Al-Hayawan Al-Nathiq: Hakikat Manusia, Rasional yang Spiritualis

hakikat manusia

Pecihitam.org – “Apa itu manusia ?” merupakan salah satu pertanyaan penting dalam sejarah filsafat. Berdasar atas kegelisahan demikian itu, bahkan kini telah ada disiplin keilmuan khusus yang membahas dan memahami segala seluk-beluk perihal manusia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berangkat dari pertanyaan perihal hakikat manusia itulah, ilmu Psikologi yang kini banyak diajarkan di kampus-kampus luar maupun dalam negeri itu, berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara ilmiah.

Para pemikir Psikologi, cara menjawab pertanyaan perihal hakikat manusia berbeda dengan jalan yang dilakukan oleh para filosof. Pemikir Psikologi menjawabnya dengan sebuah usaha penelitian ilmiah. Hingga saat ini muncul berbagai aliran pemikiran Psikologi yang berusaha menjelaskan manusia –lebih tepatnya adalah perilaku manusia.

Mazhab Psikoanalisis menjelaskan perilaku manusia sebagai dorongan alam bawah sadar. Kemudian mazhab Behaviorisme menjelaskan manusia sebagai makhluk “stimulus dan respon”, makhluk yang berperilaku karena efek rangsangan yang diteriamanya. Kemudian mazhab Psikologi kognitif menjelaskan perilaku manusia digerakkan oleh hasil dari proses kognitifnya. Dan masih ada penjelasan Psikologi lainnya yang panjang lebar.

Pertanyaan “apa itu manusia?” ternyata juga menjadi pertanyaan yang menggelisahkan para pemikir Muslim. Beberapa filusuf Muslim berusaha menjelaskan pertanyaan itu dengan penalaran yang logis namun tetap mengikut-sertakan Allah Swt di dalamnya.

Baca Juga:  Akal dalam Filsafat Islam dan Pembelajaran di Sekolah

Menurut Prof. Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam dan Manusia (2017) menjelaskan kalau hendak memahami apa itu manusia, mula-mula harus diperjelas dahulu spesies apa manusia itu.

Di alam semesta ini ada tiga makhluk hidup: 1). Tumbuhan, 2). Hewan, dan 3). Malaikat. Manusia sendiri masuk kepada spesies hewan. Sebagai makhluk yang masuk spesies hewan, perlu diperjelas lagi ciri khusus yang membedakan manusia dengan hewan yang lainnya.

Dalam teks keislaman, hal ini disebut sebagai “al-hayawan al-nathiq”, yakni hewan yang berbicara. Adapun yang dimaksudkan dengan hewan yang dapat berbicara adalah hewan yang mampu berkomunikasi antara sesame manusia. Mereka menciptakan simbol-simbol ataupun pertanda tertentu sebagai alat komunikasi yang belakangan kemudian disebut sebagai “bahasa.”

Kemampuan berbicara yang kemudian menjadikan manusia dapat berkomunikasi sampai akhirnya mampu membentuk bahasa komunikasi bahasa, berkat kecerdasan demikian itulah kemudian manudia disebut sebagai makhluk rasional (rational being). Penjelasan manusia sebagai makhluk rasional inilah terjemahan dari adagium dalam Islam yang telah disebut di awal, yakni “al-hayawan al-nathiq.

Baca Juga:  Klepon Tidak Islami? Tenang, Rasulullah Saja Pernah Makan Keju dengan Santainya

Dalam teks-teks keislaman, rasionalitas manusia ini disebut karena berkat dari Aql, sebuah kosa kata Bahasa Arab yang memiliki arti “pengikat.” Secara terminologis akal merupakan sebuah alat penalaran untuk menangkap dan memahami hal-hal abstrak atas benda yang dilihat dan didengarnya.

Akal memiliki kemampuan mengikat dari berbagai hal abstrak yang telah dilihat dan didengarnya dan kemudian memprosesnya hingga menjadi seperangkat informasi yang menjadi petunjuk tindakannya.

Meski demikian, apakah pemahaman para pemikir muslim tentang akal memiliki ketergantungan terhadap otak sebagaimana pemahaman para saintis belakangan ini. Dalam Islam agaknya penafsiran atas akal ini tak semata tergantuk kepada otak fisik, namun otak juga merupakan makhluk immaterial dan spiritual.

Dalam Islam, akal juga disamakan dengan malaikat. Akal sebagai makhluk immaterial atau spiritual, maka ia dapat hidup tanpa adanya jasad. Maka kemudian ada sebutan bahwa akal merupakan sebuah jiwa rasional yang dapat hidup tanpa ketergantungan fisik.

Baca Juga:  Hati-hati, Begini Bahayanya Meremehkan Dosa Kecil

Menurut Prof. Mulyadhi, karena akal tak hanya bagian dari rasionalitas, namun spiritualitas juga yang hidup sebagai jiwa manusia. Maka, akal akan terus hidup setelah jasadnya meninggal dunia. Di alam akherat, akal juga akan mempertanggungjawabkan segala hal yang telah dilakukan di dunia.

Dengan demikian, pemaknaan akal bagi para pemikir Muslim memiliki dimensi yang luas tak sekedar sebagai entitas kognitif semata. Namun, akal juga merupakan entitas spiritual yang memiliki tanggung jawab hingga alam akherat. Wallahua’lam.