinasi (al-mutakhayyilah) atau disebut juga compositive imaginative faculty. Daya ini merupakan daya lanjutan dari daya al-khayal setelah ia menangkap objek fisik secara utuh. Imajinasi melanjutkan pengetahuan-pengetahuan indrawi yang utuh tadi dengan menggabungkan beberapa atau semua bentuk itu menurut selera yang dikehendaki. Mulyadi Kartanegara memberi contoh bahwa kita dapat menggabungkan bentuk manusia dan burung dalam sebuah bentuk yang unik yang bisa kita sebut “burak”.

Al-Qur`an nampaknya ingin memanfaatkan daya imajinasi akal dalam penggambarannya tentang surga dan neraka yang berbentuk fisik (taman-taman, mengalir dari bagian bawahnya sungai-sungai, dan lain-lain).

Kitab suci dan hampir setiap sudut ajaran Islam, karena itu, penuh ilustrasi-ilustrasi imajinatif, khususnya ketika membahas kehidupan setelah mati, seperti, hari kiamat, timbangan amal (mizan), jembatan al-sirath al-mustaqim, dan berbagai persoalan sam’iyyat lainnya, termasuk peristiwa isra`mi’raj. Dengan demikian, pengetahuan berdasarkan imajinasi mendapat tempat dalam filsafat Islam.

Baca Juga:  Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 2)

Adapun panca indra batin kelima adalah memori (al-hafizhah). Sebagaimana al-khayal yang merekam citra-citra yang ditangkap oleh al-hiss al-musytarak, bentuk-bentuk imajinatif gabungan yang dibuat oleh al-mutakhayyilah direkam oleh memori. Al-Hafizhah, karena itu, berguna untuk melestarikan bentuk-bentuk imajinatif dan memantapkan pengetahuan imajinasi yang abstrak itu sampai kepada tingkat kebenaran yang meyakinkan.

Inilah sistem daya akal yang dibangun oleh al-Farabi dan Ibn Sina, sebagaimana Immanuel Kant berbicara mengenai kategori-kategori yang merupakan konstruksi-konstruksi mental atau apa yang disebut Aristoteles dengan “bentuk” (form/ shurah).

Dengan itu, akal mampu berbicara tidak hanya tentang suatu benda secara partikular, melainkan tentang hakikat atau kuiditas/ esensi yang meliputi semua benda. Tak heran jika al-Farabi dan Ibn Sina menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta melalui fikiran.

Dalam konteks pembelajaran (ta’lim) daya-daya akal inilah yang harus dipicu oleh seorang guru dari para murid agar ia bekerja. Murid, karena itu, bukanlah kertas kosong yang bisa ditulisi oleh guru sekehendaknya, sebagaimana difahami kebanyakan orang selama ini.

Dalam diri murid, sebagai manusia, telah terdapat akal dengan daya-dayanya yang siap pakai bagi murid untuk mendapatkan pengetahuan. Tugas guru adalah tinggal “meledakkannya”.

Dengan demikian, dalam prakteknya guru diharapkan mampu merangsang daya-daya akal murid secara aktif, mulai dari pengamatan menyeluruh melalui indra bersama (al-hiss al-musytarak), membangkitkan daya khayal (al-khayal) dan imajinasi (al-mutakhayyilah) supaya murid dapat menyimpannya dalam memori (al-hafizhah) dan memberikan pertimbangan etis melalui daya estimasi (al-wahm).

Baca Juga:  Al-Illah al-Ula’: Argumen Kosmologi Ketuhanan Menurut Filusuf Muslim

Dalam pembelajaran sejarah, misalnya, murid-murid tidak sekedar ditimpai persoalan-persoalan tempat, tanggal dan waktu suatu peristiwa, tetapi bagaimana mereka mengimajinasikan dan memahami alur kejadian peristiwa di masa lalu, sebab-sebab dan pelajaran (‘ibroh) dari suatu peristiwa yang mungkin punya nilai-nilai yang relevan untuk masa sekarang.

Dalam pembelajaran ilmu-ilmu alam, murid juga tidak sekedar direcoki dengan persoalan hitung-hitungan matematis terhadap perubahan-perubahan alam fisik, tetapi bagaimana mereka mengamati dan memahami gejala-gejala dan perubahan-perubahan tersebut, agar kemudian mereka mampu mengestimasi segala kejadian fisik yang ada di sekitar mereka.

Akan tetapi, satu hal yang tidak boleh ditinggalkan. Bagi filsafat Islam, akal manusia dilengkapi dengan daya-daya dan kecakapan-kecakapan mental berupa panca indra batin itu pada dasarnya adalah untuk mendukung fungsi hati (qalb/ intuisi) dalam upaya mencapai pengetahuan, sehingga dengan kombinasi panca indra, akal dan hati, manusia dapat mengungkap aspek-aspek spiritual di balik berbagai fenomena yang ada dan terjadi di sekitarnya dan mengenal Allah Yang Maha Pencipta melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terhampar di seluruh alam semesta.

Pada akhirnya, pembelajaran atau ta’lim bukanlah memindahkan sekedar tumpukan informasi dari benak guru ke murid (intiqal al-ilm min dzihn al-mudarris ila dzihn al-talamidz), melainkan bersifat spiritual, instrumen bagi upaya meningkatkan ketakwaan dan kebersatuan diri (ittihad) dengan Tuhan.


Sumber: Kartanegara, Mulyadi, 2003, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan.

Yunizar Ramadhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *