Begini Awal Munculnya Kelompok Syiah dan Masa Pembentukannya

Awal Munculnya Kelompok Syiah

Pecihitam.org – Amat beragam uraian para pakar Muslim atau non Muslim tentang awal munculnya kelompok Syiah dan masa pembentukannya. Tidak mungkin dapat diketengahkan seluruhnya dalam tulisan ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun, sepintas dapat dikatakan bahwa ada di antaranya yang bependapat bahwa awal munculnya kelompok syiah ini bersumber dari pemikiran Persia, bahkan dari upaya orang-orang Yahudi untuk menyimpangkan ajaran Islam.

Seperti diketahui bahwa Imamah, yang merupakan salah satu akidah pokok kelompok Syiah, mereka yakini sebagai anugerah Ilahi-serupa kenabian-yang tidak dapat diperoleh melalui upaya manusia. Imamah itu silih berganti hingga mencapai dalam keyakinan Syiah Imamiyah dua belas orang secara turun temurun dimulai dari Sayyidina ‘Ali kw. sampai dengan imam kedua belas, yakni Muhammad al-Mahdi.

Nah, dari sini ada yang menyebut kelompok syiah bersumber dari Persia, dengan dalih bahwa keyakinan tentang adanya peranan Tuhan dalam menetapkan kepemimpinan serta turun temurunnya kekuasaan, tidak dikenal dalam masyarakat Arab tetapi sangat diakui oleh masyarakat Persia.

Banyak sanggahan yang dikemukakan oleh para pakar menyangkut pendapat ini. Salah satu di antaranya adalah jawaban singkat yang dikemukakan oleh Syaikh Muhamad Husain Kasyif al-Ghitha’ yang menyatakan:

“Wajarlah dari seseorang yang berakal berkata bahwa Abu Hanifah telah mengambil pandangan-pandangan flqihnya dari orang-orang yang beragama Majusi, karena ada pendapat-pendapatnya yang sejalan dengan pendapat mereka dalam rincian yang berkaitan dengan persoalan nikah dan selainnya, dan pengambilan itu diperkuat oleh asal usul Abu Hanifah, yakni dari Persia? Bukankah ucapan seperti ini adalah ucapan yang picik, yang tidak ada hasilnya kecuali menyulut permusuhan dan kebencian di kalangan umat Islam?” (Ashl Asy-Syiah wa Ushuluha, hal. 102).

Apakah Awal Munculnya Kelompok Syiah, Terkait dengan Sosok Abdullah bin Saba’?

Sementara ada orang yang menyatakan bahwa Syiah adalah produk Yahudi yang bertujuan menyimpangkan ajaran Islam, menunjuk Abdullah bin Saba’ sebagai aktor intelektual dari paham ini.

Konon Abdullah bin Saba’ muncul pada akhir periode pemerintahan “Utsman bin ‘Affan ra. Konon ia adalah seorang Yahudi yang dilukiskan sebagai orang yang memiliki aktivitas yang luar biasa. Dia menyamar sebagai seseorang yang hidup sangat sederhana, dan meraih kekaguman banyak sahabat Nabi saw. namun tujuannya adalah memecah belah umat.

Dia berhasil menghasut masyarakat sehingga terjadi pemberontakan terhadap Khalifah ketiga yang kemudian terbunuh. Konon, dia juga yang berperanan penting dalam terhambatnya proses perdamaian antara Sayyidina Ali kw. dengan dua sahabat Nabi lainnya, yaitu Thalhah dan azZubair di Bashrah. Dia pulalah akhirnya yang menciptakan ide-ide ketika berada di Kufah, yang intinya mengagung-agungkan Sayyidina ‘Ali-pengagungan yang pasti beliau (Sayyidina ‘Ali) tidak setujui karena melampaui batas kewajaran-misalnya dengan menyatakan bahwa semestinya Ali-lah yang menjadi Nabi, bukan Muhammad. Malaikat jibril as. keliru atau berkhianat ketika menyampaikan wahyu, dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Mengenal Kelompok Syiah: Ghulat, Ismailiyah, Zaidiyah, Hingga Itsna 'Asyariyah

Lalu Ibnu Saba’ berhasil mengelabui orang-orang awam, yang memang secara umum sangat kagum kepada Sayyidina ‘Ali kw.

Rasanya tidaklah logis seorang Yahudi dapat memengaruhi sahabat-sahabat besar Nabi saw. Tak dapat dibayangkan bahwa tokoh semacam Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, Thalhah, dan azZubair ra. yang pengetahuan, keihlasan, dan kedekatan mereka kepada Nabi saw. sudah umum diketahui-dapat dikelabui oleh seorang Yahudi, ”hingga upaya berdamai mereka gagal.

Karena itu, banyak pakar baik Sunnah, lebih-lebih Syiah, yang menolak bukan saja peranan Abdullah bin Saba’ yang demikian besar, tetapi wujud pribadinya dalam kenyataan pun mereka sangsikan. Tidak sedikit pakar menilai bahwa pribadi Abdullah bin Saba’ sama sekali tidak pernah ada. Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah.

la (Abdullah bin Saba’) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain, ilmuwan kenamaan Mesir adalah salah seorang yang megaskan ketiadaan Ibnu Saba’ itu dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.

Penganut aliran Syiah dan juga sekian pakar dari Ahlissunnah berpendapat bahwa benih awal munculnya kelompok Syiah sejak masa Nabi Muhammad saw., atau paling tidak secara politis benihnya muncul saat wafatnya Nabi saw. (pembaiatan Sayyidina Abu Bakar di Saqifah).

Ketika itu keluarga Nabi saw. dan sejumlah sahabat memandang bahwa Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra. lebih wajar dan lebih berhak menjadi khalifah Nabi saw. ketimbang Sayyidina Abu Bakar ra. Pendapat tentang benih lahirnya Syiah seperti ini, antara lain, dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam Tarikh-nya, beberapa orang orientaslis, seperti Goldziher, dan banyak pemikir kontemporer lainnya.

Syaikh Abdul Halim Mahmud secara panjang lebar menguraikan alasan-alasan beliau mendukung pendapat di atas yang intinya adalah bahwa hubungan yang demikian erat antara Nabi saw. dengan Sayyidina “Ali ra. telah terjalin sebelum Islam, yakni ketika Nabi saw. mengambil Sayyidina ‘Ali untuk dipelihara demi meringankan beban paman beliau, Abu Thalib, yang juga adalah ayah Sayyidina “Ali ra.

Demikian Sayyidina ‘Ali dididik oleh junjungan kita Muhammad saw. yang kemudian menjadi menantu Rasul saw. Di Madinah, Rasul saw. mempersaudarakan diri beliau dengan ‘Ali bin Abi Thalib ra. Sayyidina ‘Ali adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan mengawinkannya dengan anak perempuan yang paling beliau cintai, yakni Fathimah az-Zahra’.

Akhlak dan kepribadian beliau pun sedemikian menonjol dan keberanian serta pembelaan beliau terhadap Nabi dan Islam tidak diragukan lagi. Ini semua sedemikian jelas sehingga tidak memerlukan penjelasan, karena itu-masih menurut Abdul Halim Mahmud-Dr. Thaha Husain telah menyampaikkan sesuatu yang haq ketika menyatakan:

“Seandainya kaum Muslim-setelah wafatnya Nabi saw.” berkata: “Sesungguhnya ‘Ali adalah orang yang paling dekat kepada Rasul; bahwa dia adalah anak yang berada dalam pemeliharaan beliau, penggantinya dalam menyampaikan amanat orang; dan bahwa “Ali adalah saudaranya berdasar persaudaraan Yang beliau lakukan, menantunya, dan ayah keturunannya, Penyandang panjinya, penggantinya dalam (mengurus) keluarganya dan kedudukannya terhadap diri beliau, seperti kedudukan Harun terhadap Musa,. berdasar hadits Nabi saw. sendiri. Seandinya kaum Muslim menyatakan itu semua dan memilih Ali berdasar semua itu untuk (jabatan) kekhalifahan, maka mereka tidaklah menjauh (dari kebenaran) dan tidak juga menyimpang.” (Thaha Husain dalam bukunya. ‘Utsman. hal. 152).

Karena itu, tulis Syaikh Abdul Halim Mahmud, setelah mengutip penyataan di atas bahwa:

“Tidak heran jika demikan itu halnya, bila sekelompok sahabat(nabi) berpendapat bahwa Ali lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar dan selain keduanya”

Setelah menyebut sekian nama sahabat yang menganut pendapat di atas. Syaikh Abdul Halim kemudian berkata: “..tetapi rapat Tsaqifah berakhir dengan memilih Abu Bakar ra. menjadi khalifah kaum Muslim, maka Ali enggan berbaiat karena beliau percaya bahwa dirinya lebih berhak atas kedudukan itu, sebagaimana disebut dalam riwayat Bukhari.”

Baca Juga:  Ini Tanggapan Atas Tuduhan Syiah Terhadap Prof Quraish Shihab

Dari uraian di atas terlihat bahwa pengagum-pengagum Sayyidina Ali cukup banyak. dan dari sanalah awal munculnya kelompok Syiah.

Kemudian silih berganti khalifah sesudah Abu Bakar ra. Selama itu, kendati beliau (Sayyidina Ali) merasa atau berkeyakinan bahwa beliaulah yang seharusnya menjadi khalifah, tetapi beliau enggan mengambil langkah aktif, bahkan ketika ditawari untuk memangku jabatan tersebut dengan syarat mengikuti tuntunan al-Qur’an dan Sunnah serta kebijakan Abubakar dan Umar ra. tanpa menyimpang sedikit pun, beliau menerima syarat mengikuti tuntunan al-Qur’an dan Sunnah, tetapi menolak menerima syarat selanjutnya karena khawatir terjadi perkembangan yang menjadikan beliau terpaksa menyimpang dari kebijaksanaan Abubakar dan Umar, dan karena itu beliau menyatakan kesediaannya menerima jabatan tersebut sesuai kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta kebijaksanaan kedua khalifah yang lalu “sepanjang kemampuan beliau”.

Apa yang beliau usulkan ini tidak diterima oleh Tim yang bertugas menetapkan khalifah sehingga untuk kali ketiga jabatan kekhalifahan luput dari beliau. Kendati demikian, beliau memberi dukungan kepada para khalifah sepanjang kemampuan beliau.

Abdulhalim Mahmud lebih lanjut menulis bahwa:

“Pada masa kekhalifahan Sayyidina Ali yang singkat, beliau berusaha untuk membimbing manusia menuju akhirat, tetapi mereka (manusia) mengarah menuju dunia. Beliau bermaksud mengarahkan mereka kepada Allah, tetapi materi menguasai mereka. Beliau, sepanjang masa kekhalifahmnya, hidup dalam pertarungan melawan hawa nafsu, aneka godaan syahwat, dan dunia yang tercermin dalam diri Mu’awiyah. Namun, pada akhimya dunialah yang menang. Kendati demikian, akhirat pun memiliki pengagum dan pencinta-pencintanya dan mereka itu tidak mundur dalam membela Ali ketika beliau hidup. Lalu, ketika beliau gugur, mereka senantiasa mengingat-ingat kehidupan beliau yang penuh dengan amal saleh lagi agung. Lalu, dalam perjalanan masa-sedikit demi sedikit-gambar (image) tentang Ali memperoleh pcngagungan luar biasa, penyucian. pengkultusan, ketuhanan, bahkan lebih dari itu.”

“Syiah pada mulanya merupakan rasa cinta dan kagum seperti kekaguman Salman al-Farisy terhadap Ahl al-Bait (keluarga Nabi saw.), lalu berkembang dan beralih menjadi cinta, kasih, serta kasihan ketika sementara orang berkeyakinan bahwa al-Bait al-Alawy (keluarga Ali) tidak menduduki tempatnya yang wajar dalam masyarakat.

Selanjutnya ketika terjadi penganiayaan berupa penyiksaan, pengusiran, pemotongan anggota tubuh, pencungkilan mata, dan pembunuhan (terhadap keluarga Ali dan simpatisannya), maka lahirlah kelompok Syiah dalam pengertian istilah. Keluarga Ali pun dan simpatisannya menyuburkan ide tersebut dan menopangnya sekuat kemampuan mereka dengan harta dan dorongan moral. Akan tetapi, ide (apa pun) saat itu tidak dapat berkembang dengan mengandalkan harta dan dukungan saja, tetapi juga menuntut secara pasti sandaran agama. Di sini Syiah merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah untuk meraih sandaran tersebut, dan itu mereka peroleh dengan mudah atau dengan cara memaksakan (penafsiran atau membuat riwayat) dalam rangka mendukukung ide atau kepercayaan mereka.

“Akibatnya, Syiah menjadi sekian banyak kelompok. Tidak sedikit di antara mereka yang melampaui batas dan bersikap ekstrem dalam cintanya kepada Ali ra. Dan cinta memang membutakan dan menulikan. Ketika itu juga lahirlah kelompok Syiah yang ekstrem (Ghulat asy-Syiah)“

Demikian terlihat bahwa awal munculnya kelompok Syiah bukan bersumber dari ajaran Yahudi, tidak juga dari benih pandangan Persia, sebagaimana dikira oleh sementara orientalis dan pengikut-pengikut mereka, tetapi kaum Syiah tumbuh berkembang secara normal.

Baca Juga:  Perbedaan Syiah dan Wahabi Mulai dari Ideologi hingga Sumber Hukumnya

(Kutipan tulisan Bapak Prof. M Quraish Shihab dalam bukunya Sunnah Syiah – Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *