PeciHitam.org – Banyak sekali pendapat para fuqaha dan ulama modern yang menafsirkan tentang hukum poligami dalam pandangan agama Islam. Terutama pada ayat yang menjelaskan tentang poligami dalam surat an-Nisa: 3, Allah berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Menurut pandangan jumhur ulama, ayat 3 pada surat An-Nisa’ turun setelah perang Uhud, ketika banyak pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang. Sebagai konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya. Akibatnya banyak anak yatim yang terabaikan dalam kehidupan, pendidikan, dan masa depannya.
Menurut pandangan Quraish Shihab, menjelaskan bahwa dalam surat an-Nisa’ ayat 3 itu tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh orang yang amat sangat membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan.
Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan Al-Quran hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
Senada dengan pendapat tersebut, Al-Maraghi dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa kebolehan berpoligami merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar membutuhkan, kemudian beliau mencatat kaidah fiqhiyah, dar’u al mafāsid muqaddamun ‘alā jalbi al-maṣālih.
Yang perlu digarisbawahi adalah betapa pentingnya untuk hati-hati dalam melakukan poligami. Ketika seseorang suami khawatir melakukan perbuatan yang melanggar syariat agama, maka ia haram melakukan poligami.
Artinya Islam bukan menciptakan Undang-Undang poligami, tetapi hanya membatasi poligami dengan ketentuan dan jumlah tertentu. Di masa pra-Islam, masing-masing orang seperti berlomba-lomba untuk memiliki jumlah istri yang banyak. Semakin banyak istri maka status sosialmua naik. Kemudian Al-Quran datang, tidak menyuruh poligami, tetapi hanya membolehkan. Namun kebolehan di sini masih diancam dengan sebuah kondisi berupa ketidakmampuan berbuat adil.
Syarat-Syarat Poligami dalam Islam
Islam memang membolehkan berpoligami, namun syarat yang ditentukan bukan syarat yang mudah. Hal ini berarti di dalam kebolehan memilih berpoligami, tidak sembarang orang boleh berpoligami. Menurut Ilham Marzuq dalam bukunya, ada beberapa syarat poligami yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah:
- Kuat imannya. Dengan keimanan hati, seseorang akan kuat ketika menghadapi segala cobaan dalam rumah tangga, karena sebagai seorang suami yang berpoligami tentunya akan memimpin keluarga, membimbing, mengayomi, mendidik, dan melindungi para istri-istrinya beserta keluarganya.
- Baik akhlaknya. Akhlak sebagai salah satu pondasi dalam membina rumah tangga. Karena tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Rasa kasih sayang terhadap para istri akan lebih erat dengan akhlak, maka dari itu akhlak yang baik menjadikan suami yang ingin berpoligami dapat membina keharmonisan rumah tangganya.
- Mempunyai materi yang cukup. Selain memimpin rumah tangga, suami juga harus memenuhi segala kewajiban dan kebutuhan istri-istrinya dan anak-anaknya kelak. Oleh karena itu kebutuhan materi sangatlah penting untuk menunjang sikap adil, walaupun sikap adil tersebut dirasa berbeda-beda, namun hak istri akan tetap terpenuhi dengan bagian masing-masing.
- Jalan darurat. Syarat ini bisa jadi pintu pembuka poligami, dalam arti tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk memecahkan masalah dalam keluarga yang membawa dampak jangka panjang. Misalnya istri tidak bisa mempunyai keturunan, dengan keadaan tersebut dikhawatirkan kelak tidak ada keturunan untuk menyambung silsilah keluarga.
Demikianlah pandangan beberapa ulama mengenai hukum poligami dalam agama islam dan syarat syarat boleh dilakukannya poligami. Jadi, tidak sekedar ingin menikah lalu boleh berpoligami, tetapi harus dipikirkan secara matang.