Amaliyah al-Tadris; Metode Belajar Kritik di Pesantren, Menjadi Pendidik Profesional

Amaliyah al-Tadris; Metode Belajar Kritik di Pesantren, Menjadi Pendidik Profesional

Pecihitam.org – Pesantren yang menganut sistem Tarbiyah al-Mu’allimin al-Islamiyah (Pendidikan Guru Islami, disingkat TMI) melaksanakan satu agenda wajib setiap tahun, yaitu ‘Amaliyah al-Tadris atau Praktek Mengajar. Dalam aktivitas yang menjadi bagian dari kurikulum pesantren itu santri dan santriwati kelas akhir (niha’iy) tak hanya belajar mengajar dan belajar menjadi guru, melainkan juga belajar kritik di pesantren mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kegiatan yang serupa micro teaching di perguruan tinggi ini tak sekedar bertujuan untuk mempersiapkan calon-calon guru profesional. Pesantren percaya bahwa pada akhirnya lulusan-lulusan pesantren akan menjadi pendidik, baik bagi masyarakat sekitarnya atau setidaknya keturunan-keturunan mereka. Dengan mempelajari dasar-dasar metode mengajar yang khas, santri dan santriwati diharapkan mampu menyebarkan ilmunya kepada orang lain.

‘Amaliyah al-tadris mula-mula menuntut pesertanya membuat i’dad al-tadris atau semacam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang tentunya ditulis dengan bahasa Arab atau bahasa Inggris.

I’dad kemudian diperiksa oleh musyrif (pembimbing atau supervisor) dari kalangan guru pesantren. Setelah persiapan mengajar purna, peserta lantas berlatih mengajar di bawah pengawasan para pembimbingnya.

Setibanya hari dan waktu yang ditentukan, peserta yang terdiri dari santri dan santriwati paling senior itu mengajar di kelas-kelas adik-adik santrinya sebagai pengganti guru-guru mata pelajaran.

Mata pelajaran yang diajarkan pun beragam, mulai dari bahasa Arab dasar, Nahwu, Muthala’ah, Mahfuzhat, hingga Hadits, Tafsir, Fiqih dan lain-lain.

Selama melaksanakan praktek mengajar peserta diawasi oleh musyrif dan sesama santri yang tergabung dalam satu kelompok ‘amaliyah al-tadris. Musyrif dan rekan-rekan  santri mencatat dan menilai berbagai aspek kepengajaran dalam penampilannya, apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah mereka pelajari dari mata pelajaran khusus al-Tarbiyah wa al-Ta’lim. Catatan-catatan dan penilaian-penilaian itu dibawa ke dalam proses naqd seusai praktek mengajar.

Baca Juga:  20 Juni, Santri di Kediri Akan Kembali Mondok

Proses naqd inilah yang paling menarik dari keseluruhan kegiatan ‘amaliyah al-tadris. Di dalamnya para santri menyampaikan kritik (naqd) terhadap penampilan pelaksana praktek mengajar berdasarkan catatan-catatan yang telah mereka buat. Santri pelaksana praktek mengajar yang dikiritik, di lain pihak, berupaya membantah kritik-kritik itu dengan argumen-argumennya sendiri.

Proses naqd dalam ‘amaliyah al-tadris nampaknya dirasa tidak hanya penting dalam ruang lingkup pendidikan dan pengajaran, melainkan juga penting untuk membentuk kepribadian para santri dan santriwati yang sedang dan akan menjalani kehidupannya di tengah suasana kemasyarakatan kita saat ini.

Kritik telah memenuhi udara kehidupan kita sehari-hari, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai bagian dari bangsa ini, karena demikianlah salah satu ciri era reformasi, yaitu keterbukaan terhadap kritik. Setelah Orde Lama dan Orde Baru jatuh, setiap warga negara leluasa melancarkan kritik terhadap pemerintah.

Lama-lama kritik menjadi budaya dalam kehidupan setiap lapisan masyarakat. Tidak hanya kepada pemerintah, kritik juga tertuju pada kepala daerah, kepala perusahaan, pemilik modal, kepala-kepala lembaga-lembaga sosial termasuk lembaga pendidikan, bahkan sampai ke ketua RT, guru-guru, orangtua dan kawan-kawan sejawat.

Terbukanya kritik berarti setiap individu dan kelompok menyadari dirinya adalah manusia yang bebas dan berhak melancarkan kritik. Masing-masing merasa punya posisi dalam struktur masyarakat. Karena masing-masing merasa punya posisi mencuatlah politik identitas, demi menegaskan posisi individu dan kelompok itu.

Baca Juga:  Mengapa Pesantren Masih Diminati di Tengah Maraknya Sekolah Islam Modern?

Politik identitas kemudian mengubah kritik menjadi nyinyir, kritik membabi-buta, penuh intrik, diliputi rasa iri dan dengki. Kritik yang sejatinya produktif dan membangun akhirnya hanyalah alat untuk menyalahkan, menjatuhkan dan menyingkirkan orang lain. Hadirnya media baru berupa media sosial tentu saja memperparah suasana kritik-mengkritik masyarakat kita hingga hari ini.

Dalam konteks inilah belajar kritik di pesantren melalui prosesi naqd dalam ‘amaliyah al-tadris memiliki signifikansinya. Agar kritik-kritik yang diutarakan bersifat mendidik dan membangun, prosesi naqd juga didampingi oleh para musyrif yang ditunjuk untuk membimbing kelompok-kelompok‘amaliyah al-tadris.

Melalui arahan para musyrif, para santri pengkritik harus menunjukkan bukti kuat bahwa rekannya yang melaksanakan praktek mengajar telah melakukan kesalahan. Tentu saja penilaian itu didasarkan pada kaidah-kaidah kepengajaran yang baku.

Tak hanya itu, mereka juga harus melengkapi kritik mereka dengan saksi-saksi, apakah rekan-rekan lain juga menyaksikan atau mengetahui kesalahan yang telah dibuat itu.

Santri pelaksana praktek mengajar yang dikritik diberikan kesempatan untuk membela dirinya. Ia berhak untuk menyanggah kritik-kritik tersebut berdasarkan argumen-argumen yang jelas dan bertanggung jawab.

Jika tak mampu membantah kritik-kritik, ia harus menerimanya dengan lapang dada dan menjadikan kritik-kritik itu sebagai perbaikan bagi kualitas mengajarnya.

Prosesi naqd dengan demikian telah memainkan peran yang sangat penting dalam kepribadian santri dan santriwati untuk menjalani kehidupannya sekarang dan di kemudian hari.

Di sana mereka tidak hanya belajar metode-metode dan teknik-teknik mengajar, tapi juga belajar berani menyampaikan kritik dan bersedia untuk dikiritik.

Baca Juga:  Pesantren dan Kitab Kuning: Dua Azimat NU Sesungguhnya

Namun pelajaran terpenting bagi santri dan santriwati, begitu pula bagi para guru, dalam ‘amaliyah al-tadris adalah bahwa kritik terbaik adalah kritik terhadap diri sendiri.

Sebelum mempersilahkan para santri mengkritik temannya, santri yang melaksanakan praktek mengajar terlebih dahulu diharuskan mengungkapkan kekurangan dan kekeliruan dalam praktek mengajarnya.

Salah seorang guru yang ditunjuk sebagai musyrif mengatakan bahwa ia memberi nilai yang tinggi bagi santri pelaksana praktek mengajar yang banyak mengkritik penampilannya sendiri. “Semakin banyak kritiknya terhadap dirinya sendiri, semakin tinggi pula nilai ‘amaliyah al-tadris yang ia dapat,” ungkapnya.

Walhasil, santri pelaksana praktek mengajar yang dibimbingnya memborong kritik yang seharusnya disampaikan teman-temannya untuk mengkritik dirinya sendiri, sampai-sampai teman-temannya itu kehabisan naqd.

Ini menjadi satu nasihat penting bagi kita: “kritiklah diri sendiri sebanyak-banyaknya sampai orang lain kehabisan kritik.” Bukankah ini seirama dengan seruan Sahabat Umar ibn Khattab yang masyhur itu, “hasibu anfusakum qabla an tuhasabu” (hitung-hitunglah dirimu sebelum [amal] kamu dihitung)?!

Akhirnya, ‘amaliyah al-tadris adalah salah satu bentuk pendidikan yang istimewa di pesantren. Bukan hanya belajar metode-metode dan teknik-teknik mengajar yang baik, dengan belajar kritik di pesantren, para santri dan santriwati belajar membangun kepribadian dan karakter mereka. Inilah salah satu kontribusi pesantren untuk umat.

Yunizar Ramadhani