Hukum Menikahi Wanita Hamil Menurut Madzhab Syafi’i

Hukum Menikahi Wanita Hamil Menurut Madzhab Syafii

Pecihitam.org – Permasalahan ini bermula dari asumsi hukum menikahi wanita hamil hanya sah di hadapan negara. Sehingga ketika si wanita telah melahirkan maka wajib mengadakan nikah ulang agar sah sesuai syariat. Benarkah demikian? Untuk mengetahui hal ini saya akan membahas bagaimana sebenarnya hukum menikahi wanita hamil menurut Madzhab Syafi’i.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Beberapa kitab menampilkan kesan adanya ijmak tentang sahnya menikahi wanita pezina. Misalnya dalam kitab Raudhah al-Thalibin juz-8 hal. 375 diterangkan sebagai berikut:

فرع لو نكح حاملا من الزنا صح نكاحه بلا خلاف. وهل له وطؤها قبل الوضع؟ وجهان: أصحهما نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد.

“Ada satu cabang masalah, jikalau laki-laki menikahi wanita hamil maka sah nikahnya dengan tanpa perbedaan ulama. Apakah ia boleh mensetubuhinya sebelum melahir kehamilannya?. Ada dua pandangan: yang lebih benar boleh karena tidak haram lagi baginya. Tetapi Ibnu al-haddad melarangnya”.

Dalam kitab Fathul Bari juz-9 hal. 164 dijelaskan sebagai berikut:

قال بن عبد البر وقد أجمع أهل الفتوى من الأمصار على أنه لا يحرم على الزاني تزوج من زنى بها

“Berkata Ibn Abdul Bar: telah ijmak ahli fatwa dari masa ke masa bahwa tidak haram laki-laki yang berzina menikahi wanita yang dizinahinya”.

Namun demikian redaksi ungkapan ijmak tidak sharih (jelas). Perkataan an-Nawawi ‘bila khilaf’ (tanpa ada perbedaan pendapat) bisa merujuk pada tiadanya perbedaan pendapat dalam satu madzhab, yakni Syafi’iyah dalam konteks Imam Nawawi.

Baca Juga:  Kenapa Harus Kitab Kuning? Tidak Langsung Al-Qur'an dan Sunnah Saja

Demikian pula perkataan Ibnu Abdil Birri ‘minal amshar’ (dari segolongan tempat) bisa merujuk pada ulama di tempat tertentu saja.

Bukti dari tidak adanya ijmak adalah pernyataan al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir juz-9, hal. 492-493 ada tiga pendapat hukum menikahi wanita hamil. Pertama, halal menurut mayoritas ulama fikih dan sahabat. Kedua, tidak halal menurut beberapa sahabat. Ketiga, halal bersyarat.

Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi wanita hamil:

1. Mutlak tidak sah

Sebagaimana diterangkan dalam al-Hawi al-Kabir juz-9 hal. 492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah juz- 7 hal. 518, Tafsir al-Alusi juz-13, hal. 326. Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

2. Mutlak sah

Berdasarkan kitab al-Hawi al-Kabir juz-9, hal. 497-498. Pandangan ini didasarkan atas ayat 24 QS. An-Nisa:

Baca Juga:  Tawassul Menurut Pandangan Ahlussunnah Wal Jamaah

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”

Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang berzina. Dikuatkan argument ini dengan sabda Nabi SAW:

لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ

“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).

Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya.

3. Sah dengan syarat tidak berhubungan badan sampai melahirkan

Berdasarkan kitab asy-Syarh al-Kabir juz-7, hal. 502-503, al-Hawi al-Kabir juz-9, hal. 497-498. Didasarkan pada hadits berikut:

لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ

“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman orang lain” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

4. Sah dengan syarat setelah melahirkannya

Berdasarkan al-Hawi al-Kabir juz-9 hal. 497-498, asy-Syarh al-Kabir juz-7 hal. 502-503. Didasarkan pada QS. Ath-Thalaq ayat 4:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”

Disebutkan juga dalam hadits:

أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ

“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi).

Baca Juga:  Siapakah yang Dimaksud Ulil Amri? Inilah Pendapat Para Ulama

5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan dan telah bertaubat.

Berdasarkan al-Hawi al-Kabir juz-9 hal. 492-493, Tafsir Ibnu Katsir juz- 6, hal. 9-10. Hukum ini didasarkan pada hadits:

التائب من الذنب كمن لا ذنب له

“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).

Tersebut dalam Bughyah al-Mustarsyidin hal. 419:

يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة.

“boleh menikahi wanita hamil baik dengan laki-laki yang menzinainya atau bukan. Adapun berhubungan badan hukumnya makruh”.

Jadi jika melihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus diulang? Maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah dan satu riwayat Abu Hanifah nikahnya telah sah sejak awal. Wallahu a’lam wa muwafiq ila aqwami al-thariq