Hari Valentine, Bisakah Dipahami dalam Sudut Pandang Islam? Ini Ulasannya

Hari Valentine, Bisakah Dipahami dalam Sudut Pandang Islam? Ini Ulasannya

PeciHitam.org – Pada tanggal 14 Februari setiap tahunnya sering kali kita rebut-ribut membahas tentang keharaman Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang. Pada hari tersebut, biasanya seseorang memberikan hadiah sebagai simbol kecintaan mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dulu, tercatat pada abad ke-19, awalnya tradisi penulisan tanda pernyataan cinta memproduksi kartu ucapan massal. Kartu ucapan ini berbentuk hati dan gambar Cupido bersayap.

Kemudian pada pertengahan abad ke-20, di Amerika Serikat, tradisi yang awalnya hanya bertukar tanda pernyataan cinta dengan kartu ucapan tersebut bergeser menjadi lebih luas lagi. Tidak hanya kartu, hadiah yang menjadi simbol kecintaannya ini bertambah, mulai dari bunga mawar hingga coklat.

Industri lain seperti berlian juga tidak mau kalah memanfaatkan moment tersebut. Sekitar tahun 1980, industry berlian gencar mempromosikan berliannya sebagai ucapan Hari Valentine.

Di Indonesia, Hari Valentine justru seringkali disalahartikan. Tidak hanya saling memberi ucapan dan bertukar hadiah saja. Namun juga kencan bahkan ada yang dijadikan moment untuk berbuat mesum yang berdalih mengungkapkan kasih sayang. Jika pasangan tersebut belum sah menjadi mahramnya, tentu hal tersebut justru merugikan salah satu pihak.

Dimana letak rasa kasih sayangnya?

Baca Juga:  Hak Cipta dalam Perspektif Hukum Islam

Dari situlah awalnya hari Valentine dimaknai secara teologis bahwa itu berasal dari tradisi non-Muslim. Bahkan seringkali dihubungkan dengan dalil tasyabbuh.

Jika dilihat dari substansinya, hari Valentine ini dapat kita analogikan sebagai kemasannya. Jika mengekspresikan Hari Valentine ini dengan cara yang baik, tidak melanggar syar’I, mungkin sah-sah saja.

Secara historis Islam juga sudah punya Hari Valentine, yang sama-sama mencerminkan rasa kasih sayang yaitu hari Pembebasan Kota Suci Mekkah. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 630 M atau tepatnya pada tanggal 10 Ramadan 8 H. Ketika Nabi Muhammad beserta rombongan 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah.

Jika melihat pasukan sebesar itu, menguasai Mekkah secara keseluruhan mungkin bukanlah hal yang sulit. Namun menariknya, peristiwa ini terjadi tanpa pertumpahan darah sedikitpun.

Nabi dengan rasa kasih sayangnya justru mengampuni orang-orang yang dulu membuatnya terusir dari Tanah Airnya.  Segala macam bentuk keburukan dan kekerasan yang dilontarkan kepada Nabi justru dibalas dengan rasa cinta dan kasih sayang.

Tidak hanya peristiwa itu saja, di bulan Muharram sering kita jumpai tradisi santunan anak yatim dan fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu dari 10 sunah bulan Muharram. Tradisi ini sekaligus juga mencerminkan kepedulian dan rasa kasih sayang umat Islam kepada sesamanya yang kurang beruntung.

Baca Juga:  Keutamaan Ikhlas Dalam Islam yang Perlu Kita Ketahui

Meskipun demikian, sebenarnya ajaran kasih sayang ini tidak terbatas di bulan-bulan tertentu saja. Melainkan juga harus dilakukan secara continue (terus menerus).

Islam mengajarkan kita untuk saling mengasihi dan saling menolong antar sesama manusia tanpa harus menunggu adanya moment tertentu. Menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Lalu bagaimana menyikapi hari Valentine tersebut?

Tidak elok rasanya jika kita mengutuk orang lain yang merayakan hari Valentine. Mengutuk bukanlah solusi yang tepat bahkan cenderung sia-sia yang hanya akan menjauhkan antara diri kita dan orang lain.

Hal yang perlu kita lakukan adalah mengadopsi dakwah ala Walisongo yang mampu mengemas suatu tradisi menjadi bernilaikan Islam. Membuang yang buruk, menggantinya dengan yang lebih baik, serta menanamkan nilai-nilai ajaran Islam di dalamnya.

Contohnya seperti yang dilakukan oleh Walisongo dengan wayang kulitnya yang mengisi ceritanya dengan ajaran tauhid. Hal tersebut sesuai dengan misi ajaran Islam itu sendiri yang tidak menghancurkan tradisi yang telah ada, namun menyempurnakannya. Meninggalkan yang buruk dan mengganti atau menyempurnakannya menjadi lebih baik dengan dimasuki ajaran yang Islami.

Baca Juga:  Rahasia Dibalik Makna Alhamdulillah, Bukan Sekedar Ucapan Terima Kasih

Contoh lainnya seperti istilah sembahyang tetap dipakai meski isi dan perilakunya adalah shalat. Kemudian juga istilah langgar tetap dipakai, tidak langsung dengan istilah masjid atau mushalla. Bahkan, istilah Gusti Pangeran juga masih digunakan, tidak langsung menggantinya dengan kata Allah. Lambat laun, istilah-istilah tersebut juga menjadi mafhum di telinga masyarakat.

Inilah tantangan kita sebagai umat Islam. Bagaimana mengemasnya menjadi hal yang positif serta bernafaskan Islam.

Mohammad Mufid Muwaffaq