Hadits Shahih Al-Bukhari No. 16 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 16 – Kitab Iman ini, menjelaskan bahwa mencintai kaum anshar adalah termasuk tanda keimanan. Imam Bukhari menyebutkan hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar juga termasuk salah satu tanda iman, sebab mencintai mereka karena mereka telah menolong Rasulullah adalah termasuk mencintai seseorang karena Allah. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 103-105.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَبْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Walid] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] telah mengabarkan kepadaku [Abdullah bin Abdullah bin Jabar], berkata; aku mendengar [Anas] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tanda iman adalah mencintai (kaum) Anshar dan tanda nifaq adalah membenci (kaum) Anshar”.

Keterangan Hadis: Dalam bab yang lalu telah dijelaskan, bahwa di antara tanda-tanda iman adalah mencintai sesamanya karena Allah, sedangkan di sini Imam Bukhari menyebutkan hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar juga termasuk salah satu tanda iman, sebab mencintai mereka karena mereka telah menolong Rasulullah adalah termasuk mencintai seseorang karena Allah. Sebenarnya mereka sudah termasuk dalam sabda Nabi, “Mencintai seseorang karena Allah,” akan tetapi disebutkannya mereka secara khusus dalam hadits ini menunjukkan adanya perhatian terhadap mereka.

آيَة الْإِيمَان (tanda-tanda iman), Demikianlah penulisan kata tersebut yang terdapat dalam semua riwayat, baik dalam shahih Bukhari dan Muslim, kitab-kitab sunan, mustakhraj maupun musnad. Kata آيَة berarti “tanda” seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhari.

Dalam kitab “I’rab Al Hadits” karya Abu Al Baqa’ Al Akbari disebutkan dengan lafazh “innahul iiman” yaitu dengan menggunakan kata “innahu ” dan “al iman” dalam keadaan marfu’. Kemudian Abu Al Baqa’ Al Akbari meng ‘irabnya dengan mengatakan bahwa kata “inna”berfungsi sebagai ta’kid (penguat), kata ganti “hu” adalah sebagai kata ganti keadaan “dhamir asy-sya’ni”, sedangkan kata iman adalah sebagai mubtada’ (subyek) dan kata selelahnya adalah sebagai khabar (predikat). Dengan demikian, hadits tersebut mengandung pengertian bahwa yang dinamakan iman adalah mencintai kaum Anshar,

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 602 – Kitab Adzan

Hal ini adalah merupakan kesalahan dalam penulisan karena dari segi maknanya- menimbulkan kesan bahwa iman hanya terbatas pada mencintai kaum Anshar saja, padahal sebenarnya tidak demikian. Ada yang berpendapat bahwa lafazh yang masyhur dari hadits tersebut juga mengindikasikan bahwa iman hanya terbatas pada mencintai kaum Anshar saja, demikian pula dengan hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bab “Fadha’ilul Anshar (keutamaan kaum Anshar)” dari Al Barra bin ‘Azib yang berbunyi, “Tidak ada yang men-cintal golongan Anshar kecuali orang yang beriman.”

Mengenai hadits pertama, dapat dijawab bahwa tanda-tanda (‘alamah) adalah seperti khashah (istilah dalam ilmu manthiq yang berarti ciri khusus) yang terdapat dalam beberapa benda dan tidak bisa diterapkan sebaliknya. Kita juga dapat menerima dakwaan adanya pembatasan tersebut, akan tetapi bukan secara hakiki melainkan hanya sebagai penekanan pada maknanya saja. Atau bisa jadi pembatasan itu bersifat hakiki, akan tetapi dikhususkan bagi orang yang membenci kaum Anshar karena mereka telah memberikan pertolongan kepada Rasulullah SAW.

Sedangkan mengenai hadits kedua, dapat dijawab bahwa maksud dari hadits tersebut adalah mencintai kaum Anshar hanya terdapat dalam diri orang mukmin. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa orang yang tidak mencintai kaum Anshar tidak termasuk orang mukmin, akan tetapi, maksudnya adalah bahwa orang yang tidak beriman tidak akan mencintai mereka.

Apabila ada sebuah pertanyaan, “Apakah orang yang membencinya termasuk dalam golongan munafik, meskipun ia telah berikrar dan percaya kepada Allah?” Maka jawabannya adalah bahwa berdasarkan zhahirnya kalimat tersebut memang mengandung pemahaman seperti itu. Akan tetapi maksud sebenarnya tidak demikian, karena kata “bughdhun (benci)” dalam hadits tersebut memiliki batasan, yaitu jika seseorang membenci mereka hanya karena mereka telah memberikan pertolongan kepada Rasulullah SAW, maka ia termasuk orang munafik.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 98 – Kitab Ilmu

Penafsiran semacam ini sesuai dengan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Naim dari Barra’ bin ‘Azib, “barang siapa yang mencintai kaum Anshar, maka aku akan mencintainya dengan sepenuh hati, dan barang siapa yang membenci kaum Anshar, maka aku akan membencinya dengan sepenuh hati” Tambahan seperti ini juga terdapat dalam bab “AJ Hub (cinta)” seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Imam Muslim juga telah meriwayatkan dari Abu Sa’id secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasul) dengan lafazh, “Tak ada seorang mukmin pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nyayang membenci kaum Anshar,” dan dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan, “mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” Ada kemungkinan kata tersebut disebutkan dengan fungsi sebagai peringatan (tahdzir), sehingga yang dimaksud bukanlah makna zhahimya dan oleh karena itu iman yang ada tidak digantikan dengan kekafiran yang merupakan kebalikan, tapi dengan kemunafikan yang mengisyaratkan bahwa janji dan ancaman tersebut ditujukan kepada orang yang menampakkan keimanannya. Sedangkan yang menampakkan kekafiran tidak termasuk dalam apa yang dimaksud, karena yang dilakukannya lebih keras dari itu.

الْأَنْصَار merupakan bentuk jamak (plural) dari kata نَاصِر atau نَصِير yang berarti “penolong.” Huruf lam dalam kata tersebut berfungsi untuk menunjukkan arti yang telah diketahui, maksudnya adalah para penolong Rasulullah. Mereka adalah suku Aus dan Khazraj yang sebelumnya dikenal dengan Ibnay Qailah atau dua anak Qailah yang merupakan nenek moyang mereka. Kemudian Rasulullah SAW menamakannya dengan “Anshar”, sehingga kata tersebut menjadi sebutan bagi mereka. Nama ini juga digunakan untuk menyebut keturunan, sekum dan pengikut mereka.

Pemberian gelar agung tersebut dikarenakan mereka telah memberikan pertolongan yang lebih besar kepada Rasulullah SAW dan para pengikutnya (Muhajirin,) dari pada kepada kabilah-kabilah lainnya. Mereka menolongnya dengan jiwa, harta dan bahkan mereka mendahulukan kepentingan kaum Muhajirin daripada kepentingan mereka sendiri.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 101-102 – Kitab Ilmu

Perbuatan mereka ini menyebabkan mereka dimusuhi oleh kabilah-kabilah Arab maupun non-Arab dan juga menimbulkan kedengkian dalam diri kabilah-kabilah tersebut. Permusuhan dan kedengkian ini sebenarnya disebabkan karena kebencian kepada mereka. Oleh karena itu, Rasulullah SAW memperingatkan kepada manusia agar tidak membenci kaum Anshar akan tetapi harus mencintainya, bahkan Rasulullah menjadikan hal itu sebagai tanda keimanan atau kemunafikan dengan maksud untuk mengingatkan akan keutamaan dan kemuliaan kaum Anshar. Bahkan orang yang ikut serta dalam apa yang mereka perbuat, juga masuk dalam keutamaan mereka yang disebutkan di atas.

Ditemukan dalam shahih Muslim dari Ali, bahwa Nabi berkata kepadanya, “Tidak ada yang mencintaimu kecuali orang mukmin dan tak ada yang membencimu kecuali orang munafik? Hadits ini disampaikan di depan para sahabat yang menunjukkan kesetaraan mereka dalam kemuliaan karena kontribusi yang mereka berikan kepada agama.

Pengarang Al Mafhum berkata, “Perang yang terjadi di antara mereka bukan karena hal ini, akan tetapi dikarenakan suatu perkara yang menyebabkan perselisihan, oleh karena itu kedua belah pihak tidak dapat divonis munafik, karena kondisi mereka pada saat itu adalah seperti hukum 2 orang mujtahid dalam berijtihad, yaitu bagi yang benar akan mendapatkan dua pahala, sedangkan yang salah mendapatkan satu pahala.

M Resky S