Hadits Shahih Al-Bukhari No. 331 – Kitab Tayammum

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 331 – Kitab Tayammum ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Tanah (Debu) Yang Baik Cukup Untuk Wudhu Orang Muslim Jika Tidak Ada Air” hadis berikut ini menceritakan  tentang tatacara salah satu mukjizat Rasulullah saw. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Tayammum. Halaman 620-634.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ عَنْ عِمْرَانَ قَالَ كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا فِي آخِرِ اللَّيْلِ وَقَعْنَا وَقْعَةً وَلَا وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ الْمُسَافِرِ مِنْهَا فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْسِ وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ اسْتَيْقَظَ فُلَانٌ ثُمَّ فُلَانٌ ثُمَّ فُلَانٌ يُسَمِّيهِمْ أَبُو رَجَاءٍ فَنَسِيَ عَوْفٌ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ الرَّابِعُ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَامَ لَمْ يُوقَظْ حَتَّى يَكُونَ هُوَ يَسْتَيْقِظُ لِأَنَّا لَا نَدْرِي مَا يَحْدُثُ لَهُ فِي نَوْمِهِ فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ عُمَرُ وَرَأَى مَا أَصَابَ النَّاسَ وَكَانَ رَجُلًا جَلِيدًا فَكَبَّرَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ فَمَا زَالَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى اسْتَيْقَظَ بِصَوْتِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي أَصَابَهُمْ قَالَ لَا ضَيْرَ أَوْ لَا يَضِيرُ ارْتَحِلُوا فَارْتَحَلَ فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى بِالنَّاس فَلَمَّا انْفَتَلَ مِنْ صَلَاتِهِ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ لَمْ يُصَلِّ مَعَ الْقَوْمِ قَالَ مَا مَنَعَكَ يَا فُلَانُ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَ الْقَوْمِ قَالَ أَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ وَلَا مَاءَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّعِيدِ فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ ثُمَّ سَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاشْتَكَى إِلَيْهِ النَّاسُ مِنْ الْعَطَشِ فَنَزَلَ فَدَعَا فُلَانًا كَانَ يُسَمِّيهِ أَبُو رَجَاءٍ نَسِيَهُ عَوْفٌ وَدَعَا عَلِيًّا فَقَالَ اذْهَبَا فَابْتَغِيَا الْمَاءَ فَانْطَلَقَا فَتَلَقَّيَا امْرَأَةً بَيْنَ مَزَادَتَيْنِ أَوْ سَطِيحَتَيْنِ مِنْ مَاءٍ عَلَى بَعِيرٍ لَهَا فَقَالَا لَهَا أَيْنَ الْمَاءُ قَالَتْ عَهْدِي بِالْمَاءِ أَمْسِ هَذِهِ السَّاعَةَ وَنَفَرُنَا خُلُوفًا قَالَا لَهَا انْطَلِقِي إِذًا قَالَتْ إِلَى أَيْنَ قَالَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ الَّذِي يُقَالُ لَهُ الصَّابِئُ قَالَا هُوَ الَّذِي تَعْنِينَ فَانْطَلِقِي فَجَاءَا بِهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَدَّثَاهُ الْحَدِيثَ قَالَ فَاسْتَنْزَلُوهَا عَنْ بَعِيرِهَا وَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِنَاءٍ فَفَرَّغَ فِيهِ مِنْ أَفْوَاهِ الْمَزَادَتَيْنِ أَوْ سَطِيحَتَيْنِ وَأَوْكَأَ أَفْوَاهَهُمَا وَأَطْلَقَ الْعَزَالِيَ وَنُودِيَ فِي النَّاسِ اسْقُوا وَاسْتَقُوا فَسَقَى مَنْ شَاءَ وَاسْتَقَى مَنْ شَاءَ وَكَانَ آخِرُ ذَاكَ أَنْ أَعْطَى الَّذِي أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ قَالَ اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ وَهِيَ قَائِمَةٌ تَنْظُرُ إِلَى مَا يُفْعَلُ بِمَائِهَا وَايْمُ اللَّهِ لَقَدْ أُقْلِعَ عَنْهَا وَإِنَّهُ لَيُخَيَّلُ إِلَيْنَا أَنَّهَا أَشَدُّ مِلْأَةً مِنْهَا حِينَ ابْتَدَأَ فِيهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْمَعُوا لَهَا فَجَمَعُوا لَهَا مِنْ بَيْنِ عَجْوَةٍ وَدَقِيقَةٍ وَسَوِيقَةٍ حَتَّى جَمَعُوا لَهَا طَعَامًا فَجَعَلُوهَا فِي ثَوْبٍ وَحَمَلُوهَا عَلَى بَعِيرِهَا وَوَضَعُوا الثَّوْبَ بَيْنَ يَدَيْهَا قَالَ لَهَا تَعْلَمِينَ مَا رَزِئْنَا مِنْ مَائِكِ شَيْئًا وَلَكِنَّ اللَّهَ هُوَ الَّذِي أَسْقَانَا فَأَتَتْ أَهْلَهَا وَقَدْ احْتَبَسَتْ عَنْهُمْ قَالُوا مَا حَبَسَكِ يَا فُلَانَةُ قَالَتْ الْعَجَبُ لَقِيَنِي رَجُلَانِ فَذَهَبَا بِي إِلَى هَذَا الَّذِي يُقَالُ لَهُ الصَّابِئُ فَفَعَلَ كَذَا وَكَذَا فَوَاللَّهِ إِنَّهُ لَأَسْحَرُ النَّاسِ مِنْ بَيْنِ هَذِهِ وَهَذِهِ وَقَالَتْ بِإِصْبَعَيْهَا الْوُسْطَى وَالسَّبَّابَةِ فَرَفَعَتْهُمَا إِلَى السَّمَاءِ تَعْنِي السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ أَوْ إِنَّهُ لَرَسُولُ اللَّهِ حَقًّا فَكَانَ الْمُسْلِمُونَ بَعْدَ ذَلِكَ يُغِيرُونَ عَلَى مَنْ حَوْلَهَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَلَا يُصِيبُونَ الصِّرْمَ الَّذِي هِيَ مِنْهُ فَقَالَتْ يَوْمًا لِقَوْمِهَا مَا أُرَى أَنَّ هَؤُلَاءِ الْقَوْمَ يَدْعُونَكُمْ عَمْدًا فَهَلْ لَكُمْ فِي الْإِسْلَامِ فَأَطَاعُوهَا فَدَخَلُوا فِي الْإِسْلَامِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ صَبَأَ خَرَجَ مِنْ دِينٍ إِلَى غَيْرِهِ وَقَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ { الصَّابِئِينَ } فِرْقَةٌ مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ يَقْرَءُونَ الزَّبُورَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepadaku [Yahya bin Sa’id] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Auf] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Raja’] dari [‘Imran] berkata, “Kami pernah dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kami berjalan di waktu malam hingga ketika sampai di akhir malam kami tidur, dan tidak ada tidur yang paling enak (nyenyak) bagi musafir melebihi yang kami alami. Hingga tidak ada yang membangunkan kami kecuali panas sinar matahari. Dan orang yang pertama kali bangun adalah si fulan, lalu si fulan, lalu seseorang yang Abu ‘Auf mengenalnya namun akhirnya lupa. Dan ‘Umar bin Al Khaththab adalah orang keempat saat bangun, Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila tidur tidak ada yang membangunkannya hingga beliau bangun sendiri, karena kami tidak tahu apa yang terjadi pada beliau dalam tidurnya. Ketika ‘Umar bangun dan melihat apa yang terjadi di tengah banyak orang (yang kesiangan) -dan ‘Umar adalah seorang yang tegar penuh keshabaran-, maka ia bertakbir dengan mengeraskan suaranya dan terus saja bertakbir dengan keras hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun akibat kerasnya suara takbir ‘Umar. Tatkala beliau bangun, orang-orang mengadukan peristiwa yang mereka alami. Maka beliau bersabda: “Tidak masalah, atau tidak apa dan lanjutkanlah perjalanan.” Maka beliau meneruskan perjalanan dan setelah beberapa jarak yang tidak jauh beliau berhenti lalu meminta segayung air untuk wudlu, beliau lalu berwudlu kemudian menyeru untuk shalat. Maka beliau shalat bersama orang banyak. Setelah beliau selesai melaksanakan shalatnya, didapatinya ada seorang yang memisahkan diri tidak ikut shalat bersama orang banyak. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Wahai Fulan, apa yang menghalangimu untuk shalat bersama orang banyak?” Orang itu menjawab, “Aku lagi junub, sementara air tidak ada.” Beliau lantas menjelaskan: “Kamu cukup menggunakan debu.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan perjalanan hingga akhirnya orang-orang mengadu kepada beliau bahwa mereka kehausan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta seseorang yang bernama Abu Raja’ -namun ‘Auf lupa- dan ‘Ali seraya memerintahkan keduanya: “Pergilah kalian berdua dan carilah air.” Maka keduanya berangkat hingga berjumpa dengan seorang wanita yang membawa kantung-kantung berisi air dengan untanya. Maka keduanya bertanya kepadanya, “Dimana ada air?” Wanita itu menjawab, “Terakhir aku lihat air di (daerah) ini adalah waktu sekarang ini. dan perjalanan kami ini juga dalam rangka mencari air.” Lalu keduanya berkata, “Kalau begitu pergilah”. Wanita itu bertanya, “Kalian mau kemana?” Keduanya menjawab, “Menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Wanita itu bertanya, “Kepada orang yang dianggap telah keluar dari agama (Shabi’i)?” Keduanya menjawab, “Ya dialah yang kamu maksud.” Kemudian kedua sahabat Nabi itu pergi bersama wanita tersebut menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Keduanya kemudian menceritakan peritiwa yang baru saja dialami. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda: “Turunkanlah dia dari untanya.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta bejana air, beliau lalu menuangkan di mulut kantung-kantung air (milik wanita itu), beliau lepas ikatan kantung-kantung air tersebut seraya berseru kepada orang banyak: “Ambillah air dan minumlah sesuka kalian!” Maka orang-orang memberi minum (tunggangan mereka) dan meminum sesuka mereka. Dan akhir, beliau memberi seember air kepada orang yang tadi terkena janabah. Beliau lalu berkata kepadanya: “Pergi dan mandilah.” Dans ambil berdiri wanita tersebut mengamati apa yang diperbuat terhadap air kepunyaannya. Demi Allah, kejadian tadi telah membuatnya terperanjat dan juga kami, kami saksikan airnya bertambah banyak dibanding saat yang pertama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda: “Berkumpulkan (makanan) untuknya.” Maka orang-orang pun mengumpulkan makanan berupa kurma, tepung, sawiq (campuran antara susu dengan tepung) untuk wanita tersebut. makanan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kain, mereka menaikkan wanita tersebut di atas kendaraan dan meletakkan makanan tersebut di depannya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada wanita tersebut: “Kamu mengetahui bahwa kami tidak mengurangi sedikitpun air milikmu, tetapi Allah yang telah memberi minum kepada kami.” Wanita tersebut kemudian pulang menemui keluarganya, mereka lalu bertanya, “Wahai fulanah, apa yang membuat kamu terlambat?” Wanita tersebut menjawab, “Suatu keajaiban! Aku bertemu dengan dua orang laki-laki yang kemudian membawaku bertemu dengan seorang yang disebut Shabi’I, lalu laki-laki itu berbuat begini begini. Demi Allah, dialah orang yang paling menakjubkan (membuat kejadian luar biasa) di antara yang ada ini dan ini.” Wanita tersebut berkata sambil memberi isyarat dengan mengangkat jari tengah dan telunjuknya ke arah langit, atau antara langit dan bumi. Maksudnya bersaksi bahwa dia adalah Utusan Allah yang haq. Sejak saat itu Kaum Muslimin selalu melindungi wanita tersebut dari Kaum Musyrikin dan tidaklah Kaum Muslimin merusak rumah atau kediaman wanita tersebut. Pada suatu hari wanita itu berkata kepada kaumnya, “Aku tidak memandang bahwa kaum tersebut membiarkan kalian dengan sengaja. Apakah kalian mau masuk Islam?” Maka kaumnya mentaatinya dan masuk ke dalam Islam.” Abu ‘Abdullah berkata, “Yang dimaksud dengan Shabi’i adalah keluar dari suatu agama kepada agama lain.” Sedangkan Abu’ ‘Aliyah berkata, “Ash-Shabi’un adalah kelompok dari Ahlul Kitab yang membaca Kitab Zabur.”

Baca Juga:  Perbedaan Ulama dalam Pembagian Fase Periodeisasi Syarah Hadis

Keterangan Hadis: كُنَّا فِي سَفَر مَعَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Ketika kami dalam suatu perjalanan bersama Nabi SAW). Ada perbedaan dalam menentukan perjalanan yang dimaksud. Menurut riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah, peristiwa itu terjadi ketika mereka kembali dari Khaibar, dimana telah disebutkan kisah yang mirip dengan kejadian ini. Menurut riwayat Abu Dawud dari hadits Ibnu Mas’ud disebutkan, أَقْبَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْحُدَيْبِيَة لَيْلًا فَنَزَلَ فَقَالَ مَنْ يَكْلَؤُنَا ؟ فَقَالَ بِلَال أَنَا (Nabi SAW pulang dari Hudaibiyah pada malam hari, lalu beliau SAW berhenti dan berkata, ”Siapa yang menjaga kita? “Maka Bilal berkata, “Saya ”. ). (Al Hadits)

Sementara dalam kitab Al Muwaththa ‘ disebutkan dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW berhenti sebentar pada suatu malam di jalan Makkah dan menyuruh Bilal sebagai wakil [penjaga]. Dalam kitab mushannaf Abdur-Razzaq dari Atha’ bin Yasar secara mursal disebutkan, bahwa hal itu terjadi di jalan Tabuk. Demikian pula yang dinukil oleh Al Baihaqi dalam kitab Ad-Dala ‘il dari hadits Uqbah bin Amir.

Diriwayatkan dalam hadits panjang oleh Muslim dari hadits Abu Qatadah, yang dikutip secara ringkas oleh Imam Bukhari dalam bab shalat. Dalam hal ini disebutkan kisah bahwa mereka tertidur sehingga tidak melaksanakan shalat subuh, tetapi tidak disebutkan dengan pasti perjalanan yang mana.

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, bahwa peristiwa itu terjadi pada masa perang Jaisy Al Umara’, tetapi Ibnu Abdil Barr mengkritiknya dengan mengatakan bahwa perang Jaisy Al Umara’ adalah perang Mu’tah, dimana Nabi SAW tidak turut dalam perang itu.

Para ulama berbeda pendapat, apakah peristiwa itu terjadi sekali atau lebih? Maksudnya kejadian dimana mereka tertidur sehingga tidak shalat subuh. Al Ashili menetapkan bahwa penst1wa itu hanya tcrjadi satu kali. Namun Al Qadhi Iyadh menanggapinya dengan mengatakan, “Sesungguhnya kisah Abu Qatadah berbeda dengan kisah Imran bin Hushain.” Sebagaimana yang dikatakan dalam kisah Abu Qatadah, bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berada bersama Nabi ketika beliau tertidur. Sedangkan kisah Imran bin Hushain disebutkan, bahwa keduanya bersama Nabi SAW, seperti yang akan kami jelaskan.

Dalam kisah Imran juga dikatakan, bahwa orang yang pertama bangun adalah Abu Bakar, dan Nabi belum bangun hingga Umar membangunkannya dengan takbir. Adapun dalam kisah Abu Qatadah disebutkan, bahwa yang pertama bangun adalah Nabi SAW, dan masih banyak lagi perbedaan yang terdapat pada kedua kisah tersebut. Walaupun demikian, kedua kisah tersebut masih mungkin untuk dipadukan, terutama berdasarkan riwayat yang ada dalam Shahih Muslim dan lainnya.

Abdullah bin Rabah, -perawi hadits yang dimaksud- menceritakan dari Abu Qatadah, lalu ia menyebutkan bahwa Imran bin Hushain mendengarkannya menuturkan kisah tersebut secara panjang lebar, maka Imran berkata, “Perhatikanlah apa yang engkau katakan, karena sesungguhnya aku turut serta menyaksikan kisah tersebut.” Abdullah berkata, “Tidak ada sedikit pun yang diingkarinya dari kisah tersebut.”

Keterangan ini mengindikasikan, bahwa peristiwa itu hanya terjadi sekali saja. Namun mereka yang berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi beberapa kali dapat mengatakan, “Kemungkinan Imran ikut dalam kedua kisah tersebut, tetapi ia hanya menceritakan salah satunya dan ia membenarkan kisah yang satunya lagi seperti disampaikan oleh Abdullah bin Rabah dari Abu Qatadah, wallahu a ‘lam.

Hal lain yang menunjukkan bahwa kisah di atas terjadi tidak hanya sekali adalah, perbedaan tempat kejadian sebagaimana yang telah kami kemukakan. Lalu Ibnu Abdil Barr berusaha menyatukan kedua versi itu dengan mengatakan, bahwa waktu mereka kembali dari Khaibar ber­dekatan dengan waktu kembali dari Hudaibiyah, dan kedua jalan tersebut bisa saja dinamakan jalan dari arah Makkah. Tetapi alasan ini nampak terlalu berlebihan. Di samping itu, riwayat Abdur-Razzaq yang menyebutkan bahwa penst1wa itu terjadi saat perang Tabuk, dapat menolak pernyataan tersebut di atas.

Riwayat Thabrani dari hadits Amru bin Umayyah telah menyebutkan hal yang sama seperti kisah Imran, dimana disebutkan bahwa yang bertugas membangunkan mereka adalah Dzu Mikhbar. Sedangkan dalam hadits Abu Hurairah dalam riwayat Imam Muslim dikatakan, “Sesungguhnya yang ditugasi membangunkan adalah Bilal.” Lalu disebutkan bahwa yang pertama kali ban gun adalah N abi SAW, sebagaimana kisah Abu Qatadah. Sementara dalam riwayat lbnu Hibban dalam kitab Shahih-nya dari hadits lbnu Mas’ud disebutkan, bahwa Nabi SAW menyerahkan kepada mereka semua untuk berjaga-jaga agar tidak kesiangan. Semua ini menunjukkan perbedaan kisah tersebut.

وَقَعْنَا وَقْعَة (Kami pun istirahat sejenak). Dalam riwayat Abu Qatadah yang juga dinukil oleh Imam Bukhari disebutkan alasan yang menyebabkan mereka singgah pada waktu itu, yaitu adanya permintaan dari sebagian anggota rombongan. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, أَخَاف أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلَاة ، فَقَالَ بِلَال أَنَا أُوقِظهُمْ (Aku takut kalian tertidur dari shalat. Maka Bilal berkata, ”Aku membangunkan kalian. ‘).

فَكَانَ أَوَّل مَنْ اِسْتَيْقَظَ فُلَان (Maka yang pertama-tama bangun adalah si fulan) Diriwayatkan Imam Bukhari dalam bab “tanda-tanda kenabian” melalui jalur yang sama, dengan lafazh فَكَانَ أَوَّل مَنْ اِسْتَيْقَظَ أَبُو بَكْر (Maka yang pertama-tama bangun adalah Abu Bakar). Seakan-akan -wallahu a ‘lam- orang yang kedua bangun adalah Imran, penukil kisah ini. Sebab dari kisahnya dapat dipahami, bahwa dia telah menyaksikannya, dan tidak mungkin dia melihat kejadian itu melainkan setelah terbangun. Ada kemungkinan juga bahwa orang yang ketiga bangun adalah orang yang ikut penukil peristiwa ini bersama Imran secara khusus.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 13-14 – Kitab Iman

Sementara dalam riwayat Thabrani dari Amru bin Umayyah, “Dzu Mikhbar berkata, ‘Tidak ada yang membangunkanku kecuali panas matahari. Lalu aku mendatangi orang yang terdekat denganku dan membangunkannya, kemudian orang-orang saling membangunkan hingga Nabi SAW terbangun’.”

لِأَنَّا لَا نَدْرِي مَا يَحْدُث لَهُ (Karena kami tidak tahu apa yang terjadi padanya) yakni turunnya wahyu. Para sahabat tidak mau mcmbangunkan Nabi SAW, karena khawatir memutuskan wahyu yang kcmungkinan sedang turun kepadanya. Ibnu Baththal berkata, ”Dari peristiwa ini dapat dijadikan pegangan tentang bolehnya berpegang teguh kepada perintah yang lebih umum, sebagai sikap hati-hati.”

الَّذِي أَصَابَهُمْ (Apa yang menimpa mereka), yakni keadaan mereka yang tertidur sehingga tidak melaksanakan shalat subuh sampai terbit matahari (habis waktunya).

لَا ضَيْر (Tidak berbahaya atau tidak mengapa). Di sini ada sikap untuk menenangkan hati para sahabat yang sangat menyesal akibat terlambat melakukan shalat tepat pada waktunya. Hal itu tidak mengapa bagi mercka jika tidak disengaja.

اِرْتَحِلُوا (Berangkatlah). Lafazh ini dijadikan dalil tentang bolehnya mengakhirkan shalat yang telah keluar waktunya pada waktu mengingatnya jika hal itu dilakukan karcna tidak dengan sengaja atau mercmehkan.

Dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dijelaskan tentang sebab Nabi memerintahkan mereka pindah dari tempat yang mereka tcmpati untuk tidur, dengan lafazh, فَإِنَّ هَذَا مَنْزِلٌ حَضَرَنَا فِيهِ الشَّيْطَان (Sesungguhnya ini adalah tempat yang ada syetannya). Dalam riwayat Abu Dawud dari hadits Ibnu Mas’ud disebutkan, تَحَوَّلُوا عَنْ مَكَانكُمْ الَّذِي أَصَابَتْكُمْ فِيهِ الْغَفْلَة (Pindahlah kalian dari tempat yang menyebabkan kamu ditimpa kelalaian ).

Lafazh ini merupakan bantahan bagi mereka yang mengatakan, bahwa sebab mereka berpindah adalah karena saat itu merupakan waktu yang dimakruhkan untuk melaksanakan shalat. Bahkan dalam hadits pada bab ini dikatakan, bahwa mereka tidak terbangun hingga terkena panas matahari. Dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah disebutkan, حَتَّى ضَرَبَتْهُمْ الشَّمْس (Hingga matahari menyinari mereka). Kondisi seperti ini tidak terjadi melainkan setelah lewatnya waktu yang makruh.

Ada pula yang mengatakan bahwa Nabi SAW mengakhirkan shalat karena kesibukan mereka. namun dikatakan juga bahwa hal itu sebagai upaya menghindari musuh. Adapun pendapat lain mengatakan, hal itu dilakukan untuk menanti turunnya wahyu. Ada lagi yang berpendapat, karena tempat itu telah melalaikan sebagaimana diterangkan dalam riwayat Abu Dawud. Dikatakan juga bahwa hal itu sebagai upaya untuk menunggu orang yang masih tidur dan membangkitkan semangat mereka yang malas.

Diriwayatkan dari lbnu Wahab dan lainnya, bahwa bolehnya mengakhirkan pelaksanaan shalat yang telah lewat waktunya telah dihapus oleh firman Allah, وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِيDirikanlah shalat untuk mengingatku.” (Qs. Thaahaa (20): 14) Namun pernyataan ini perlu dianalisa kembali, karena ayat tersebut turun pada periode Makkah (Makkiyyah), sedangkan hadits ini terjadi pada periode Madinah. Maka, bagaimana mungkin yang dahulu menghapus yang kemudian?

Para ulama telah berbicara tentang cam memadukan hadits tertidumya Rasulullah dengan sabda beliau SAW, إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَام قَلْبِي (Sesungguhnya kedua mataku tidur dan hatiku tidak tidur). Imam Nawawi berkata, “Ada dua jawaban yang diberikan; salah satunya sesungguhnya hati hanyalah mengetahui apa-apa yang dirasakan dengannya, seperti pedih dan sebagainya, namun hati tidak mengetahui hal-hal yang biasa diindera dengan mata, sebab saat itu mata sedang tidur dan hati terbangun. Kedua, sesungguhnya beliau SAW mempunyai dua keadaan.

Keadaan pertama, hatinya tidak tidur dan inilah yang sering terjadi. Sedangkan keadaan kedua, adalah keadaan dimana hatinya tidur mcski hal ini sangat jarang terjadi. Secara kebetulan peristiwa tertidumya Nabi SAW bertepatan dengan keadaan kedua.” Lalu Imam An-Nawawi mencgaskan, “Tapi yang benar dan dijadikan pegangan adalah jawaban pertama, sedang jawaban kedua cukup lemah.” Apa yang dikatakannya adalah benar.

Tidak boleh dikatakan, bahwa walaupun hati tidak mengetahui apa yang diindera oleh mata seperti melihat fajar misalnya, tetapi jika ia bangun (sadar) pasti mengetahui berlalunya waktu yang demikian panjang, sebab permulaan terbit fajar sampai panas matahari adalah masa yang lama dan pasti diketahui oleh siapa yang tidak tidur dengan pulas. Bisa saja dikatakan, “Ada kemungkinan bahwa hati Nabi ketika itu disibukkan oleh wahyu. Dalam kondisi demikian tidak dikatakan tertidur, sebagaimana hati Nabi biasa disibukkan ketika menerima wahyu dalam keadaan terjaga.

Adapun hikmahnya adalah menjelaskan ketetapan syariat melalui praktek langsung, sebagaimana lupa dalam shalat.” Dalam hal ini Jawaban lbnu Munir lebih mendekati, “Terkadang hati dijadikan lupa pada saat terjaga untuk kemaslahatan dalam menetapkan hukum syariat, maka dalam tidur lebih mungkin lagi atau minimal sama.”

Di sana ada juga sejumlah jawaban lain mengenai hal ini, namun seluruhnya lemah. Di antaranya, bahwa arti sabda Nabi, “hatiku tidak tidur”, yakni tidak tersembunyi baginya apakah wudhu telah batal atau belum. Pendapat lain, bahwa hati beliau SAW tidak pulas hingga sampai pada batas tidak mengetahui batal tidaknya wudhu.

lbnu Daqiq Al ‘Id berkata, “Seakan-akan orang yang berpendapat demikian ingin mengkhususkan makna sabda Nabi SAW, ‘Hatiku terjaga’ dalam arti mengetahui batal tidaknya wudhu. Tentu saja pandangan demikian cukup jauh dari kebenaran, sebab sabda Nabi, إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَام قَلْبِي (Sesungguhnya kedua mataku tidur dan hatiku tidak tidur) sebagai jawaban atas perkataan Aisyah, (Apakah kamu tidur sebelum kamu melakukan witir?)

Tampak dari sini bahwa perkataan ini tidak berkaitan dengan batalnya thaharah (bersuci) seperti yang mereka katakan, tetapi sebagai jawaban yang berkaitan dengan witir. Maka terbangunnya hati dipahami dengan mengetahui perkara yang berhubungan dengan witir, serta adanya perbedaan bagi orang yang hendak tidur sementara hatinya terlelap dengan orang yang hendak tidur sedangkan hatinya tetap terjaga.”

Beliau menambahkan, “Atas dasar ini maka tak ada pertentangan dan kemusykilan mengenai hadits tertidumya Nabi SAW sampai terbit matahari, karena pada saat itu hatinya merasa tenteram dan pulas sebab kelelahan yang dialami selama perjalanan dan adanya orang yang ditugaskan untuk membangunkan.” Demikian perkataan lbnu Abdul Barr.

Secara ringkas, perkataan beliau adalah mengkhususkan makna terjaga yang dipahami dari sabdanya, وَلَا يَنَام قَلْبِي (Dan hatiku tidak tidur), dalam arti mengetahui waktu witir secara maknawi karena adanya keterikatan hati dengannya. Adapun tentang tidumya Nabi dalam peristiwa di atas adalah tidur yang pulas, hal ini dikuatkan oleh perkatakan Bilal, (Jiwaku ditimpa oleh apa yang menimpa jiwamu). Lafazh hadits ini sebagaimana tercantum dalam hadits Abu Hurairah yang dinukil oleh Imam Muslim, dan Nabi SAW tidak mengingkarinya. Sementara telah diketahui bahwa tidumya Bilal adalah tidur yang pulas.

Tapi pernyataan ini dibantah dengan mengatakan, “Jika demikian, berarti memahami sesuatu berdasarkan pertimbangan yang menjadi sebab secara khusus.” Bantahan ini dapat dijawab, bahwa pertimbangan seperti itu dapat dijadikan pegangan selama ada faktor-faktor yang mendukung­nya.

Di antara jawaban lemah dalam hal ini adalah perkataan seseorang yang mengatakan, “Hati beliau SAW dalam keadaan terjaga mengetahui keluamya waktu, tetapi sengaja tidak diberitahukannya demi untuk kemaslahatan dalam menetapkan syariat.” Demikian pula dengan perkataan seseorang, “Maksud hatinya tidak tidur adalah hatinya tidak disentuh oleh mimpi yang kacau sebagaimana yang menimpa orang lain, bahkan setiap yang dilihat dalam tidurya merupakan kebenaran dan wahyu.” Inilah sejumlah jawaban dalam masalah ini, dan yang paling mendekati kebenaran adalah jawaban yang pertama menurut keterangan yang telah kami jelaskan, wallahu a ‘lam.

وَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ (Dan kami diseru untuk shalat). Lafazh ini menjadi dalil disyariatkannya adzan untuk (shalat) yang telah lewat waktunya. Namun pendapat ini ditanggapi dengan mengatakan, “Lafazh seruan lebih umum daripada adzan, maka kemungkinan yang dimaksudkan di sini adalah iqamat.” Tanggapan ini dijawab, bahwa dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Qatadah jelas disebutkan lafazh adzan. Demikian pula yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam akhir-akhir pembahasan ten tang waktu shalat, dimana beliau memberi satu judul khusus tentang hal itu sebagaimana yang akan dijelaskan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 113-114 – Kitab Ilmu

أَصَابَتْنِي جَنَابَة وَلَا مَاء (Aku junub dan tidak ada air). Lafazh ini dijadikan dalil syariat tayamum bagi orang yang junub. Adapun pem­bahasan lebih lanjut dijelaskan dalam bab sesudahnya.

Di samping itu dibolehkan melakukan ijtihad di hadapan Nabi, karena susunan kisah tersebut menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui tentang tayamum itu. Tetapi dalam ayat hanya dinyatakan untuk hadats kecil saja. Hal itu karena maksud menyentuh dalam ayat tersebut dipahami sebagaimana pengertian secara lahiriahnya.

Sedangkan keterangan bahwa tayamum dapat menghilangkan hadats besar tidak dijelaskan secara tegas dalam ayat ini. Seakan-akan orang ini berkeyakinan bahwa orang junub tidak boleh tayamum, lalu ia melakukannya walaupun sebenamya ia bisa bertanya pada Nabi tentang hukumnya. Ada kemungkinan ia tidak mengetahui syariat tayamum, maka hukumnya sama dengan seseorang yang tidak menemukan sesuatu untuk bersuci.

Dari peristiwa ini dapat diambil kesimpulan, bahwa orang yang berilmu jika melihat suatu perbuatan yang tidak jelas, hendaklah bertanya kepada pelakunya agar dijelaskan mana yang benar. Selain itu terdapat anjuran untuk shalat berjamaah, dan meninggalkannya tanpa udzur merupakan perbuatan yang tercela. Di samping itu, hadits ini juga menjelaskan sikap santun dan kelembutan Nabi SAW saat mengingkari suatu perbuatan.

عَلَيْك بِالصَّعِيدِ (Pakailah tanah atau debu). Dalam riwayat Salam bin Zurair dikatakan, فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَيَمَّم بِالصَّعِيدِ (Maka beliau diperintahkan bertayamum dengan tanah). Sabda beliau, “Cukup bagimu” menunjukkan bahwa orang yang bertayamum dalam keadaan seperti ini tidak wajib baginya mengganti shalat yang dilakukannya dengan tayamum. Ada kemungkinan maksud sabdanya “Cukup bagimu”, yakni untuk melaku­kan shalat, maka tidak menunjukkan bolehnya tidak mengganti shalat.

فَدَعَا فُلَانًا (Maka beliau memanggil si fulan), yaitu Imran bin Hushain. Yang menunjukkan hal itu adalah perkataannya dalam riwayat Salam bin Zurair ثُمَّ عَجَّلَنِي النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَكْب بَيْن يَدَيْهِ نَطْلُب الْمَاء (Kemudian Nabi SAW memerintahkanku untuk bersegera mendahului (rombongan) dalam rangka mencari air).

هُوَ الَّذِي تَعْنِينَ (Dialah yang engkau maksudkan). Ini merupakan sikap yang sangat arif. Seandainya keduanya berkata kepada wanita itu “Tidak”, maka luputlah maksud yang hendak dicapai. Sedangkan jika mengatakan “Ya” akan berakibat buruk bagi keduanya, karena hal itu seakan-akan merupakan pengakuan. Maka, keduanya menghindari hal itu dengan cara yang baik. Di samping itu hadits ini menunjukkan bolehnya berkhalwat dengan wanita asing dalam keadaan seperti ini jika merasa aman dari fitnah.

فَاسْتَنْزَلُوهَا عَنْ بَعِيرهَا (turunkan ia dari untanya) Sebagian pensyarah hadits ini berkata, “Mereka menahan wanita tersebut serta mengambil aim ya karena ia seorang wanita kafir harbiyah. Andaikata ia berasal dari kaum kafir yang mengikat perjanjian dengan kaum muslimin, maka rasa haus yang sangat itu membolehkan seorang muslim untuk mengambil air milik orang lain dengan syarat ada penggantinya.

وَكَانَ آخِر ذَلِكَ أَنْ أَعْطَى (Terakhir beliau memberikan). Kisah ini menjelaskan tentang mendahulukan kemaslahatan memberi minum manusia dan hewan daripada kemaslahatan lainnya, seperti bersuci, dimana bersuci ( dalam kisah ini) diberikan pada akhir kesempatan setelah semuanya minum. (Lebih penuh), maksudnya mereka mengira air yang tersisa di dalam teempat air itu lebih banyak dari sebelumnya.

اجَمَعُوا لَهَا (Kumpulkan untuknya). Hal ini menerangkan bolehnya mengambil milik orang lain atas dasar keridhaan pemiliknya. Atau bolehnya saling memberi, seperti hibah dan hal-hal yang dibolehkan meskipun tidak dengan ucapan dari orang yang memberi atau yang mengambil.

مَا رَزِئْنَا (Kami tidak mengurangi). Secara lahiriah, semua air yang mereka gunakan adalah air yang ditambahkan oleh Allah SWT. Pada hakikatnya air tersebut tidak bercampur sesuatu, meskipun secara lahiriah air itu bercampur dengan sesuatu yang lain, dan ini merupakan mukjizat paling menakjubkan dan hebat. Kesimpulan ini dapat diambil dari makna lahiriah sabda Rasul, “Akan tetapi Allah-lah yang memberi kami minum.” Tapi ada pula kemungkinan yang dimaksud adalah kadar air tersebut tidak berkurang sedikitpun.

Lafazh ini dijadikan dalil bolehnya mempergunakan bejana orang musyrik, meskipun belum diketahui dengan jelas apakah tempat tersebut mengandung najis atau tidak. Hal ini juga mengandung isyarat, bahwa apa yang berikan kepada wanita itu bukan sebagai ganti air, tetapi sebagai penghormatan terhdapnya.

فَقَالَتْ يَوْمًا لِقَوْمِهَا : مَا أَرَى هَؤُلَاءِ الْقَوْم يَدْعُونَكُمْ عَمْدًا (Maka suatu hari ia berkata kepada kaumnya, “Saya melihat kaum itu sengaja tidak menyerang kalian.‘). Makna, sesungguhnya mereka meninggalkan kalian secara sengaja bukan dikarenakan lalai dan lupa, tetapi mereka sangat memperhatikan persahabatan meskipun hanya terjadi dalam waktu yang singkat. Perkataan ini menyebabkan mereka ingin masuk Islam.

Kesimpulan peristiwa, bahwa orang-orang Islam senantiasa mem­perhatikan kaum wanita dengan penuh kelembutan sehingga hal itu menjadi sebab yang mendorong mereka masuk Islam.

Berdasarkan keterangan ini, maka terjawablah masalah yang diajukan oleh sebagian orang sehubungan dengan kisah di atas, yaitu penguasaan terhadap orang kafir berkonsekuensi pada perbudakan terhadap para wanita dan anak kecil dari kalangan mereka. Jika demikian halnya, maka wanita tersebut seharusnya termasuk budak karena telah dikuasai. Lalu mengapa dibebaskan kembali bahkan diberi bekal sebagaimana yang dijelaskan terdahulu?” Untuk itu dikatakan, bahwa ia dibebaskan untuk kemaslahatan, yaitu menarik hati kaumnya untuk memeluk Islam. Disamping itu, ada kemungkinan bahwa wanita itu sebelumnya dilindungi atau mendapat jaminan keamanan.

Sebagian ulama mengatakan dengan kisah ini untuk menyatakan bolehnya mengambil harta orang dalam keadaan darurat, dan diganti dengan harta tertentu jika barang tersebut memiliki harga. Namun pernyataan ini masih mendapat kritikan, sebab dasar pendapat tersebut adalah bahwa air itu milik wanita yang jiwa dan hartanya mendapat perlindungan, tapi semua itu perlu dibuktikan. Hanya saja kami mengutip pandangan ini sebagai satu kemungkinan semata.

M Resky S