Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta; Pesantren Tertua di Surakarta

Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta; Pesantren Tertua di Surakarta

PeciHitam.org – Pondok Pesantren Jamsaren terletak di Jalan Veteran 263 Serengan Solo. Jika ada yang mengklaim bahwa Pesantren Jamsaren sebagai pondok pesantren tertua di Pulau Jawa, mungkin harus dicek ulang.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebab, pondok pesantren Jamsaren baru berdiri sekitar tahun 1750 Masehi. Jauh sebelumnya, di Pulau Jawa sudah ada beberapa Pesantren lain, salah satunya ialah Pesantren al-Kahfi Somalangu yang sudah berdiri 275 tahun lebih awal dari Pesantren Jamsaren.

Perlu kami sebutkan, bahwa ciri khas paling utama sebuah pondok pesantren terdahulu, awalnya selalu memiliki sebuah langgar (mushala, surau, ataupun masjid) yang didirikan terlebih dahulu.

Tak terkecuali pesantren Jamsaren yang didirikan pada masa pemerintahan Pakubuwono IV ini juga awalnya hanya berupa surau kecil. Kiai Jamsari yang berasal dari Kabupaten Banyumas diundang oleh Pakubuwono IV bersama Kiai Hasan Gabudan dan lain sebagainya.

Nama Jamsaren sebetulnya merupakan nama laqob atau julukan yang diambil dari nama tempat kediaman Kiai Jamsari sendiri yang kemudian diabadikan hingga sekarang.

Amat disayangkan, meskipun pernah disinggahi oleh beberapa ulama besar yang berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), namun Pondok Jamsaren tersebut hampir tak pernah terlihat lagi mengenakan kultur ke-Aswajaannya.

Hal ini menurut seorang penghulu kraton disebabkan karena pada perkembangannya jarang ada ulama. Tepatnya setelah meninggalnya KH. Ali Darokah selaku pengasuh utama Pesantren Jamsaren pada masa itu.

Tidak ada ulama, khususnya dari golongan ulama Aswaja, yang mau mendekat ke kraton, seperti yang dilakukan Walisongo atau ulama kraton zaman dulu. Bahkan menurut Penghulu Kraton, Tafsir Anom, KRT Muh. Muhtarom, bahwa ada semacam terputusnya rantai mata sejarah pada pondok ini.

Baca Juga:  Pondok Pesantren Al-Iman; Pesantren Tertua di Purworejo

Jika dilihat dalam catatan sejarahnya, Pondok Jamsaren juga pernah mengalami masa vakum pada 1830. Hal ini disebabkan karena terjadinya operasi tentara Belanda. Pada tahun 1825, operasi tersebut mulai dilancarkan sebab Belanda kalah perang dengan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta.

Kekalahan Belanda melawan Pangeran Diponegoro inilah yang menyebabkan Belanda kembali melancarkan serangkaian tipu muslihat dan selanjutnya berhasil menjebak Pangeran Diponegoro.

Pada tahun 1830, para kiai dan pembantu Pangeran Diponegoro di sekitar Surakarta dan Pakubuwono VI bersembunyi dan keluar dari Surakarta ke daerah lain. Salah satunya termasuk Kiai Jamsari II (putra Kiai Jamsari) dan santrinya.

Setelah sekitar 50 tahun kosong, seorang kiai alim dari Klaten yang merupakan keturunan pembantu Pangeran Diponegoro, Kiai H Idris membangun kembali surau, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya kembali Pondok Pesantren Jamsaren.

Pondok Pesantren Jamsaren ini dibangun menjadi lebih lengkap serta diperluas dari kondisi semula. Hal tersebut terdengar di lingkungan Kraton. Bersamaan dengan itu pula Sunan Pakubuwono X mendirikan Madrasah yang diberi nama Madrasah Mamba’ul ‘Ulum Surakarta.

Adapun dalam pengajarannya, pondok pesantren Jamsaren tersebut mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning) berbahasa Arab dan ada juga yang diterjemahkan dengan bahasa Jawa Pegon.

Baca Juga:  Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan; Tempat Menempuh Ilmu Ulama Besar Indonesia

Namun tetap menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan susunan bahasa Arab, seperti ilmu alat (baik nahwu maupun Sharaf), Tajwid, Qiraah, Tafsir, Fiqh, Hadis, Mantiq, Tarikh dan Tasawwuf.

Metode pengajaran pun dengan cara sorogan (maju satu per satu), sebagian yang lain dengan cara wekton atau blandongan (cara berkelompok), masing-masing membawa kitab sendiri. Para santri tidak hanya datang dari Solo sekitar, tetapi juga datang dari daerah lain di Pulau Jawa, di antaranya Tegal, Semarang, Banten, Jombang, dan Mojokerto.

Kemudian pada tahun 1908, bangunan mushala pondok pesantren Jamsaren tersebut direnovasi dan diperbesar menjadi bangunan masjid bertembok hingga saat ini masih bertahan.

Tidak hanya memperhatikan fisiknya saja, pada tahun 1913, sistem pengajian sorogan juga diganti dengan sistem kelas. Hal ini membuat tradisi salaf di Pesantren Jamsaren lambat laun mulai menghilang.

Sepuluh tahun berselang, tepatnya pada tahun 1923 M, KH. Idris wafat dan dimakamkan di pajang Makam Haji. Lalu dilanjutkan kepemimpinannya oleh KH. Abu Amar (Kyai Jamsari/Kyai Ngabei Projowijoto).

Setelah 42 tahun memimpin Pesantren Jamsaren, pada tahun 1965, KH. Abu Umar wafat dan digantikan oleh putranya. Kemudian digantikan oleh KH. Ali Darokah sebagai ketua. Pondok Jamaren mulai dari tahun 1965 hingga 1997, secara langsung diasuh oleh KH. Ali Darokah.

Pada tanggal 8 Juli 1997, KH. Ali Darokah wafat. Sepeninggal beliau pengelolaan Pondok diserahkan kepada pengurus harian pondok dan pengurus pelaksana harian pondok. Pada periode ini selain pengajian sistem kelas dengan materi pelajaran agama juga diberi materi pelajaran umum untuk menunjang prestasi santri.

Baca Juga:  Pesantren Al-Kahfi Somalangu; Pesantren Tertua di Asia Tenggara

Pada tahun pertama santri diwajibkan untuk menghapal juz ‘Amma sebagai alah satu bekal santri dalam kehidupan bermasyarakat kelak. Sebagai salah satu institusi pendidikan yang telah ditempa oleh perubahan zaman selama berpuluh-puluh tahun, maka dalam mensikapi dunia pendidikan pada dekade ini.

Pondok Pesantren Jamsaren menawarkan suatu alternatif sitem pendidikan dimana santri digembleng dengan pengetahuan pendidikan agama Islam di pesantren, di sisi lain santri menuntut ilmu pengetahuan umum di sekolah formal dengan harapan agar kelak menjadi profesional muda yang berjiwa Ulama dan pemimpin yang berguna bagi bangsa, agama dan negara.

Mohammad Mufid Muwaffaq