Posisi Hadits dalam Pandangan Madzhab Syi’ah?

hadits dalam pandangan syi'ah

Pecihitam.org – Umat Islam telah bersepakat bahwa hadits merupakan rujukan hukum Islam yang paling utama setelah al-Qur’an. Tidak ada kekuatan argumentasi dan pendapat ulama yang levelnya melebihi tingkat kebenaran hadits.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Untuk itu, hampir tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam dari semua madzhab dan golongan dalam mempedomani hadits sebagai sumber hukum.

Begitu pula dengan madzhab Syi’ah yang juga sepakat bahwa Sunnah Nabi merupakan sumber hukum Islam yang paling utama setelah al-Qur’an.

Namun, menurut Syi’ah, hadits (dikalangan mereka disebut dengan akhbar) harus diriwayatkan oleh kalangan dari keluarga Nabi, yaitu seorang imam dari keturunan Nabi yang dianggap benar, jujur, dan terpercaya.

Oleh karenanya, banyak sekali hadits yang diriwayatkan oleh para perawi dari kalangan Sunni yang tidak dapat dipercaya atau tidak diterima dari sudut pandang Syi’ah.

Matan (isi) hadits boleh jadi sama persis antara yang diriwayatkan oleh Sunni maupun Syi’ah, tapi kesamaan ini tidak akan mungkin terjadi pada tataran sanad (sandaran) perawinya.

Umum diketahui bahwa madzhab Sunni memiliki kitab hadits andalan dalam bentuk kompilasi (kumpulan), seperti kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Begitu pula dengan Syi’ah, mereka juga memiliki kompilasi kitab hadits yang dianggap lebih terpercaya daripada milik Sunni.

Baca Juga:  Abdullah bin Saba', Antek Yahudi Biang Kerok Aliran Syia'h dan 3 Ajaran Sesatnya

Sekurang-kurangnya, ulama Syi’ah telah menyusun koleksi hadits ke dalam tiga kitab. Kitab kompilasi hadits ini memainkan peran yang sangat signifikan di kalangan Syi’ah sampai sekarang.

Beberapa ulama Syi’ah yang telah menyusun kitab kompilasi hadits antara lain; al-Kulaini (w. 329 H) dengan kitab haditsnya berjudul Al-Kahfi, Ibnu Babawaih (w. 381 H) dengan kitabnya Man la Yahdhurul al-Faqih, dan al-Tusi (w. 460 H) dengan kitab Tanzhib al-Ahkam.

Di antara ketiga sumber kompilasi ini, kitab al-Kahfi yang paling banyak membuat hadits. Tercatat lebih dari 17 ribu hadits termuat dalam kitab ini dan benar-benar menjadi sumber utama bagi Syi’ah dalam penetapan hukum maupun akidah.

Menurut keterangan Abdullah Saeed dalam bukunya “Pemikiran Islam; Sebuah Pengantar”, madzhab Syi’ah membagi hadits dalam empat kategori pokok:

Pertama,  Shahih (otentik): hadis yang rantai riwayatnya tidak terputus melalui narasi yang berasal dari para Imam Syi’ah, atau dari pengikut para imam yang menganut madzhab hukum dari imam Ja’fari.

Baca Juga:  Mengenal Kelompok Syiah: Ghulat, Ismailiyah, Zaidiyah, Hingga Itsna 'Asyariyah

Kedua, Hasan (baik): hadits yang berasal dari penganut Syi’ah yang cukup dipercaya, tapi kehandalan hadits tersebut belum dapat dikonfirmasi. Bila dalam rantai sanad ada satu orang non-Syi’ah yang masih bisa dipercaya, maka hadits itu termasuk yang bisa diandalkan.

Tapi bila dalam sanad hadits tersebut terdapat satu perawi yang dianggap lemah, maka hadits itu dikategorikan sebagai hadits yang lemah atau tidak bisa diandalkan.

Ketiga, Muwatstsaq (dapat diandalkan, atau disebut juga qawi’, “kuat”): Kategori ini dianggap oleh ulama Syi’ah sebagai hadits yang bisa dipercaya dan bisa diandalkan, meskipun narasi matannya berasal madzhab hukum yang lain, atau bahkan dari periwayat yang berasal dari kelompok penentang Syi’ah.

Keempat, Da’if (lemah): hadits yang salah satu periwayatnya dikenal sebagai orang yang suka memalsukan dan penyebar hoaks.

Hadist jenis ini sama sekali tidak dapat dipercaya dan tertolak. Di samping perawi itu suka memalsukan hadits, ada pula yang memang tidak dikenal oleh ulama hadits dari kalangan Syi’ah.

Dalam hal pengkategorian hadits ini, agaknya antara Sunni dan Syi’ah memiliki beberapa kemiripan. Perbedaan yang paling signifikan lebih pada rujukan periwayatan, misalnya, kalangan Sunni lebih bersifat longgar dalam menentukan apakah hadits itu shahih atau hasan, siapapun perawinya (rawi yang terpercaya) asal sanadnya sampai kepada Rasulullah, maka hadits itu sudah otomatis shahih.

Baca Juga:  Menurut Syiah, Nikah Mut'ah Adalah Boleh, Begini Pertimbangannya

Ini berbeda dengan Syi’ah yang lebih percaya pada keturunan Nabi sebagai perawinya, selebihnya hanya pendukung saja.

Begitu pula pada tataran kritik matan, Sunni dan Syi’ah juga memiliki kemiripan, di antaranya; matan hadits tidak boleh bertentangan dengan isi al-Qur’an, tidak boleh bertentangan dengan hadits lain yang sudah diakui keshahihannya, tidak boleh bertentangan dengan akal sehat, tidak boleh berisi pernyataan tentang ketidakproporsionalan, dan masih banyak lagi.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *