Bagaimana Budaya Pesta dan Selametan dalam Pandangan Islam?

Budaya Pesta dan Selametan dalam Pandangan Islam

Pecihitam.org – Dalam realitasnya, budaya selalu menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Kebahagiaan, rasa syukur dan nikmat pada dasarnya boleh dan selalu diekspresikan dengan budaya, baik yang bertalian dengan agama ataupun tidak. Di antara budaya syukur yang masyhur di tengah masyarakat kita adalah berbagai macam budaya selametan, seperti selametan kelahiran.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam budaya selametan kelahiran saja, ada yang disebut selametan tiga bulanan (neloni), empat bulanan (ngupati) dan tujuh bulanan (mitoni). Begitupun dengan pesta dan selametan lainnya, seperti selametan membangun rumah, selametan naik pangkat, selametan hendak bepergian, selametan terhindar dari bahaya dan lainnya.

Dalam prakteknya, setiap daerah memiliki cara dan ciri khasnya masing-masing untuk melaksanakannya.

Namun demikian, tidak semua sepakat akan ekspresi syukur yang diejawantahkan dengan budaya. Argumen yang diangkat tidak jauh dari “bid’ah”, selalu demikian, kaku.

Mereka tetap kekeh dan merasa bahwa tradisi dan amalan tersebut tidak dilakukan oleh Nabi. Oleh karenanya, titel bid’ah sangat layak disematkan terhadap tradisi “baru” tersebut. Demikianlah anggapan yang digulirkan.

Baca Juga:  Perbedaan Syariat dan Fiqih dalam Terminologi Hukum Islam

Namun, bagaimana pandangan para ulama saleh terdahulu mengenai ragam pesta dan budaya selametan di atas? Apakah benar yang demikian mutlak dianggap sebagai bid’ah yang tidak ada kebaikannya sama sekali dalam pandangan Islam karena tidak dilakukan Nabi?

Dalam menyikapi hal ini, Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in juz 1 halaman 493 menjelaskan sebagai berikut:

ﻭﺗﺴﻦ ﺇﺟﺎﺑﺔ ﺳﺎﺋﺮ اﻟﻮﻻﺋﻢ ﻛﻤﺎ ﻋﻤﻞ ﻟﻠﺨﺘﺎﻥ ﻭاﻟﻮﻻﺩﺓ ﻭﺳﻼﻣﺔ اﻟﻤﺮﺃﺓ اﻟﻄﻠﻖ ﻭﻗﺪﻭﻡ اﻟﻤﺴﺎﻓﺮ ﻭﺧﺘﻢ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻫﻲ ﻣﺴﺘﺤﺒﺔ ﻓﻲ ﻛﻠﻬﺎ.

Artinya: Disunnahkan untuk menghadiri berbagai undangan selametan dan pesta, seperti selamatan khitan, selametan usia pernikahan (rukunnya jalinan rumah tangga), selametan atas kedatangan seseorang yang bepergian, selametan khatam Alquran dan sebagainya. Semuanya sunnah dilaksanakan dan sunnah menghadirinya.

Tradisi selametan ini bukan hal baru di Indonesia. Di samping ajaran agama, masyarakat membalutinya dengan bungkus budaya. Apik dan menarik.

Berapa ragam walimah khitan dengan suguhan budaya yang tidak ditemui di banyak negara. Berapa banyak pasangan suami istri yang merayakan usia pernikahannya dengan penuh suka cita dan bersedekah ria.

Baca Juga:  Fadhilah Membaca Surat Al-Mulk; Dari Penyelamat Siksa Kubur hingga Pembela di Hari Kiamat

Betapa antusiasnya masyarakat dalam mengunjungi rumah mereka yang sehabis “pulang haji” dan bersedekah karenanya. Betapa seru dan harunya santri dan masyarakat ketika Alquran sudah khatam dibacakan. Ada yang mengirinya dengan budaya tumpeng, berkat, makanan ringan, buah-buahan, gema doa yang membahana.

Semua adalah ajaran syariat yang dibaluti dengan produk budaya. Sungguh, sangat tidak dapat dipertentangkan.

Hal ini setidaknya karena beberapa faktor, di antaranya: di dalamnya membacakan Alquran, berdoa, bershalawat, bersedekah dan mauidzah hasanah (nasihat dan penyampaian ajaran syariat).

Jelas, tidak satupun hal yang bertentangan dengan syariat. Bahkan sebagian orang ada yang memeriahkannya dengan budaya lokal sebagai hiburan bagi masyarakat, jelas ini kearifan yang harus dijaga dan digalakkan.

Lebih jauh dari itu, sebagian masyarakat Indonesia kerapkali mengadakan pesta besar-besaran yang diselenggarakan tanpa adanya sebab tertentu.

Pesta ini merupakan perantara bagi mereka untuk saling bersilaturahim dan saling meningkatan keharmonisan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Istilah lain dari pesta ini adalah pesta rakyat. Dalam istilah agama Islamnya adalah waliimah al-ma’dubah.

Baca Juga:  4 Etika Berteman dalam Islam Menurut Imam Al Ghazali

Berikut penjelasannya dalam kitab al-Hawii fi Fiqh al-Syafi’i juz 9 halaman 555.

وَوَلِيمَةُ الْمَأْدُبَةِ : هِيَ الْوَلِيمَةُ لِغَيْرِ سَبَبٍ . فَإِنَّ خُصَّ بِالْوَلِيمَةِ جَمِيعُ النَّاسِ سُمِّيَتْ جَفَلَى ، وَإِنْ خُصَّ بِهَا بَعْضُ النَّاسِ ، سُمِّيَتْ نَقَرَى

Artinya: Walimah ma’dubah adalah pesta yang dilaksanakan tanpa adanya sebab tertentu. Jika pesta ini ditujukan untuk umum, maka dinamai “jafla”. Namun jika untuk kalangan tertentu saja, maka dinamai “naqara”.

Sungguh, sebagai bagian dari bangsa, kita layak bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat budaya yang tak terhingga ini. Semoga kita dapat menjaga dan melestarikannya dengan baik.

Demikian, wallaahu a’lam bishshawaab.

Azis Arifin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *