Hukum Melafadzkan Niat Seperti Nawaitu dan Ushalli dalam Puasa, Shalat dan Ibadah Lainnya

Hukum Malafadzkan Niat

Pecihitam.org– Dalam beberapa ibadah niat merupakan rukun yang mutlak harus ada. Tanpa niat, shalat, puasa dan mandi wajib misalnya menjadi tidak sah. Namun bagaimanakah tentang hukum melafadzkan niat, seperti membaca nawaitu atau ushalli, apakah diperbolehkan, soalnya ada yang bilang bid’ah?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Kedudukan Niat dalam Ibadah

Sebelum membahas tentang hukum melafadzkan niat, perlu diketahui dahulu mengenai kedudukan niat dalam ibadah.

Sebagaimana disampaikan di awal, bahwa niat dalam beribadah memiliki arti yang sangat penting. Oleh karena itu, dalam setiap ibadah harus selalu disertai dengan niat. Karena tanpa adanya niat, ibadah dianggap tidak sah.

Yang dijadikan dasar dalam hal ini ialah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Muslim

ائما الأعمال بالنيات وانما لكل امرئ مانوی

Sesungguhnya setiap amal-perbuatan tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang mendapatkan apa yang telah ia niatkan. (HR. Muslim)

Sedangkan letak niat adalah dalam hati yang berbarengan dengan melakukan hal pertama yang diwajibkan.

Misalnya dalam wudhu’, maka niat dalam hati sudah dimulai bersamaan dengan membasuh wajah.

Dalam shalat, bait dimulai dalam hati bersamaan dengan melafalkan huruf pertama dari Allahu Akbar-nya takbiratul ihram yang diucapkan lisan.

النية قصد الشيء مقترنا بفعله. ومحلها القلب

Niat adalah menyegaja melakukan suatu perbuatan yang bersaman dengan pekerjaan tersebut. Tempatnya niat di dalam hati.

Begitu kira-kira penjelasan tentang definisi dan letak niat dalam ibadah. Intinya seperti itu semua. Hanya dengan redaksi yang mungkin sedikit berbeda.

Namun, ada juga beberapa ibadah yang niatnya tidak berbarengan, tetapi mendahului amal atau perbuatannya, seperti puasa, zakat dan kurban.

زمنها أول العبادات و خرج به الصوم و الزكاة و الأضحية فالنية فيها ليست مقترنة بأول العبادات

Baca Juga:  Peringatan 40 Hari Kematian, Adakah Dalilnya dalam al-Quran dan Hadis? Begini Penjelasannya

Waktunya niat di awal ibadah. Keluar dari ketentuan (waktu niat di awal ibadah) ini, puasa, zakat dan kurban. Maka niat dalam ketiganya ini tidaklah bersamaan dengan awal ibadah. (Taqriratus Sadidah Juz I halaman 83)

Hukum Melafadzkan Niat

Jika letaknya niat di dalam hati, lalu bagaimanakah hukum melafadzkan niat tersebut?

Apakah diperbolehkan dengan alasan untuk membantu membangun kekhusyuk-an, ataukah tidak diperbolehkan, sebagaimana tudingan kelompok tekstualis, karena dianggap tidak pernah dilakukan Nabi?

Sebenarnya, bagi kita yang belajar agama secara linear. Belajar agama dengan runut dengan memulainya dari Fiqh paling dasar, maka tentu akan mendapati penjelasan bahwa melafdazkan niat beberapa saat sebelum memulai ibadah adalah sunnat.

Karena melafadzkan niat bisa menjadi penolong supaya hati dan mulut menjadi satu kata.

Sebagaimana penejlasan Syaikh Nawawi Banten dalam Nihayatuz Zain Juz I halaman 18

أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب

Sedangkan melafadzkan yang diniatkan adalah sunat agar dapat menolong hati.

Dari faktor inilah, kaum nahdliyyin mempraktekkannya dengan cara tiga melakukan tiga pekerjaan, yaitu:

a). Lisan mengucapkan Ushalli dengan suara yang bisa didengar oleh telinganya sendiri.

b). Hatinya berniat untuk mengerjakan shalat

c). Kedua tangannya diangkat dengan membaca takbiratul ihram (الله أكبر)

Bahkan sebagaimana dijelaskan Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj Juz I halaman 437, membaca Ushalli terkadang dilakukan berkali-kali dengan harapan hanya untuk mencari kemantapan diri.

Dari kasus amaliyah seperti iniah, muncul fenomena di masyarakat bahwa jika ada orang shalat, lalu terdengar suara Ushalli dapat dipastikan orang tersebut termasuk kaum nahdliyyin.

Baca Juga:  Dalil Naqli dan Aqli dalam Ilmu Tauhid Ahlussunnah Wal Jamaah

Landasan Hukum Melafadzkan Niat

Adapun hukum berniat dalam setiap beribadah adalah wajib. Dasarnya ialah ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW sebagai berikut:

a). QS. Al-Bayyinah ayat 5

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).

b). Hadis riwayat Ibnu Majah dari Abi Hurairah RA., yaitu:

إنما يبعث الناس على نياتهم

Sesungguhnya manusia itu akan dibangkitkan menurut niatnya.

c). Hadis riwayat Muslim, dari Anas bin Malik, yaitu:

عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا

Dari Anas, beliau berkata : Aku mendengar rasulullah SAW mengucapkan Labbaik, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji. (HR. Muslim)

Berlandaskan pada ayat dan beberapa hadis dinatas, maka hukum melafadzkan niat dalam ibadah adalah sunnah, sebagaimana komentar para ahli hukum islam dalam kitab-kitab mereka sebagai berikut:

1). Kitab Al-Asybah wa al-Nadlair, yaitu:

من عزم على المعصية ولم يفعلها أولم يتلفظ بها لا يأثم لقوله صلى الله عليه وسلم أن الله تجاوز لأمتي ما حدثت به نفوسها ماتتكلم أو تعمل به

Siapa berniat berbuat maksiat tapi belum mengerjakannya atau belum
mengucapkannya, ia tak berdosa. Sebab Rasul bersabda: Allah memaafkan umatku selama hatinya baru berniat, belum diucapkan, atau belum dikerjakan (Asybah wan Nadzair
halaman 25)

2). Kitab Mizan li al-Sya’raniy, yaitu:

ومن ذلك قول الإمام أبي حنيفة وأحمد أنه يجوز تقديم النية على التكبير بزمان يسير مع قول مالك والشافعي بوجوب مقارنتها لتكبير وإنها لاتجزئ قبله ولا بعده ومع قول القفال امام الشافعية ربما قارنت النية ابتداء التكبير انعقدت الصلاة.

Baca Juga:  Muallaf dalam NU, Sebaiknya Melewati Muallaf Center Sebelum Naik Panggung

Berdasarkan alasan hadits diatas juga, Abu Hanifah dan Imam Ahmad berkata: sesungguhnya boleh mendahulukan niat atas takbir asal saja belum lama. Akan tetapi Imam Malik dan Syafi’i mewajibkan bersamaan antara niat dan takbir, dan tidak sah bila niat mendahului atau mengakhiri takbir. Tetapi bagi Imam Qoffal (pengikut syafi’iyah) Niat pada awal takbir itu sah.

Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan di atas, jelas bahwa hukum melafadzkan niat adalah boleh bahkan sunnah. Bukan bid’ah, sebagaimana tuduhan kelompok sebelah.

Karena setidaknya ada dua tujuan yang bisa dicapai dengan melafadzkan niat sebelum ibadah.

Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam Ramli sebagai berikut:

وينذب النطق بالمنوي قبيل التكبير لساعد اللسان القلب ولائه أبعد عن الوسواس

Disunnahkan melaafadzkan apa yang diniatkan sebelum takbiratul ihram supaya lisan bisa membantu hati dan itu lebih menghindarkan dari waswas. (Nihayatul Muhtaj Juz I halaman 437)

Demikianlah pembahasan tentang hukum melafadzkan niat. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

Faisol Abdurrahman