Landasan Amaliah Aswaja: Bacaan Bilal Jumat Menjelang Khatib Naik Mimbar

bacaan bilal jumat

Pecihitam.org – Salah satu amaliah Aswaja yang khas adalah adanya bacaan tarqiyyah oleh Bilal pada pelaksanaan Jumat sebelum khatib naik ke mimbar.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bahkan berdasarkan pengalaman saya semasa kuliah dan dan berdomisili di kota, teman-teman sering bilang begini, “Jika di masjidnya ada bilal pada saat salat Jumat, maka itu adalah masjidnya orang NU. Sebaliknya, jika tidak ada bilalnya, maka itu masjid orang Muhammadiyah

Walau pernyataan demikian tidak sepenuhnya benar, akan tetapi tidak bisa kita pungkiri adanya. Bahwa memang salah satu ciri khas masjid yang dikelola oleh Nahdliyyin adalah adanya bilal saat pelaksanaan salat Jumat.

Jadi gambarannya begini, sebelum khatib maju menyampaikan khutbahnya, terlebih dahulu ada pembacaan tarqiyyah, bacaan sebagai tanda khatib akan segera naik ke atas mimbar.

Secara bahasa, tarqiyyah berarti “menaikan”. Petugas yang membacanya disebut muraqqi atau bilal. Biasanya muraqqi sekaligus bertindak sebagai muadzin. Tapi di beberapa masjid di kampung, ada juga yang antara muraqqi dan muadzin merupakan orang yang berbeda.

Mengenai pembacaan tarqiyyah ini tak jarang kita mendengar sebagian kelompok yang menudingnya sebagai bid’ah. Apakah benar demikian?

Sebelum dijawab mengenai status hukumnya, perlu diketahui terlebih dahulu bacaan yang terkandung dalam tarqiyyah.

Dan berikut redaksi pembacaan tarqiyyah yang yang sering kita jumpai di beberapa daerah:

مَعَاشِرَالْمُسْلِمِينَ، وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِينَ رَحِمَكُمُ اللهِ، رُوِيَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ، وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ (أَنْصِتُوا وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا رَحِمَكُمُ اللهِ ٢×) أَنْصِتُوا وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ١×

Setelah bilal selesai membaca kalimat di atas, kemudian khatib maju menerima tongkat dan ketika naik ke atas mimbar, bilal membaca shalawat ini:

Baca Juga:  Zakat Emas Yang Dicicil, Bagaimana Hukumnya?

اللَّـٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ٢× ، اللَّـٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَحَبِيبِنَا وَشَفِيعِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْ سَادَتِنَا أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ أَجْمَعِينَ

Kemudian setelah khatib berada di atas mimbar, bilal menghadap kiblat dan membaca shalawat dan doa sebagai berikut:

اللَّـٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اللَّـٰهُمَّ قَوِّ اْلإِسْلاَمَ  وَاْلإِيمَانَ، مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، وَانْصُرْهُمْ عَلَى مُعَانِدِيْ الدِّينَ رَبِّ اخْتِمْ لَنَا مِنْكَ بِالْخَيْرِ، يَاخَيْرَ النَّاصِرِينَ، بِرَحْمَتِكَ يآأَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

Setelah kita oerhatikan, ternyata bacaan-bacaan bilal dalam shalat Jumat tersebut, minimal mengandung empat hal.

Pertama, anjuran mendengarkan secara seksama khutbah yang akan disampaikan khatib. Kedua, larangan berbicara saat khutbah berlangsung.
Ketiga, pembacaan shalawat kepada Nabi. Keempat, mendoakan kaum muslimin dan muslimat.

Dan ternyata, empat isi kandungan tarqiyyah tersebut merupakan hal yang positif. Karennya, tradisi pembacaan tarqiyyah menurut mayoritas ulama adalah bid’ah hasanah.

Meski tidak pernah ada di zaman Nabi dan tiga khalifah setelahnya, namun isi kandungan tarqiyyah mengarah kepada hal yang positif.

Tidak setiap hal yang baru disebut bid’ah yang tercela selagi tercakup dalam dalil-dalil anjuran umum, maka tergolong hal yang baik, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama dalam kajian tentang bid’ah.

Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi, misalnya. Beliau memberikan penjelasan sebagai berikut mengenai bacaan bilal pada pelaksanaan Shalat Jumat

فرع – اتخاذ المرقي المعروف بدعة حسنة لما فيها من الحث على الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم بقراءة الآية المكرمة وطلب الإنصات بقراءة الحديث الصحيح الذي كان صلى الله عليه وسلم يقرؤه في خطبه ولم يرد أنه ولا الخلفاء بعده اتخذوا مرقيا

Baca Juga:  Tata Cara Shalat Jenazah Menurut Madzhab Syafii

“(Sub permasalahan). Mengangkat muraqqi sebagaimana tradisi yang terlaku adalah bid’ah yang baik, karena mengandung hal yang positif berupa anjuran membaca shalawat kepada Nabi dengan membaca ayat Al-Qur’an, anjuran diam saat khutbah dengan menyebutkan dalil hadits shahih yang dibaca Nabi dalam beberapa khutbahnya. Tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa Nabi dan tiga khalifah setelahnya mengangkat seorang muraqqi.” (Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, Juz I, halaman 419)

Imam Ramli, sebagai salah seorang ulama Madzhab Syafii yang berada pada tataran pemberi fatwa, ketika ditanya tentang hukum bacaan bilal menjelang khutbah, beliau menjajawab

فعلم أن هذا بدعة لكنها حسنة ففي قراءة الآية الكريمة تنبيه وترغيب في الإتيان بالصلاة على النبي في هذا اليوم العظيم المطلوب فيه إكثارها وفي قراءة الخبر بعد الأذان وقبل الخطبة ميقظ للمكلف لاجتناب الكلام المحرم أو المكروه في هذا الوقت على اختلاف العلماء فيه وقد كان النبي  يقول هذا الخبر على المنبر في خطبته إهـ

“Maka dapat diketahui bahwa tarqiyyah adalah bid’ah akan tetapi bid’ah yang baik. Dalam pembacaan ayat suci Al-Qur’an (yang berkaitan anjuran membaca shalawat) merupakan sebuah peringatan dan motivasi untuk mebaca shalawat kepada Nabi di hari Jumat ini yang dianjurkan untuk memperbanyak bacaan shalawat. Pembacaan hadits setelah adzan dan sebelum khutbah mengingatkan mukallaf untuk menjauhi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan pada waktu ini (saat khutbah) sesuai dengan ikhtilaf ulama dalam masalah tersebut. Dan sesungguhnya Rasulullah membaca hadits tersebut saat menyampaikan khutbahnya di atas mimbar”. (Fatawa al-Ramli Hamisy al-Fatawa al-Kubra, Juz I, hal.276)

Bahkan, menurut pandangan Ibnu Hajar Al-Haitami sebagaimana dinukil oleh Syaikh Sulaiman al-Jamal, tradisi muraqqi sama sekali tidak bisa disebut bid’ah, bahkan tarqiyyah hukumnya sunah.

Baca Juga:  Inilah Jenis-Jenis Jarimah / Tindak Pidana yang Terdapat dalam Fiqih Jinayah

Sebab tradisi tersebut memiliki dalil dalam hadits, yaitu saat melaksanakan khutbah haji wada’, Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabat untuk memberi instruksi kepada jamaah untuk mendengarkan secara seksama khutbah Nabi.

Syaikh Sulaiman al-Jamal menulis:

قال حج وأقول يستدل لذلك أي للسنة بأنه صلى الله عليه وسلم أمر من يستنصت له الناس عند إرادته خطبة منى في حجة الوداع  وهذا شأن المرقى فلا يدخل في حد البدعة أصلا إهـ

“Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, saya mengatakan, dalil mengangkat muraqqi dari sunah Nabi adalah bahwa Rasulullah memerintahkan seseorang untuk mengintruksikan manusia untuk diam saat beliau Nabi hendak menyampaikan khutbah Mina di Haji wada’, yang demikian ini adalah ciri khas dari seorang muraqqi, maka tradisi tarqiyyah sama sekali tidak masuk dalam kategori bid’ah.” (Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, Juz II, halaman 35)

Dengan beberapa penjelasan di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa bacaan bilal menjelang khatib naik ke mimbar atmerupakan hal yang baik untuk dilakukan dan dilestarikan.

Jadi, bacaan bilal Jumat merupakan hal yang positif. Maka, tidak ada ruang untuk menyatakan bahwa ini merupakan bid’ah yang tercela. Wallahu a’lam bisshawab.

Faisol Abdurrahman