Dosen Universitas Australia: Mereka yang Kritik Film The Santri Tak Bisa Hargai Seni

The Santri

Pecihitam.org – Film The Santri yang merupakan inisiasi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menuai kontroversi dari sejumlah pihak. Beberapa diantaranya menuding film yang disutradarai Livi Zheng ini cenderung liberal dan tidak mencerminkan kehidupan santri yang sebenarnya.

Menanggapi tudingan tersebut, Tokoh Nadlatul Ulama yang juga dosen di Fakultas Hukum Monash University Australia Nadirsyah Hosen balik mengkritik kalangan yang memprotes  film The Santri.

Lewat akun Twitternya, @na_dirs, Narisyah mengatakan, mereka yang mengkritik film tersebut tidak punya jiwa seni dan imajinasi dan hanya hidup di dunia halusinasi.

“Mereka, ingin semuanya ideal. Tetapi, mereka lupa dengan realitas. Tradisi Islam, sebenarnya kaya dengan syair, roman, qasidah, dan kisah yang humanis dan realistis. Maka film The Santri juga harus diletakkan dalam perspektif itu,” kata Narisyah di cuitan Twitternya, seperti dilansir dari Akurat, Rabu, 18 September 2019.

Baca Juga:  Idap Gangguan Jiwa, Santri Malang Raya Cabut Laporan Terhadap Penghina Mbah Moen

“Kisah seribu satu malam, misalnya, sangat melegenda. Laila Majnun juga demikian. Isinya romantisme. Di tanah air, Buya Hamka mengarang kisah roman “Di bawah lindungan ka’bah” dan lain-lain. Kreatif, imajinatif dan keluar dari dunia “ideal” menuju realita keseharian. Nikmati tanpa menghakimi,” sambugnya.

Menurutnya, jika ada pihak yang protes kenapa film The Santri menggambarkan kondisi yang realistis relasi dengan lawan jenis dan dengan pemeluk agama lain, hal itu adalah karya seni.

“Gak usah dihajar pakai ayat dan hadits, serta kondisi “ideal” santri yang seolah gak realistis itu,” ujarnya.

“Para santri tahu kok gimana kondisi mereka sehari-hari. Ada yang ideal ngaji melulu, tapi banyak juga yang punya kisah kasih asmara tak tersampaikan. Halah!” tambahnya.

Baca Juga:  Gandeng Sutradara Livi Zheng, PBNU Garap Film 'The Santri'

Lanjut Nardirsyah mengungkapkan, Gus Dur juga pernah jadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan menikmati musik klasik. Gus Mus yang budayawan menulis puisi romantis-spiritual, Gus Muwafiq yang main gitar, Wali Songo yang dakwah lewat wayang. Semuanya, kata Nadirsyah, berjiwa seni dan punya imajinasi kreatif

“Sayangnya buat sebagian orang, dunia ini hanya hitam-putih; haram-halal; sah-batal; sunnah-bid’ah; kafir-muslim, dan seterusnya. Mereka seolah tidak menyisakan ruang keindahan di tengah-tengah hati dan pikirannya.  Film, puisi, novel, karikatur… itu karya seni. Nilailah dengan jiwa seni anda,” ujarnya.

“Jangankan soal film yang gak ada di jaman Nabi itu. Gubahan kalimat shalawat yang indah berasal dari gabungan kecintaan kepada Nabi dan jiwa seni, pun dianggap sesat oleh sebagian kalangan. Apalagi drama Korea,” sambungnya.

Baca Juga:  Jelang Muktamar, Warga NU Siap Sumbang Seribu Ekor Ayam dan 10 Ton Beras

Menurutnya, pihak-pihak yang menolak penayangan film The Santri adalah mereka yang hidupnya hampa dan tidak bisa menghargai karya seni.

“Lebih dari itu, pandangan mereka tidak bisa melihatNya di antara ayat-ayat alam semesta ini. Jangankan melihat ayatNya pada karya seni, mereka tidak akan bisa melihat ayatNya pada binatang yang mereka anggap najis,” ujarnya.

“Masalahnya bukan hanya pada pemahaman keislaman mereka, tapi juga cara mereka memandang “dunia di luar diri mereka.” Padahal hidup saya, anda dan kita semua adalah karya seni Sang Pencipta Yang Maha Agung. Shallu ‘alan Nabi,” pungkasnya.  

Muhammad Fahri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *